Alt Title

Project S Tiktok dan Kebijakan Negara Terhadap Produk Industrinya

Project S Tiktok dan Kebijakan Negara Terhadap Produk Industrinya

Disadari atau tidak, bahwa kebijakan perdagangan pemerintah negeri ini, dirasa hanya sebagai regulator kepentingan kaum kapital saja, yang notabene kaumnya kapital itu berasal dari negeri industri besar tersebut. Sedangkan support negara terhadap UMKM masih jauh dari seharusnya. Ironisnya, tak sedikit fakta bahwa para pejabat pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru menjadi pelaku bisnis. Mereka turut bermain bersama negara-negara industri tersebut demi meraup keuntungan pribadi. 

Seakan masalah yang tak kunjung usai itu menguatkan bahwa UMKM cukup berkembang di level menengah saja tak lebih dari itu. Sedangkan usaha yang berkembang besar cukup para kaum kapital yang bermodal raksasa

_________________________


Penulis Hawilawati 

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Melansir dari situs berita Financial Times, Minggu (23/7/2023), TikTok akan meluncurkan sebuah proyek yang dikenal dengan istilah Project S TikTok.


Project S merupakan agenda yang dijalankan platform social e-commerce asal Cina melalui TikTok Shop untuk memperbesar bisnisnya di berbagai negara, termasuk Indonesia. Melalui Project S, TikTok akan menggunakan data mengenai produk yang laris di suatu negara untuk kemudian diproduksi di Cina. 


Proyek tersebut pertama kali diluncurkan TikTok di Inggris. Sebanyak 67 persen algoritma TikTok bisa mengubah behaviour konsumen di sana, dari yang tidak mau belanja jadi belanja, dan konsumen langsung digiring untuk belanja produk-produk Cina yang harganya sangat murah. 


Munculnya wacana TikTok akan membuka lapak ritel secara langsung di aplikasinya sendiri menuai banyak respon negatif, terutama dari pelaku UMKM. Sebab selama ini aplikasi TikTok memang telah digunakan pelaku UMKM dalam mempromosikan produknya. Tentu, Jika proyek tersebut diluncurkan, produk lokal UMKM akan terancam tergilas. 


Menurut Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki, bahwa TikTok dapat dengan mudah melakukan market intelligence karena TikTok Shop menggabungkan antara cross border, retail online, dan media sosial dengan menggunakan algoritma. Alhasil, aplikasi tersebut akan mengetahui produk apa yang sedang diminati. 


Dari 21 juta pelaku UMKM yang terhubung ke ekosistem digital, mayoritas yang dijual di platform online adalah produk dari Cina. Sehingga jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang tepat, ujarnya pula, pasar digital tanah air akan didominasi oleh produk-produk dari Cina. (liputan6[dot]com) 


Namun, Head of Communication of TikTok Indonesia, Anggini Setiawan menegaskan pihaknya tidak akan meluncurkan Project S TikTok Shop di Indonesia. (bisnis[dot]tempo[dot]co 26/07/2023).


Terlepas apakah TikTok akan benar meluncurkan proyeknya atau tidak, kita pun tak menutup mata, selama ini perjuangan pelaku UMKM atau industri lokal sungguh luar biasa demi mempertahankan usaha nya. Walau pada realitanya, banyak yang berakhir gulung tikar tersebab berbagai faktor. Kondisi pelaku  UMKM memang sudah mengalami sederet permasalahan di negerinya sendiri. Mulai dari permodalan, izin brand produk, izin keberadaan industri, pengurusan sertifikat halal, SNI, izin BPOM, pendistribusian, sampai harga jual yang harus diperhitungkan secara tepat sebab harga BBM dalam negeri yang selalu melonjak. Selain itu menetapkan harga jual yang mampu bersaing dengan produk impor yang semakin membanjiri pasar lokal, belum lagi biaya pajak yang harus disetorkan bagi UMKM yang beromzet di atas Rp500 juta per tahun sebesar 0,5%. 


