Alt Title

Menyoal Fenomena Distrust Publik Terhadap DPR dan Parpol

Menyoal Fenomena Distrust Publik Terhadap DPR dan Parpol

Sudah jamak diketahui bahwa parpol dalam sistem demokrasi sekuler saat ini banyak mengalami penyelewengan peran. Parpol yang seharusnya bertugas sebagai penyalur aspirasi rakyat malah dijadikan alat pemulus kepentingan pihak-pihak tertentu

Kepentingan tersebut bisa jadi berupa jabatan, kekuasaan, maupun kepentingan lainnya. Tak heran, jika parpol bisa memasang mahar politik dengan tarif fantastis, karena hanya dengan uanglah roda perpolitikan dalam parpol bisa terus bergerak

______________________________


Penulis Etik Rositasari 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Menjelang pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada 2024 mendatang, partai politik semakin gencar menyuarakan kampanye. Tidak tanggung-tanggung, demi mendulang suara, mereka bahkan memanfaatkan berbagai platform digital seperti televisi dan sosial media. Hal yang sama juga dilakukan oleh para calon anggota legislatif yang diusung melalui parpol-parpol tersebut. Beberapa banner dan papan kampanye sudah berjejer rapi sepanjang jalan. Namun, agaknya hal itu tak lagi banyak menggaet simpati masyarakat. Ini terbukti dari semakin merosotnya kepercayaan publik terhadap DPR maupun partai politik. 


Dilansir dari Suara[dot]com (26/6/23) sebuah lembaga survei pemerintahan, Populi Center, melakukan survei tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara. Hasilnya, DPR RI, DPD RI, hingga Partai Politik (parpol) menjadi tiga lembaga terbawah yang dipercaya publik. Peneliti Populi Center Hartanto Rosojati menjelaskan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR RI hanya 63,3 persen, lalu di bawahnya ada DPD RI dengan 61,3 persen. Di posisi terakhir, publik tidak percaya dengan Partai Politik.


"DPR/DPRD RI 63,3 persen DPD RI 61,3 persen dan Partai Politik 59,3 persen. Sisa angka di luar skala 1-10, masuk kategori tidak tahu/tidak jawab," kata Hartanto pada Senin (26/6/23) di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.


Hal ini dikuatkan oleh survei lain dari Survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan, dari 9 lembaga negara, tren kepercayaan publik terendah jatuh pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik. Kepercayaan publik terhadap DPR sebesar 68,5 persen, terbagi menjadi sangat percaya (7,1 persen) dan cukup percaya (61,4 persen). Sedangkan sisanya kurang percaya (26,6 persen) dan tidak percaya sama sekali (3,1 persen). Adapun kepercayaan terhadap partai politik sebesar 65,3 persen, dengan sangat percaya (6,6 persen), cukup percaya (58,7 persen), tidak percaya (29,5 persen) dan tidak percaya sama sekali (2,8 persen).


Tentu, ini menjadi sebuah tanda tanya besar. Idealnya, DPR dan Partai Politik memegang peran krusial untuk menjadi penyambung aspirasi dan keluhan masyarakat kepada pemerintah. Namun, bagaimana bisa DPR dan partai politik justru menjadi lembaga yang paling tidak dipercaya?


Mengulik Penyebab Ketidakpercayaan


Sudah jamak diketahui bahwa parpol dalam sistem demokrasi sekuler saat ini banyak mengalami penyelewengan peran. Parpol yang seharusnya bertugas sebagai penyalur aspirasi rakyat malah dijadikan alat pemulus kepentingan pihak-pihak tertentu. Kepentingan tersebut bisa jadi berupa jabatan, kekuasaan, maupun kepentingan lainnya. Tak heran, jika parpol bisa memasang mahar politik dengan tarif fantastis, karena hanya dengan uanglah roda perpolitikan dalam parpol bisa terus bergerak.


Masih belum hilang dari ingatan, bagaimana Kemendagri membeberkan mahar politik yang harus dikeluarkan para calon kontestan pemilu dari berbagai parpol. Ia mengatakan, biaya mahar pilkada tingkat kota berkisar 5 sampai 30 milliar, di tingkat Kabupaten sebesar 10 sampai 50 milliar, dan di tingkat provinsi 100 hingga 500 milliar. 


Ini tentu bukan jumlah yang sedikit. Terkadang modal pribadi saja tak cukup, hingga kerap kali para calon kontestan ini meminta sokongan dana tambahan, salah satunya dari para pemilik modal. Dan tentu saja, bukan tanpa imbalan. Seperti slogan khas sistem kapitalisme “No Free Lunch” para pemilik modal tersebut menuntut pengembalian sebanding bahkan lebih dalam bentuk koalisi mitra proyek dan pembentukan kebijakan yang mendukung kepentingan mereka. Belum lagi tuntutan sebagai petugas partai yang harus memberikan balas jasa pada parpol yang telah mengantarkannya pada kursi jabatan. 


Inilah yang membuat korupsi membudaya dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Jabatan dan kekuasaan yang didapat dimanfaatkan untuk balik modal dan ajang balas jasa pada parpol. Tak heran, berita rasuah para wakil rakyat yang juga merupakan anggota parpol tertentu sudah seperti makanan sehari-hari. Sebut saja Luthfi Hasan Ishaq, anggota DPR yang juga merupakan Ketua Umum PKS yang ditangkap karena kasus korupsi impor daging sapi. Ketum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum juga harus masuk jeruji besi akibat kasus suap Hambalang. Hal yang sama juga dialami oleh Suryadarma dan Romahurmuzy, Ketum PPP yang menjabat sebagai Menteri Agama, harus mempertanggung jawabkan perbuatannya akibat korupsi. Ironis memang, bahkan lembaga setingkat Kementerian Agama bisa melakukan tindakan haram tersebut. 


