Alt Title

Proyek Perdagangan Berbahaya, Diperlukan Perlindungan Negara

Proyek Perdagangan Berbahaya, Diperlukan Perlindungan Negara

 


Banyak persoalan yang menimpa para pelaku UMKM di negeri yang menerapkan sistem kapitalisme. Kesejahteraan tak kunjung didapat karena penguasanya lebih berpihak pada kepentingan korporat baik lokal ataupun asing.

 Penguasa pun berperan sebagai penyokong negara kapitalis global, bukan kepentingan rakyatnya

______________________


Penulis Suryani

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Baru-baru ini Project S TikTok Shop tengah hangat menjadi bahan perbincangan masyarakat. Hal ini terkait dengan dugaan bahwa proyek perdagangan tersebut menjadi langkah awal dalam mengoleksi berbagai data produk terlaris di suatu negara, dan ketika sudah didapat, Cina sendiri yang akan memproduksinya.


Beberapa pengamat telekomunikasi mengomentari hal ini. Di antaranya Heru Sutadi yang menyatakan, Project S TikTok ini akan mengancam keberlangsungan UMKM di Indonesia. Ketika produk-produk asing dengan mudahnya masuk, maka otomatis para produsen dalam negeri akan bangkrut karena kalah bersaing, disebabkan selama ini Cina mampu menjual dengan harga murah. Alhasil, yang akan maju justru negara yang memproduksi bukan negara kita yang hanya menjadi pasar dari produk-produk tersebut. (Konten[dot]co[dot]id, 10/07/2023)


Memang kecurigaan para pengamat tersebut bukan tanpa alasan. Sebelumnya, di Ingris TikTok telah meluncurkan fitur belanja dengan nama Trendy Beat yang menjual barang-barang yang terbukti populer di platformnya. Dari sini sangat wajar bila banyak pihak menilai keberadaan Project S akan sangat berdampak negatif bagi pelaku UMKM dalan negeri, ketika tidak benar penanganannya maka pasar digital Indonesia bakal didominasi oleh produk-produk asing terutama dari Cina.


Bagaimana tidak kalah saing, pelaku UMKM yang bermodal minim harus bersaing di pasar bebas dengan pengusaha raksasa yang tentunya bermodal besar. Tentu saja permodalan akan berpengaruh kepada produksi barang, periklanan sampai ketetapan harga, hal ini merupakan hambatan tersendiri. Bahkan, sebelum itu sejumlah e-commerce dalam negeri yang menjalin kerja sama dengan e-commerce global telah membuat produsen dalam negeri kesulitan, apalagi harus digempur dengan Project S TikTok dengan agenda menjual sendiri produknya yang merupakan  produk asing, tentu bisa menjadi pukulan telak dan akan membuat usahanya gulung tikar. 


Tentu persoalan ini tidak bisa dibiarkan, harus ada aturan yang tegas dari negara untuk melindungi UMKM di negeri ini. Memang sempat ada sedikit perhatian dengan insentif seperti listrik dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk para pelaku usaha namun itu semua tak cukup, karena di saat yang sama pemerintah membiarkam produk asing masuk secara bebas dan mudah, hingga mereka mampu menguasai pasar. Maka, tak heran kesejahteraan yang didambakan para UMKM sulit terwujud. Mereka harus berjuang sendiri tanpa dukungan optimal dari pemerintah.


Inilah persoalan yang menimpa para pelaku UMKM di negeri yang menerapkan sistem kapitalisme. Kesejahteraan tak kunjung didapat karena penguasanya lebih berpihak pada kepentingan korporat baik lokal ataupun asing. Serta berperan sebagai penyokong negara kapitalis global, bukan kepentingan rakyatnya. UMKM kerap hanya dijadikan tumbal penyelamatan ekonomi kapitalis. Padahal seharusnya fungsi penguasa adalah meriayah semua warga negaranya.


Ini berbeda ketika negara menerapkan sistem Islam. Di mana penguasanya benar-benar akan berfungsi sebagai raa'in (pengurus) rakyatnya, karena ini merupakan konsekuensi dari amanahnya sebagai pemimpin, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Imam/pemimpin adalah raa'in (pengurus/pengembala) rakyatnya, dan dia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya." (HR. Bukhari)


Fungsi itu akan berjalan seiring dengan penerapan Islam yang lain termasuk sistem ekonominya. Di mana dalam perdagangan ada aturan dan mekanisme yang harus ditaati. Dalam ekonomi Islam keberadaan UMKM tidak dijadikan sumber perekonomian bagi warganya, namun tidak juga dilarang secara mutlak. Hal ini disebabkan negara menjadikan sumber perekonomian dari industri-industri strategis seperti bahan baku, alat berat serta bahan bakar, tentunya akan menyerap tenaga kerja ketimbang UMKM.


Di samping itu, kekayaan milik umum  seperti tambang, minyak bumi, gas alam dan sebagainya dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Sudah pasti ketika itu dilakukan akan menjadi sumber pendapatan negara yang sangat besar disertai terserapnya tenaga kerja bagi para pencari nafkah.


Adapun aktivitas perdagangan yang berlaku adalah hukum jual beli. Di mana yang dihukumi tentang pemilik harta bukan pada harta itu sendiri. Maka dari itu, setiap warga negara baik muslim atau nonmuslim dibolehkan berjual beli di dalam negeri. Namun, tetap harus senantiasa terikat dengan hukum syara, yakni dilarang menjual barang yang haram, melakukan penimbunan, kecurangan, mematok harga dan lain-lain.


Namun, ketika pedagang yang merupakan warga negara melakukan perdagangan ke luar negeri atau melakukan ekspor impor maka harus diteliti dahulu apakah keberadaan barang tersebut akan berdampak buruk atau tidak bagi rakyat. Ketika sudah dipastikan hal itu membawa kemudaratan maka komoditas tersebut akan dilarang. Pemerintah juga akan memberlakukan cukai kepada negara kafir yang juga menarik cukai pada negara Islam bagi komoditas ekspor impor.


Sehingga, negara dalam sistem Islam tidak akan membiarkan rakyatnya kesusahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi harus bersaing dengan para korporat, karena pasar bebas tidak akan berlaku dalam sistem ini. Semaksimal mungkin negara akan melayani dan memberi kemudahan bagi tercapainya kesejahteraan rakyat. 


Maka, sudah selayaknya kita bersama-sama berjuang agar umat kembali kepada kehidupan Islam yang akan mendatangkan rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana dahulu pernah dirasakan oleh umat di zamannya dengan rentan waktu yang sangat panjang yakni kurang lebih seribu tiga ratus tahun lamanya.

Wallahualam bissawwab. [Dara Hanifah]