Sejak era globalisasi, pasar bebas sejatinya sudah menjadi ancaman besar industri lokal, sebab produk impor semakin leluasa membanjiri pasar-pasar lokal hingga ke pelosok. Bahkan dengan mudahnya tidak bersertifikat halal dan tidak ber-BPOM bebas beredar di dalam negeri. Sungguh ini realita yang tidak fair terjadi antara produk lokal dan produk impor. Pasalnya produk lokal jika tidak bersertifikat halal, tidak ada izin P-IRT atau ber-BPOM dianggap produk ilegal dan tidak akan leluasa diizinkan beredar, sehingga produsen harus mengurus segala ketentuan syarat produk legal di atas. Sementara bagaimana dengan produk impor, jangankan ber-BPOM, bersertifikat halal saja tidak. 


Masyarakat pun terus digiring bergaya hidup konsumtif dengan berbagai iklan yang persuasif dan harga sangat kompetitif, sehingga produk impor banyak diminati. Sementara produk lokal terancam sepi peminat. Tentu, sepi peminat atau permintaan akan berdampak buruk bagi produktivitas sebuah industri. 


Alhasil anjuran pemerintah "Cintailah produk dalam negeri"  hanya sekedar slogan belaka. Sebab, masyarakat lebih memilih produk yang lebih murah, sudah tidak lagi memedulikan dari mana asal produk tersebut, apakah lokal atau impor, yang penting bisa membeli apa yang dibutuhkan dan diinginkan sesuai dengan kondisi keuangannya. 


Kelancaran pasar bebas sangat didukung dengan kecanggihan teknologi. Teknologi digital menjadi media interaksi, komunikasi dan transaksi global tanpa batas wilayah, mudah diakses oleh berbagai gender dan usia. Teknologi digital bagi dunia preneur  memberikan keuntungan sangat banyak dalam memasarkan produknya. Platform online shop (e-commerce) pun semakin menjamur karena marketplace sangat mudah diakses oleh siapapun.


Produk-produk kini dipajang di etalase online shop lengkap dengan deskripsi produk. Calon konsumen bebas melihat, memilih bahkan dapat membandingkan harga dengan produk serupa di etalase online shop lainnya. Produk impor pun sangat mudah diperoleh, tanpa harus berbelanja dengan kuantiti yang besar dan tanpa harus keluar rumah, transaksi jual beli antara penjual dan pembeli bebas dilakukan. 


Sebab pada dasarnya praktik pasar bebas adalah melakukan produksi dan jual beli baik barang ataupun jasa tanpa melibatkan campur tangan pemerintah. Produsen memiliki kuasa penuh dalam menentukan harga jual produk maupun jasanya sesuai mekanisme pasar secara alami. 


Belum lagi keberadaan MNCs (Multinational Corporations)  yang banyak tumbuh  di Indonesia, yang mana para investor asing dari negara industri tak tanggung-tanggung melakukan segala operasional bisnisnya di dalam negeri, yang dengan leluasanya mendulang banyak keuntungan, mulai dari perolehan bahan baku, tenaga kerja, produksi, buang limbah, sampai membidik pasar dan konsumennya cukup di dalam negeri ini. Bukankah ini juga berdampak negatif dan dapat mematikan industri lokal yang mulai berkembang?


Kini, aplikasi TikTok yang berdurasi sangat singkat tersebut, sangat efektif menjadi media iklan berbagai produk. Tentu bagi pelaku bisnis hal ini sangat menguntungkan. Durasi yang sangat singkat, sudah cepat sekali ditonton oleh ribuan bahkan jutaan pasang mata. Pun wacana proyeknya yang sedang ramai dibicarakan, diduga akan mematikan produk industri lokal atau UMKM juga. 


Melihat fakta demikian, bagaimana  nasib selanjutnya produk lokal UMKM? Dan seperti apa kebijakan negara saat ini terhadap Industrinya?