Belum lagi pembuatan kebijakan merugikan oleh para anggota dewan sebagai konsekuensi ‘pengembalian’ kepada para pemilik modal. Tak usah jauh-jauh, sebut saja UU Cipta Kerja yang hingga saat ini masih menuai polemik. Undang-undang yang dianggap merugikan para buruh dan pelaku usaha kecil tersebut bahkan nekat disahkan di tengah gelombang penolakan yang berjilid-jilid. Ada juga UU IKN yang tak kalah kental dengan nuansa oligarki. Di saat publik masih mempertanyakan urgensitasnya, UU tersebut tetap nekat digolkan. Dana triliunan rupiah akhirnya digelontorkan untuk memuluskan proyek ini. Tentu, ini sangat melukai hati rakyat yang mayoritas kebutuhan pokoknya saja belum tercukupi. 


Wajar saja, hal-hal tersebut membuat kepercayaan publik pada parpol maupun wakil rakyat semakin merosot. Parpol dianggap tak ubahnya hanya pendulang suara saat pemilu dan fasilitator pihak tertentu untuk meraih kekuasaan. Sementara itu, para anggota dewan yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat, absen melaksanakan amanahnya dan justru sibuk memenuhi tuntutan pemilik modal dan partai yang mengusungnya. 


Begitulah politik ala demokrasi saat ini. Para politikus yang harapannya dapat mewakili suara rakyat justru menjadi pengkhianat terbesar. Hal ini karena mereka dipilih bukan atas dasar kapabilitasnya, melainkan karena besarnya mahar politik yang diberikan. Mahalnya mahar ini menarik para pemilik modal terlibat hingga mengantarkan pada pembentukan kebijakan yang tidak independen sebagai upaya balas jasa. 


Selain itu, paradigma sekuler yang menjadi asas sistem demokrasi, menafikkan aturan agama sebagai dasar pembuat kebijakan dan landasan bertingkah laku. Tak heran, berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang masif dilakukan. Prinsipnya, selama menghasilkan keuntungan, perbuatan terlarang pun tak lagi ragu dikerjakan. Tindak korupsi, pembuatan kebijakan kebijakan zalim, termasuk kebijakan yang bertentangan dengan agama menjadi kelakuan khas yang tercermin dari para pemegang kekuasaan. 


Parpol dan Wakil Rakyat dalam Perspektif Islam


Kondisi politik dalam sistem demokrasi yang acapkali zalim terhadap kepentingan rakyat, tentu sangat berbeda dengan kondisi politik dalam sistem Islam. Dalam sistem Islam, ketakwaan dan nuansa keimanan akan menjadi pilar utama individu dalam bertingkah laku. Karena dibangun dengan landasan takwa, kader partai akan memiliki karakteristik yang khas. Ia akan jauh dari nafsu pemenuhan ambisi pribadi dan sibuk melaksanakan amanah dengan kemaslahatan umat sebagai ghayah utamanya. Demikian pula dengan partai politik yang merupakan wadah dari para kader partai, akan diarahkan pada tujuan dan peran yang semestinya sebagaimana diatur oleh syariat. 


Dalam surah Al Imron: 104, Allah berfirman, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)


Ayat ini menjadi dasar wajibnya pembentukan partai politik ideologis Islam di mana ia berperan sebagai pelaksana amar makruf nahi munkar dan pengontrol kebijakan penguasa. Ia akan menjadi garda terdepan dalam mewakili aspirasi umat, mengoreksi peraturan yang merugikan kemaslahatan publik serta memastikan berjalannya aktivitas penguasa tetap dalam koridor syarak, bukan hanya sebagai simbol eksistensi dan pendulang suara semata layaknya parpol dalam sistem sekuler saat ini.


Pun demikian halnya dengan wakil rakyat. Adanya atmosfir keimanan yang kuat, akan menumbuhkan kesadaran untuk menjalankan amanah sebaik-baiknya sebagai pelayan umat. Kebijakan yang dibuat pun didasarkan pada Al-Qur’an dan sunah serta ditujukan semata-mata demi terpenuhinya kebutuhan publik. Tak ada selipan kepentingan personal tertentu, semuanya dilakukan dengan sepenuh hati hanya mengharap keridaan Ilahi. Karakteristik pemimpin seperti inilah yang akan melahirkan kecintaan rakyat. Rakyat pun tak lagi berat meletakkan kepercayaan sepenuhnya baik kepada wakil rakyat maupun parpol, karena mereka yakin akan diarahkan menuju kehidupan yang mulia.


Hubungan harmonis antara penguasa dan rakyat yang timbul sebagai indikasi kepercayaan penuh publik tak akan pernah lahir jika kita masih berada dalam kubangan sistem demokrasi. Bahkan, demokrasi justru akan terus menenggelamkan umat dalam kemelut penderitaan jika terus dipertahankan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita campakkan demokrasi dan beralih kepada Islam sebagai solusi membentuk penguasa amanah yang dipercaya dan dicintai rakyat. Wallahualam bissawab. [MDh]