Ironi Kemiskinan di Tanah Papua
OpiniPenerapan sistem ekonomi kapitalis justru membuat Papua tertinggal jauh dan perubahannya berjalan lambat
Dalam sistem ekonomi kapitalis, penguasaan sumber daya alam boleh diserahkan kepada individu tertentu, dimana dalam hal ini adalah perusahaan besar dan para korporat asing
_____________________________
Penulis Etik Rositasari
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pasca Sarjana
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Masalah kemiskinan merupakan problem besar yang tak henti-hentinya melanda negeri ini, khususnya di wilayah timur Indonesia seperti Papua. Dua periode masa jabatan Presiden Joko Widodo diklaim telah berhasil menurunkan angka kemiskinan di Papua selama sepuluh tahun terakhir. Namun, benarkah fakta di lapangan telah menunjukkan bahwa Papua sejahtera dengan turunnya angka kemiskinan tersebut? Apalagi mengingat bahwa sebenarnya Papua memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah.
Statement terkait dengan penurunan kemiskinan di Papua pada masa jabatan Presiden Joko Widodo disampaikan oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Theofransus Litaay. Dilansir dalam CNN Indonesia (11/6/23), ia menyampaikan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, pembangunan di Papua pada periode pemerintahan Joko Widodo mengalami banyak perubahan dan keberhasilan. Indikator keberhasilan tersebut dibuktikan dengan meningkatnya aspek Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menurunnya angka kemiskinan dan meningkatnya angka harapan hidup.
Theofransus menuturkan, beberapa Kabupaten/Kota telah melampaui IPM Nasional yang berada pada angka 72,29. Yakni, Kota Jayapura 80,61, Kabupaten Mimika 75,08, Kabupaten Biak Numfor 72,85 dan Kota Sorong 78,98. Menurutnya, IPM Papua pada 2010 mencapai 54,45 persen. Angka itu meningkat menjadi 61,39 di tahun 2022. IPM Papua Barat pun demikian, pada 2010 mencapai 59,60, kemudian naik menjadi 65,89 pada 2022.
Sementara, tingkat kemiskinan mengalami penurunan signifikan, yakni di Papua dari 28,17 persen di Maret 2010 menjadi 26,56 persen di 2022. Senada dengan hal tersebut, Papua Barat juga mengalami penurunan dari 25,82 persen pada 2010 menjadi 21,33 persen di 2022. Selain IPM dan angka kemiskinan yang menunjukkan progress yang lebih baik, Theofransus juga menyebut angka harapan hidup mengalami kenaikan. Rinciannya untuk Papua, dari 64,31 pada 2010 menjadi 71,85 tahun pada 2022 sedangkan untuk Papua Barat naik dari 64,59 di 2010 menjadi 66,46 pada 2022.
Memang, progres perubahan ini perlu diapresiasi. Namun, yang tetap perlu kita kritisi adalah bahwa perubahan tersebut terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun. Ini tentu bukan waktu yang singkat, bahkan cenderung lambat. Maka, ini menjadi pertanyaan, mengapa progres pengentasan kemiskinan di Papus justru berjalan lambat? Padahal, sudah jamak diketahui bahwa Tanah Papua mempunyai cadangan sumber daya alam yang melimpah. Bahkan, beberapa orang menyebut Bumi Cendrawasih ini sebagai tanah keajaiban saking banyaknya sumber daya yang dimiliki.
Seperti yang telah disebutkan, Papua memiliki banyak sumber daya alam yang dapat menjadi sumber pendapatan negara di antaranya; (1) Papua memiliki tambang emas terbesar di Indonesia yang luasnya mencapai 229.893,75 HA dengan jumlah sumber daya bijih sebesar 3.2 miliar ton dan cadangan bijih sebesar 1.87 miliar ton; (2) Pada tahun 2021 lalu, tambang Grasberg yang ada di Papua, Indonesia, memproduksi 1,34 miliar pon tembaga; (3) Papua memiliki sebanyak 1.76 juta ton biji dan 1.875 juta ton biji untuk cadangan perak serta masih banyak lagi hasil tambang lainnya seperti tembaga, emas, batu bara, besi, batu kapur, pasir kaolin, minyak bumi dan gas alam.
Tidak cukup sampai disitu, selain kaya dengan barang tambang, Papua juga memiliki tanah yang subur dan asri. Keindahan laut dan pulau-pulaunya seperti Raja Ampat sudah tak asing lagi dikenal di mata dunia. Selain itu, potensi flora dan fauna yang khas dan beraneka ragam membuat Papua juga mempunyai potensi pariwisata yang besar.
Semua kekayaan alam tersebut, ternyata tak lantas membuat masyarakat Papua sejahtera. Faktanya, dilansir dari JawaPos (23/323), Kemenko PMK menyebut Provinsi Papua Barat dan Barat Daya menjadi wilayah dengan masalah stunting dan kemiskinan yang ekstrem. Tingginya masalah stunting tersebut selain karena kurangnya pasokan makanan bergizi, diakibatkan karena minimnya akses kesehatan, khususnya di daerah-daerah terpencil.
