Alt Title

Korupsi Dana Desa, Kok Bisa?

Korupsi Dana Desa, Kok Bisa?

 

Selain itu, pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi, termasuk pemilihan Kades, membutuhkan dana kampanye yang sangat besar. Sementara, jalan pintas dan paling mudah untuk mengembalikan dana kampanye adalah dengan melakukan korupsi. Inilah penyebab mengapa kasus korupsi tidak pernah bisa tuntas

_________________________


Penulis Ummu Rufaida ALB

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUM CAHAYA.com, OPINI - Korupsi di Indonesia bukan lagi hal yang tabu. Ia selalu menggurita disetiap lini, instansi pemerintah juga swasta. Bahkan setelah UU Desa diterapkan tahun 2015, perangkat desa pun terperangkap dalam lingkaran korupsi. Ya, dana desa menjadi lahan basah yang siap diperebutkan oleh para "penggemarnya".


Akhir-akhir ini, revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menuai kontroversi. Selain perihal perpanjangan masa jabatan kepala desa (Kades), perihal penambahan porsi APBN untuk dana desa terus mencuat. Penambahan dana desa dianggap perlu guna meningkatkan pembangunan desa. Namun, sudahkah alokasi dana desa tepat sasaran sehingga menyejahterakan warga?


Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2022 kasus korupsi di sektor desa paling banyak ditangani oleh penegak hukum. Menurut catatannya, sejak terbit UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur dasar penyelenggaraan dana desa, kasus korupsi di desa mengalami kenaikan yang cukup mengkhawatirkan.


Pada 2022 dari 155 kasus korupsi dana desa, 133 kasus berkaitan dengan dana desa, sisanya 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa. Akibatnya negara mengalami kerugian sebesar Rp381 miliar. Jika dilihat berdasarkan pelaku, yang paling banyak terjerat kasus korupsi adalah pegawai pemerintahan daerah dan swasta, disusul kepala desa menempati posisi ketiga. (Katadata[dot]co[dot]id, 5/7/2023)


Sementara, Abdul Halim Iskandar selaku Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia menegaskan bahwa pihaknya sudah membuat sejumlah sistem sehingga transparansi penggunaan dana desa sudah paling baik dibandingkan semua pendanaan di level pemerintah. Sebab memang dana desa diperuntukkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia.


Menurutnya, distribusi dana desa sudah tepat sasaran. Bahkan ia berani menjamin tidak ada pembangunan mangkrak di seluruh desa di Indonesia. Ia juga menjamin keamanan dana desa sudah dilakukan secara berlapis, baik inspektorat kementeriannya maupun aparat penegak hukum. (Tirto[dot]id, 30/6/2023).


Tujuan pemberian dana desa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan pemerataan pembangunan. Sebab selama ini pembangunan wilayah pedesaan tidak merata yang mengakibatkan kesenjangan pembangunan, meningkatnya angka kemiskinan serta lambatnya pelayanan publik di desa. (Katadata[dot]co[dot]id, 8/4/2023)


Beginilah polemik yang terjadi dalam sistem politik demokrasi. Sedianya, anggaran dana untuk memajukan dan pembangunan desa malah dimakan sendiri oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Lantas, bagaimana bisa meminta penambahan alokasi dana desa jika selama ini dana yang ada malah diselewengkan?


Patut diakui bahwa sistem demokrasi yang diterapkan saat ini, sangat membuka ruang bagi perilaku korupsi. Bagaimana tidak, UU dan aturan bisa saja direvisi sesuai kepentingan, minim pengawasan, serta hukuman bagi para koruptor nyatanya tak membawa efek jera bagi pelaku pun masyarakat. Maka, sistem demokrasilah yang menjadi biang keladi tindak korupsi. 


Mari kita bahas. Pertama, pelaksanaan pemilihan kepala desa sangat rentan dengan politik uang layaknya pilkada. Masyarakat tidak lagi melihat kapasitas dan kapabilitas calon Kades, mereka hanya melihat seberapa besar dukungan dan citra yang dimunculkan selama masa kampanye. Inilah celah pintu masuknya praktik money politic, yakni membeli suara masyarakat dengan sembako atau amplop uang. 


Kedua, besaran gaji Kades terpilih yang menggiurkan para calon Kades tentu akan memicu persaingan. Akhirnya mereka akan membangun citra yang baik di hadapan masyarakat. Akibatnya masyarakat banyak yang tertipu dengan janji-janji manis kampanye. 


Ketiga, latar belakang pendidikan. Kades yang tidak memiliki basis pendidikan tentang pengelolaan dana desa yang jumlahnya milyaran, tentu akan kesulitan mengatur pengelolaan dana desa. Disinilah celah dana desa tidak tepat sasaran akan terjadi, pun penyalah gunaannya. 


Selain itu, pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi, termasuk pemilihan Kades, membutuhkan dana kampanye yang sangat besar. Sementara, jalan pintas dan paling mudah untuk mengembalikan dana kampanye adalah dengan melakukan korupsi. Inilah penyebab mengapa kasus korupsi tidak pernah bisa tuntas.


Hal ini sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Khalifah (kepala negara) terpilih akan langsung mengangkat penguasa/pemimpin daerah seperti wali (setingkat gubernur), amil (setingkat bupati) dan mudir (setingkat kades). Hal ini dilakukan untuk efisiensi dan efektivitas waktu serta mencegah terjadinya praktik politik uang serta korupsi.


Sistem Islam pun berkomitmen memberantas korupsi hingga tuntas, dengan beberapa langkah. Pertama, pada semua level pemerintahan dibangun integritas kepemimpinan yakni ketakwaan setiap individu. Loyalitas kepemimpinan harus bersandar pada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan pada kepentingan parpol/kelompok apalagi karib kerabat. Para pemimpin, di tingkat pusat hingga desa, menjalankan amanah kepemimpinan semata untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. 


Sebagaimana sabda Nabi saw.,"Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin." (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Amr).


Kedua, optimalisasi fungsi Badan Pengawas Keuangan. Mereka bertugas untuk memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat negara. Tersebab aturan dan perundang-undangan yang berlaku adalah hukum Islam, maka tidak ada ruang untuk membuat, merancang atau jual beli hukum.


Ketiga, ditegakkannya sistem sanksi Islam yang akan memberikan efek jera bagi pelaku dan memberi pelajaran bagi mereka yang berniat korupsi. Dalam hal ini, hukumannya berdasarkan wewenang Khalifah yakni takzir dengan pemberian sanksi sesuai kadar kejahatannya. Bisa berupa penjara, pengasingan hingga hukuman mati.


Semua ini hanya bisa diterapkan ketika Islam dijadikan sebagai landasan sistem pemerintahan. Maka sudah saatnya kita mengganti sistem demokrasi sekuler, agar korupsi tak lagi menghantui negeri.

Wallahualam bissawab. [GSM]