Alt Title

Memburu Investasi, Gadaikan Kedaulatan Negeri

Memburu Investasi, Gadaikan Kedaulatan Negeri

Investasi yang ditanam Cina ke negeri ini, menyertakan persyaratan yang banyak menguntungkan Cina. Sebab dalam persyaratan tersebut mengharuskan menggunakan material dan tenaga kerja Cina

Nilai minus dari komitmen investasi Cina, berpotensi hilangnya kedaulatan ekonomi dan politik

_____________________________


Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd.

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Hubungan rezim tanah air dan rezim negara tirai bambu tampak kian mesra. Ini dibuktikan oleh sejumlah investasi yang sengaja diguyurkan membasahi proyek-proyek yang direncanakan oleh punggawa negeri. Tentu saja investasi Cina ini, mendapat sambutan baik dari penguasa negeri yang tengah berburu investasi. Berbagai kemudahan diberikan untuk memuluskan jalan investor. 


Perburuan presiden Jokowi ke Cina, tampaknya membuahkan hasil. Komitmen investasi sejumlah US$ 11,5 miliar atau setara Rp175 triliun (asumsi kurs Rp15.107 per US$) dari perusahaan asal Cina, Xinyi International Investment Limited. Investasi tersebut direncanakan untuk pengembangan ekosistem rantai pasok industri kaca serta industri kaca panel surya di Kawasan Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. (cnbc[dot]com, 29/7/2023)


Tidak hanya itu, pemerintah juga melakukan promosi pada pengusaha Cina di Chengdu bahwa pemerintah menyediakan lahan seluas 34000 hektare (ha), khusus untuk para investor Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur pada sektor usaha. Lahan ini dikhususkan untuk bisnis di sektor pendidikan dan kesehatan. 


Namun sayang, hubungan mesra Indonesia dengan Cina bukanlah hubungan sepasang kekasih yang sama-sama memberikan rasa nyaman pada kedua belah pihak. Sebaliknya, tampak dalam jalinan interaksi yang terbentuk melalui komitmen investasi ini berjalan timpang. Wajar jika ada pernyataan, satu pihak untung pihak yang lain buntung.


Berada dalam Cengkeraman Cina


Investasi Cina di Indonesia telah menggeser kedudukan negara-negara lainnya. Jepang misalnya. Jepang yang penuh perhitungan dan mengutamakan penelitian, tidak begitu saja mengucurkan dana investasinya ke Indonesia. Berbeda dengan jepang, Cina, seolah menjadi dermawan bagi kepentingan investasi di Indonesia.


Memang tidak dapat dinafikan pada dasarnya dana investasi juga mempunyai nilai plus dalam memecahkan persoalan. Dana investasi bisa digunakan untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi, membantu proses alih teknologi, mengurangi pengangguran, menambah devisa negara dengan kewajiban pajak yang dibebankan kepada penanam modal dan yang lainnya.


Namun, investasi yang ditanam Cina ke negeri ini, menyertakan persyaratan yang banyak menguntungkan Cina. Sebab dalam persyaratan tersebut mengharuskan menggunakan material dan tenaga kerja Cina. Itu sebabnya beberapa tahun terakhir dapat disaksikan eksodus tenaga kerja asing Cina secara besar-besaran. Sementara, pengangguran masih membayangi negeri ini.


Di samping itu, nilai minus dari komitmen investasi Cina, berpotensi hilangnya kedaulatan ekonomi dan politik. Meski, seorang punggawa negeri membantah peryataan bahwa tanah air berada dalam kendali Cina, namun indikasi ke arah itu telah menjadi fakta tak terbantahkan. Misalnya, lemahnya penguasa negeri dalam mengkritisi pelanggaran HAM yang telah dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap muslim Uighur. Juga bisa dilihat bagaimana negeri ini tak berdaya atas konflik Laut Cina Selatan.


Bahaya lain yang akan dihadapi negeri ini adalah berkaitan dengan ideologi komunis yang dianut Cina. Ideologi ini mengajarkan paham ateis. Padahal mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim. Pengaruh ideologi Cina tampak dalam fakta, pernah salah satu parpol menggagas UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang kental dengan paham komunis karena ada track record hubungan partai ini dengan Cina. Sehingga menjadi alat Cina untuk menyusupkan kepentingannya. 


Demikianlah, sebenarnya banyak mudarat yang akan didapatkan negeri ini akibat investasi Cina. Sebab hakikat dari penanaman investasi, sejatinya semakin mengokohkan cengkeraman penjajahan.


