Alt Title

Iuran BPJS Naik, Sungguh Tidak Humanis

Iuran BPJS Naik, Sungguh Tidak Humanis

Sejatinya, bagaimanapun prosesnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu sendiri tetap layak diberi sebutan malkonstitusi

Sebab telah merusak tatanan peran seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya

________________________________


Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd.

Praktisi Pendidikan dan Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Rakyat negeri ini harus kembali sport jantung. Pada saat himpitan persoalan kehidupan yang berkali-kali mendera, buah kebijakan rezim yang tidak berpihak pada mereka, saat itu pula rakyat harus kembali menelan pil pahit berupa wacana kenaikan biaya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pertambahan jumlah nominal yang harus dibayarkan untuk pelayanan kesehatan ini, tidak hanya menyesakkan dada, namun membuat rakyat semakin sulit bernapas.


Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menjadwalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada bulan Juli 2025. Wacana ini muncul setelah Muttakien, anggota DJSN mengungkap akan ada defisit anggaran BPJS sekitar Rp11 triliun. Defisit diperkirakan akan terjadi pada bulan Agustus sampai September 2025. (Tempo[dot]co, 24/7/2023)


Kenaikan ini juga diperkuat oleh dalil hukum berupa perubahan tarif standar layanan kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2023. Permenkes ini mengatur standar tarif terbaru yang menggantikan standar tarif pelayanan kesehatan lama baik untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama  (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang diatur dalam Permenkes Nomor 52 Tahun 2016. (CNBC Indonesia, 20/7/2023)


Malkonstitusi


Gonjang-ganjing kenaikan iuran BPJS bukan kali ini saja terjadi. Hal yang menggemaskan, proses kenaikan iuran layanan kesehatan ini seringkali ditandai oleh tindakan malkonstitusi. Belum lekang dari ingatan, ketika pada tahun 2020 pemerintah juga pernah menaikkan iuran BPJS melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pasal 34. Padahal  sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA Nomor 7P/HUM/2020, tapi pemerintah memutuskan kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. (Indonesiabaik[dot]id, 5/5/ 2020)


Untuk kenaikan iuran BPJS kali ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Timboel Siregar, anggota BPJS Watch, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Perpres 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, bahwa besaran iuran ditinjau paling lama dua tahun sekali. Jika mengacu pada aturan yang ada, kenaikan iuran BPJS seharusnya sudah naik di tahun 2022 dan 2024. Namun dalam hal ini, pemerintah telah menegaskan bahwa iuran tersebut akan naik setelah tahun 2024.


Keputusan kenaikan iuran memang selalu bersifat politis, tidak selalu berpedoman pada faktor yuridis. Sebab sensitivitas yang ditimbulkan menjadi tidak populis bagi penguasa yang akan mengakhiri masa jabatannya. Hal ini akan berpotensi menuai kritik. Sejatinya, bagaimanapun prosesnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu sendiri tetap layak diberi sebutan malkonstitusi. Sebab telah merusak tatanan peran seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya.


Tidak Humanis


Saat ini rakyat sedang berada dalam masa keprihatinan. Beban hidup akibat harga-harga kebutuhan pokok yang cenderung  meroket, harga BBM yang enggan turun, tarif listrik yang seringkali ikut-ikutan naik dan yang lainnya. Sungguh ini menambah beban rakyat. Padahal keamanan dari aspek kesehatan belum sepenuhnya terjamin meski menjadi peserta BPJS. Sebab kenaikan iuran tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas pelayanan.


Sementara ancaman kemiskinan membayangi rakyat setiap waktu. Pendapatan tetap, sedang kenaikan harga kebutuhan serta biaya layanan terus melesat dan enggan turun. Angka kriminalitas yang tinggi, PHK yang seringkali terjadi, adalah sekelumit beban kehidupan masyarakat yang mungkin pemerintah sendiri maldata. Sehingga banyak program bantuan yang diluncurkan menjadi salah sasaran. Apakah terlalu berlebihan jika menyatakan bahwa, penguasa negeri ini telah kehilangan belas kasih terhadap rakyatnya.


