Alt Title

Mundur demi Nyaleg, di Mana Tanggung Jawab Pejabat?

Mundur demi Nyaleg, di Mana Tanggung Jawab Pejabat?

Inilah wajah asli para pejabat di bawah naungan sistem demokrasi kapitalisme. Bukannya menyelesaikan amanah yang sedang dipikulnya, mereka justru mundur dan mencalonkan diri kembali sebagai pejabat

Perilaku tak bertanggung jawab para pejabat tersebut menjadi tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh sistem saat ini

________________________



KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Hiruk-pikuk pencalonan peserta pemilihan umum serentak 2024 sangat menyedot perhatian publik. Dari ribuan nama yang sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat deretan nama-nama kepala dan wakil kepala daerah yang masih aktif. Padahal, berdasarkan Undang-Undang (UU) Pemilu pada Pasal 182 Huruf k dan Pasal 240 Ayat (1), disebutkan bahwa pejabat aktif harus mundur terlebih dahulu dari jabatan mereka. (Tirto[dot]id, 21/05/2023)


Tak hanya kepala dan wakil kepala daerah, di deretan nama-nama calon tersebut pun terdapat petahana dari kalangan artis, seperti Krisdayanti, Rieke Diah Pitaloka, dan Rano Karno. Jika para pejabat mencalonkan diri di tengah jabatannya yang masih aktif, lantas di mana tanggung jawabnya terhadap amanah yang sedang mereka emban?

 

Tak bisa dimungkiri, posisi sebagai anggota dewan memang sangat menggiurkan. Tak heran para politisi berlomba-lomba menjadi pemilik satu dari ratusan kursi yang tersedia di ruang dewan. Hasrat mempertahankan kekuasaan tersebut bahkan mengalahkan amanah yang sedang dipikulnya. 


Di sisi lain, motif politik menjadi salah satu alasan banyaknya politisi kembali mencalonkan diri di tengah jabatan yang masih aktif. Apalagi jika mereka adalah para politisi yang sudah memiliki popularitas cukup baik di tengah masyarakat. Salah satu tujuannya adalah meningkatkan suara partai. Sebab, cara ini dianggap paling efektif untuk mendongkrak suara atau kursi partai di parlemen.


Ini artinya, pencalonan tersebut semata-mata demi kepentingan partai, bukan kemaslahatan publik. Hal ini tentu saja sangat merugikan masyarakat. Pasalnya, para pejabat digaji dengan uang rakyat untuk mengemban amanah sebagai pengurus rakyat. Namun, realitas di lapangan justru jauh panggang dari api. Para pejabat ternyata hanyalah petugas partai yang duduk di singgasana kekuasaan demi kepentingan pribadi dan partainya, bukan untuk rakyat. 


Inilah wajah asli para pejabat di bawah naungan sistem demokrasi kapitalisme. Bukannya menyelesaikan amanah yang sedang dipikulnya, mereka justru mundur dan mencalonkan diri kembali sebagai pejabat. Perilaku tak bertanggung jawab para pejabat tersebut menjadi tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh sistem saat ini.


Padahal, amanah adalah satu hal penting yang harus ditunaikan, apalagi jika berkaitan dengan pengurusan rakyat. Sebab, setiap amanah pasti akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana tercantum dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yang artinya: "Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus."


Syariat Islam telah menjelaskan bahwa amanah jabatan bisa menjadi penyesalan dan kehinaan di akhirat. Artinya, siapa pun yang menyia-nyiakan amanah akan menyesal di akhirat dan terhina karenanya. Selain itu, seorang pemimpin atau pejabat tak cukup hanya dengan menjadi amanah, tetapi ia juga harus memiliki kompetensi. 


Sebab, kompetensi inilah yang memungkinkan seorang pemimpin atau pejabat mampu melaksanakan amanahnya dengan baik. Namun, pejabat yang memiliki karakter mulia hanya lahir dari sistem rancangan Sang Pencipta, yakni Khilafah. Di bawah naungan Islam, para pejabat dan penguasa benar-benar mengabdikan seluruh waktu, tenaga, pikiran, serta kompetensinya hanya untuk melayani rakyat. Wallahu a'lam bi ash-shawwab. []


Sartinah

Pegiat Literasi