Terperangkap Utang


Sejatinya Investasi hanyalah sebuah jebakan utang yang menjerat sebuah negara berada dalam masalah dan akhirnya menyisakan ketergantungan pada negara kreditur. Berdasarkan data APBN kita, tercatat utang Indonesia mengalami kenaikan sebesar Rp17,68 triliun. Sehingga, total utang negeri ini mencapai Rp708,19 triliun. Ini setara dengan 37,93 persen Produk Domestik Bruto (PDB). (Suara[dot]com, 28/7/2023)


Besaran utang tersebut, meski mengalami peningkatan namun masih dinilai aman. Sebab, belum melampaui batas aman sebesar 60 persen dari PDB. Pengadaan utang yang dilakukan pemerintah memiliki tenor jangka menengah-panjang. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga profil utang negeri ini.


Sesuatu yang pasti, berapa pun besaran utang, ada tumbal yang harus diserahkan oleh debitor kepada kreditor. Bagi negara yang mengutangi, tak ada istilah makan siang gratis. Kondisi ini akan berakibat menyeret aset-aset negara. 


Pemberian utang Cina secara jor-joran cukup mengkhawatirkan negeri ini. Cina pernah melakukan eksekusi aset-aset negara debitur akibat tumpukan utang yang tidak terselesaikan. Seperti Srilanka yang terpaksa menyerahkan pelabuhan laut dalam Hambantota, Cina juga telah berhasil mengambil pelabuhan Djiboti, karena keduanya tidak bisa membayar utang. 


Begitu pula Zimbabwe yang harus mengganti mata uangnya dengan mata uang Yuan sebagai penghapusan utangnya. Meski Indonesia belum mengalami seperti Srilangka dan Zimbabwe, namun perangkap utang itu ada. Seperti MoU LCS, yang menyepakati kerja sama bilateral antara Indonesia dan Cina menggunakan mata uang Yuan.


Terbebas Utang


Jika negeri ini ingin terbebas dari utang dengan dalih investasi, maka seharusnya yang dilakukan negeri adalah mengadopsi aturan Allah. Islam menjelaskan segala permasalahan bagi kehidupan. Allah berfirman yang artinya: "Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk Serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (QS. An-Nahl: 89)


Islam memiliki mekanisme agar negara mempunyai modal besar untuk pembangunan negara tanpa utang. Islam mempunyai tata kelola secara ekonomi dan politik di bawah kendali institusi yang bernama daulah Khilafah Islamiyah. Berbeda dengan sistem kapitalis, Negara Islam tidak bergantung pada investasi dan utang. Islam memandang utang luar negeri adalah alat penjajahan bagi negara asing untuk menjerat negeri-negeri Islam.


Salah satu strategi yang akan dilakukan oleh Daulah Islam untuk membangun infrastruktur adalah dengan memproteksi aset-aset kepemilikan umum. Seperti minyak, gas dan tambang. Khilafah akan menetapkan penghasilan untuk masuk dalam Baitulmal yang dipergunakan untuk membangun infrastruktur. Dalil untuk hal ini terdapat dalam sebuah hadis: "Rasullullah pernah memproteksi suatu tempat di Madinah yang bernama tanah an-Naqi untuk mengembala kuda." (HR. Abu Ubaid)


Negara juga dapat menggunakan harta kepemilikan negara yang berasal dari pemasukan kharaj, ghanimah dan fa'i untuk pembangunan infrastruktur. Dengan demikian, dana yang dimiliki negara cukup besar sehingga terhindar dari jeratan utang. Sehingga, kedaulatan negara akan menjadi aman karena terbebas dari utang. Negara dapat menjadi mandiri tanpa disetir oleh negara lain.


Negara juga bisa mengambil pajak dari orang-orang kaya ketika dana di Baitulmal dalam kondisi kosong. Namun, pajak diambil hanya untuk memenuhi kebutuhan negara yang mendesak. Setelah terpenuhi maka penarikan pajak dihentikan. Seperti, pembangunan jembatan di wilayah perairan, sekolah di pedalaman atau perbaikan jalan.


Demikian cara negara Islam mengelola negaranya, tanpa harus mempertaruhkan kedaulatan negara. Sehingga, negara asing tidak dapat mengobrak-abrik negara dengan jebakan utang atas dalih investasi. Wallahualam bissawab. [Dara]