Kalau boleh mempertanyakan, kemana larinya dana utang ribawi yang katanya dimaksudkan untuk kepentingan rakyat. Padahal selama ini untuk kemaslahatan umum pemerintah dengan tanpa belas kasih menarik dana abadi masyarakat hingga ke sudut-sudut tersembunyi. Seperti yang terjadi pada kenaikan BPJS. Padahal masih ada kantung-kantung yang seharusnya bisa diakses sebagai sumber bagi pembiayaan kebutuhan rakyat. Misalnya sumber daya alam yang melimpah.


Sungguh, tidak terlihat sisi humanis, dari setiap kebijakan yang digelontorkan pemerintah. Masyarakat pun hanya bisa mengelus dada dan terpaksa menerima. Demikianlah, watak negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Negara bukanlah pengurus sejati bagi rakyat. Hal yang jamak terjadi, jika segala urusan rakyat banyak diserahkan kepada pihak lain, dengan wataknya mengharapkan keuntungan dan tidak mau rugi. Di dunia kapitalis, rakyat hanya sebuah objek bisnis. Sesuai tabiatnya, di bidang apapun, dunia kapitalisme selalu memandang dari sudut bisnis. Tak terkecuali di dunia kesehatan.


Paradigma Kesehatan dalam Islam


Kesehatan dalam pandangan Islam merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari seluruh sistem kehidupan Islam. Sistem ini telah didesain oleh Allah Swt. dengan begitu uniknya untuk diterapkan secara politik dengan keunikannya pula yaitu, Khilafah.


Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyat. Dalam pemenuhannya, bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Kesehatan sebagai salah satu kebutuhan dasar yang pemenuhan dilakukan secara tidak langsung di samping kebutuhan pendidikan dan keamanan. Sedangkan sandang, pangan, papan, dipenuhi negara secara langsung. Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar itu.


Nabi saw. bersabda:

اْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: "Imam (khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)


Upaya pemenuhan layanan kesehatan dalam Islam bersifat preventif-protektif dan kuratif. Upaya pencegahan dan perlindungan, dimulai dari pembinaan terhadap manusia sebaga subjek sekaligus sebagi objek. Islam menanamkan nilai-nilai tauhid yang manifestasinya dalam wujud ketaatan kepada Allah. 


Secara faktual kesehatan penduduk dipengaruhi empat faktor utama : lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik. Namun semuanya bermuara pada manusia itu sendiri. Untuk itu negara harus memastikan penduduknya mendapat perlindungan kesehatan sehingga langkah preventif dapat dilakukan sejak dini.


Misalnya penyediaan air bersih yang dibutuhkan masyarakat, perlindungan dari makanan berbahaya, penyediaan tempat sampah, fasilitas check up kesehatan sebagai upaya pencegahan penyakit dan yang lainnya. Upaya-upaya preventif lainnya, sudah include pada bagian totalitas sistem. Misalnya, larangan khamr, narkoba, seks bebas dan lainnya.


Dalam layanan secara kuratif negara akan menyediakan layanan berkualitas dan murah, bahkan bisa gratis, terbaik serta terpenuhi aspek ketersediaan, kesinambungan dan ketercapaian. Dalam hal ini negara harus menerapkan konsep anggaran mutlak, berapa pun biaya yang dibutuhkan harus dipenuhi. Karena negara adalah pihak yang berada di garda terdepan dalam jaminan kesehatan bagi rakyatnya.


Kehadiran negara sebagai pelaksana syariat secara kafah, khususnya dalam pengelolaan kekayaan negara menjadikan negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan berbagai fungsi dan tanggung jawabnya. Termasuk jaminan kesehatan. Wallahualam bissawab. [SJ]