Habis Banjir, Terbitlah Kerontang
OpiniKetika musim hujan menyapa, banjir di mana-mana. Tak ada upaya penampungan sebagai langkah pencegahan, tak ada pengolahan air berkelanjutan yang benar-benar terprioritaskan. Maka, saat kemarau tiba kering di mana-mana
Pemilik sumur bor rumah tangga akan baik-baik saja, lantas apa kabar para rakyat jelata? PDAM ada memang, tapi maaf-maaf saja tak semua dapat menjangkau harganya
______________________________
Candelaria Athaya
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi Jeneponto
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - "Indonesiaku, terbentang dengan deretan pulau yang banyak, hutannya paru-paru dunia, lautnya tinta pengukir sejarah. Namun kemalangan selalu menimpa setiap saatnya. Hujannya menuai banjir, kemaraunya kering kerontang. Sungguh amat kasian."
Sebagai Negara dua musim, kini kita memasuki bulan kemarau. Satu hal yang sedikit menyita perhatian kita saat ini, kemarau memang sudah berjalan beberapa waktu belakangan. Namun, tatkala muncul pemberitahuan BMKG yang memprediksi puncak musim kemarau di Indonesia akan terjadi pada minggu terakhir Agustus 2023 yang dipicu fenomena El Nino. Membuat kita sedikit khawatir terhadap risiko dan dampak yang akan muncul dan mungkin sudah bermunculan.
Ini sudah di depan mata memang, namun masalah yang muncul sudah berminggu-minggu lamanya dirasakan sebagian warga negara ini. Berdasarkan pemberitaan yang dilansir dari tvOne[dot]com (07/08/2023) bahwa wilayah Banjar Krisis air dan sudah berlangsung puluhan tahun. Ini siklus paten bertahun-tahun yang belum menemukan jalan tuntas penyelesaiannya.
Parahnya lagi, kekeringan yang melanda Indonesia, tak hanya terjadi di Banjar. Berdasarkan berita dari republika[dot]com (09/08/2023) bahwa, di Bogor Krisis air kini berimbas pada munculnya penyakit diare yang memprihatinkan. Menyerang rakyat dan dikhawatirkan ini akan meluas jika krisis air tak kunjung usai.
Kita belum membahas beberapa wilayah Indonesia yang memang merupakan wilayah dengan tingkat intensitas curah hujan rendah, seperti NTT, NTB, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua. Ini adalah masalah yang berulang. Jika kita ingat kembali bagaimana kekeringan parah pada tahun 2015, disusul tahun 2019 dan kini di tahun 2023.
Harusnya ini menjadi pembelajaran besar untuk mempersiapkan antisipasi terbaik oleh pemerintah saat ini. Sebab, ini menyangkut hak hidup orang banyak dan negara bertanggungjawab menyelesaikan masalah ini. Sekalipun sumur bor banyak dibuat, sayangnya bagi sebagian sumur bor yang gagal, dan sebagian yang berhasil belum benar-benar menjadi solusi tuntas masalah yang kini berperiode per 4 tahun kemunculannya. Ini di luar krisis air pada wilayah minim air dan intensitas curah hujan rendah.
Belum lagi lahan yang sudah telanjur kerontang dan munculnya pihak-pihak yang mengomersialisasi sumber daya air serta tidak tanggapnya pemberdayaan air laut untuk diubah sebagai air pengganti di musim kemarau. Padahal, itu bisa menjadi alternatif lain saat beberapa bor air sumur gagal fungsi karena tak menemukan sumber air. Membuat jalan benar-benar menjadi sempit untuk terbebas dari krisis kekeringan ini.
Lantas apa lagi harapan kita saat ini? Komersialisasi yang marak dan mengakar sejatinya lahir dari tunas yang sama yang menumbuhkan persoalan-persoalan di negeri tercinta ini, baik kelangkaan gas, kenaikan minyak dan sekawanannya yang serupa. Tak dapat dimungkiri bahwa pemegang dan pemilik kuasa yang sebenarnya adalah para kapital dan korporat.
Bahkan, salah satu sumber vital manusia yang satu ini pun terkomersialisasi demi cuan dan keuntungan berkelanjutan. Lihatlah bagaimana persebaran air kemasan menjamur dari hulu ke hilir dengan kebutuhan yang lain merangkak memiliki siklus yang sama. Jika dipikir-pikir menggunakan kacamata mata duitan, cuan adalah segalanya. Tak peduli dampak besar setelahnya.
Ketika musim hujan menyapa, banjir di mana-mana. Tak ada upaya penampungan sebagai langkah pencegahan, tak ada pengolahan air berkelanjutan yang benar-benar terprioritaskan. Maka, saat kemarau tiba kering di mana-mana. Pemilik sumur bor rumah tangga akan baik-baik saja, lantas apa kabar para rakyat jelata? PDAM ada memang, tapi maaf-maaf saja tak semua dapat menjangkau harganya.
Ah, kompleks sekali masalah rakyat Indonesia saat ini. Saat euforia kemerdekaan menggema, kita lupa bahwa kita benar-benar jauh dari merdeka, terpeluk kerontang menahun. Jika ini adalah sakit pada tubuh, entah sudah sakit stadium berapa negeri pada krisis air ini.
Itulah mengapa para alim ulama selalu menyodorkan Islam untuk diterapkan. Itulah mengapa para asatiz rajin menyampaikan kesempurnaan Islam jika diambil utuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, syariat Islam menganjurkan prioritas utama pada kebutuhan rakyatnya adalah dikelola sepenuhnya oleh negara dan disalurkan kepada rakyat seadil-adilnya dan gratis pula. Bukan diswastanisasi, lalu diapresiasi dan negara seolah berlepas tangan dari tanggungjawab besarnya mengayomi rakyat negeri sendiri. Wallahualam bissawab. [Dara]