Selain itu, ketersediaan air bersih sebagai kebutuhan dasar bagi masyarakat masih jauh dari kata layak. Belum lagi masalah konflik bertahun tahun yang timbul akibat gerakan separatisme KKB yang ingin memisahkan diri dari Indonesi, isu ketertinggalan dalam hal penyediaan sarana prasarana dan pembangunan, isu ketidakadilan yang semakin menegaskan bahwa problematika di Tanah Papua belum tuntas. Semuanya masih meninggalkan PR besar bagi pemerintah, yang seharusnya bukan hanya diselesaikan dalam capaian angka kuantitatif saja.
Sumber daya alam di Papua sebenarnya sudah tak diragukan lagi keberlimpahannya. Salah satu sumber daya yang saat ini paling jamak dikenal masyarakat dan menjadi ikon dari Papua adalah ‘bukit emas’. Sayangnya, saat ini emas tersebut justru dikuasai oleh PT Freeport, sebuah perusahan Amerika. Perusahaan tersebut melakukan pengerukan emas besar-besaran selama bertahun-tahun hingga sudah tak terhitung lagi berapa banyak emas yang dibawa dari Papua.
Jika saja sumber daya tersebut tidak diserahkan kepada asing dan dibiarkan dikelola sendiri oleh pemerintah, kemudian hasilnya digunakan untuk pembangunan di Tanah Papua, tentu saja kondisi Papua tak akan menjadi seperti saat ini. Papua akan menjadi wilayah yang sejahtera dan makmur. Bahkan, dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, bukan hanya masyarakat Papua, seluruh masyarakat Indonesia bisa jadi ikut sejahtera. Tidak akan ada ketimpangan kesejahteraan, pembangunan, ekonomi, kesehatan, pemenuhan kebutuhan gizi, pendidikan, sosial, sarana dan prasarana air, fasilitas kesehatan serta ketimpangan lainnya antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, seperti kondisi Papua saat ini.
Sayangnya saat ini, penerapan sistem ekonomi kapitalis justru membuat Papua tertinggal jauh dan perubahannya berjalan lambat. Dalam sistem ekonomi kapitalis, penguasaan sumber daya alam boleh diserahkan kepada individu tertentu, dimana dalam hal ini adalah perusahaan besar dan para korporat asing. Sementara, penguasa justru menjadi ‘jalan pemulus’ bagi para korporat dalam menguasai sumber daya alam, alih-alih membela kepentingan rakyat.
Hal ini dikarenakan, dalam sistem kapitalisme, semua kebijakan didasarkan pada manfaat dan untung rugi semata. Hal-hal yang membawa pada keuntungan pribadi maka akan dilakukan semaksimal mungkin walaupun mengorbankan kepentingan orang lain. Maka, dengan ini nyatalah sebab mengapa Papua tak jua kunjung sejahtera.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Islam sebenarnya telah menyediakan solusi melalui penerapan sistem ekonomi dan politik Islam. Dalam Islam, berlaku peraturan dimana sumber daya alam yang meliputi padang (hutan), api (sumber daya yang keluar dari perut bumi) dan air merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai individu maupun kelompok tertentu. Sementara, pengelolaannya diserahkan kepada negara dan hasilnya akan dikembalikan kepada umat dengan wujud penyediaan sarana prasarana, pendidikan, kesehatan gratis, pembukaan lapangan pekerjaan dan kepentingan kepentingan umat yang lain.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)
Selain itu, terkait dengan politik Islam, khalifah akan menjadikan aturan berdasarkan syara’/perintah dan larangan Allah, bukan berdasarkan untung rugi layaknya yang terjadi di sistem kapitalisme. Di dalam Islam, berlaku aturan pengharaman penguasaan harta orang mukmin oleh orang kafir. Aturan pengharaman ini, secara tidak langsung melarang pengelolaan sumber daya oleh asing, apalagi negara tersebut merupakan negara kafir penjajah. Sebagaimana firman Allah dalam surah Annisa (4): 141.
....وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا.
"... Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman."
Sistem politik Islam juga bersifat sentralistik dimana semua hasil pengelolaan sumber daya alam di daerah akan dikelola secara terpusat untuk kemudian didistribusikan secara merata ke selurruh wilayah, termasuk wilayah yang miskin sumber daya alam dan terpencil. Hal ini karena di dalam Islam, muslim merupakan satu tubuh yang tidak terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga perlakuan Khalifah akan sama antara muslim satu dengan yang lain.
Jika, sistem Islam benar-benar diterapkan, Papua akan mendapatkan prioritas yang sama dalam hal pemerataan pembangunan dan penyediaan sarana prasarana. Tidak akan lagi ada perasaan terdiskriminasi dan terpinggirkan karena semua mempunyai hak yang sama selama berada di dalam sistem Islam. Seperti itulah, Islam menjamin kesejahteraan seluruh warga negaranya. Oleh karena itu, sudah saatnya kita berhijrah kembali kepada Islam agar problematika yang tak henti-hentinya ini bisa terselesesaikan secara tuntas. Wallahu alam bissawab. [DH]