Disadari atau tidak, bahwa kebijakan perdagangan pemerintah negeri ini, hanya dirasa sebagai regulator kepentingan kaum kapital saja, yang notabene kaum kapital itu berasal dari negeri industri besar tersebut. Sedangkan support negara terhadap UMKM masih jauh dari seharusnya. Ironisnya, tak sedikit fakta bahwa para pejabat pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru menjadi pelaku bisnis juga, turut bermain bersama negara-negara industri tersebut demi meraup keuntungan pribadi. 

Seakan masalah yang tak kunjung usai itu menguatkan namanya  bahwa UMKM cukup berkembang di level menengah saja tak lebih dari itu. Cukup usaha yang berkembang besar adalah para kaum kapital yang bermodal raksasa. 

Sementara, bagaimanakah Islam mengatur perdagangan negaranya?

Dalam Islam, keberadaan negara adalah sebagai pihak yang melindungi rakyat, bukan sebagai regulator kepentingan para kapital asing. Sehingga kebijakan perdagangan baik dalam dan luar negeri yang di jalankan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, menjaga eksistensi dan kemandirian ekonomi negara dihadapan dunia. 


Dikutip dari kitab Nizamul Iqtishodiy (Sistem Ekonomi Islam) karya besar Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, beberapa hal yang sangat diperhatikan negara Islam dalam mengontrol aktivitas perdagangannya. 


1. Islam akan terus men-support rakyatnya untuk kreatif mengembangkan usahanya dengan memproduksi komoditas halal dan bertransaksi  jual beli dengan cara yang halal. 


2. Produk lokal yang ada akan di-support agar mampu memenuhi permintaan pasar lokal. Sebelum kebutuhan dalam negeri terpenuhi maka produk tersebut tidak diizinkan diekspor ke luar negeri. Pun jika produk  tersebut diprediksi mampu memenuhi permintaan dalam negeri, maka produk import yang serupa tidak diizinkan masuk ke dalam negeri. 


3. Untuk kebutuhan primer rakyat, negara akan mengusahakan produksi sendiri dengan mengeksplorasi SDA yang dimilikinya dan mengoptimalkan kinerja, kreativitas dan inovasi SDM dalam negerinya. 


4. Negara tidak mengizinkan mengekspor bahan baku keluar negeri, kecuali hasil olahan, dengan catatan kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi. Sebab bahan  baku atau SDA adalah aset negara yang menjadi salah satu sumber keuangan negara untuk kesejahteraan rakyat. Jika SDA bisa dikelola sendiri, jelas akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar bagi negara. 


5. Negara  tidak akan menyetujui kesepakatan dagang pasar bebas, apalagi kesepakatan dengan negara kafir harbi. Sebab, karakter negara tersebut memiliki misi ingin menjajah negeri-negeri Islam, sekalipun dengan perjanjian dagang. Negara akan melindungi rakyatnya dari segala bentuk penjajahan, baik dari penjajahan fisik, pemikiran maupun perjanjian yang hanya memberi keuntungan besar bagi negara kafir. 


Demikianlah kebijakan negara Islam terhadap sektor perdagangannya. Tentu selama negeri ini masih berada dalam kesepakatan pasar bebas yang digagas kapitalis yang tidak diadopsi oleh institusi pemerintah Islam, maka permasalahan perdagangan tidak akan pernah terselesaikan dengan baik.


Tetap yang akan terus menguasai pasar global adalah negara industri besar, yang memiliki modal besar. Sementara negeri Islam seperti Indonesia dengan bonus demografi yang sangat besar hanya dibidik sebagai negara pasar dan masyarakatnya adalah konsumen terbesar mereka saja. Sehingga terciptalah sebuah kondisi negeri ini hanya bergantung kepada produk-produk impor, sebab pelaku UMKM telah mati tak mampu bersaing dan tiada yang memproteksinya. Sudah saatnya negeri ini kembali kepada Islam, agar pemimpinnya mampu menjalankan perannya kembali sebagai junnah (perisai) di tengah gempuran neoimperialis dalam berbagai kebijakan. Wallahualam bissawab. [GSM]