Alt Title

Banjir Wisuda Mewah, Hura-Hura Dunia Pendidikan Kian Mewabah

Banjir Wisuda Mewah, Hura-Hura Dunia Pendidikan Kian Mewabah

Makin dewasa makin hemat dan sederhana. Makin berilmu makin bisa menyuguhkan manfaat bukan sekadar hura-hura. Nilai-nilai ini makin luntur

Sakralnya acara pelepasan sudah pudar. Tergantikan oleh fanatisme dandanan, oleh ledakan musik yang memekakkan. Terhapuskan karena lebih senang dengan DJ dan loncat-loncatan. Doa khusyuk mengawali sambutan hanya formalitas agar tak terlalu tampak sekulernya. Acara masih didahului lantunan Al-Fatihah dan beberapa ayat suci. Sisanya, glamor dan foya-foya saja

_____________________________


Penulis Eni Suswandari, S.Pd.

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan di Pesisir Barat Lampung



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dunia pendidikan merupakan wadah tempat menempa generasi dalam menyiapkan masa depan. Sekolah adalah lingkungan formal dimana para peserta didik menimba ilmu pengetahuan, menggali berbagai keterampilan, mengasah bakat, mengarahkan minat, dan sarana mewujudkan cita-cita. Lembaga pendidikan adalah institusi yang menjadi harapan bagi siswa dan orang tua untuk menuju masa depan yang cerah. 


Namun, tidak dimungkiri berbagai problema kadang menjadi kendala yang perlu diselesaikan agar tidak menimbulkan efek berkepanjangan. Terutama jika itu menyangkut masalah biaya. Sebab aspek ini sangat bergantung pada ekonomi masyarakat. Kemampuan masyarakat untuk menanggung biaya pendidikan akan menentukan kemampuan mereka dalam mengakses layanan pendidikan itu sendiri.


Artinya, biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat sangat berpengaruh pada pemerataan akses pendidikan yang berkualitas yang bisa mereka dapatkan. Faktanya, banyak sekolah yang berkualitas namun tak semua anggota masyarakat bisa mengenyam pendidikan di dalamnya, khususnya jika itu sekolah swasta. Pasalnya, selain biaya utama pendidikan seperti gaji guru, buku, infrastruktur, kegiatan ekstrakurikuler, masih terdapat biaya lain-lain di luar unsur utama yang juga kadang menjadi beban. 


Sebut saja, biaya study tour juga wisuda. Baru-baru ini, kita mendapati bagaimana sekolah-sekolah berlomba untuk mengistimewakan kedua agenda tersebut. Bahkan sebagian sekolah mewajibkan agenda tahunan tersebut. Sementara, seluruh biaya penyelenggaraan menjadi tanggung jawab orang tua peserta didik. Yang berdasarkan berbagai pengamatan dewasa ini pelaksanaannya sangat glamor dan penuh persaingan.


Sementara, acara wisuda yang mewah ini merata dari tingkat TK, SD, SMP, hingga SMA. Kritik terhadap fenomena wisuda glamor itu sendiri telah menjadi berita yang viral di media sosial. Bahkan, dalam salah satu postingan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mendapat aduan tentang glamorisnya wisuda ini sempat membanjiri kolom komentar. Contoh nyata protes warga terhadap salah satu acara wisuda terjadi di Yogyakarta.


Pasalnya, orang tua keberatan dengan adanya biaya wisuda yang harus ditanggung oleh orang tua sejak awal tahun ajaran baru. Bahkan dikatakan ada kegiatan wisuda yang harus menyewa gedung mahal. Adik kelas ikut iuran wajib untuk acara wisuda kakak kelas. Hingga aduan keberatan mengenai wisuda ini juga masuk ke Forum Pemantau Independen (FORPI) Kota Yogyakarta serta Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY. Kepala ORI DIY, Budhi Masturi menyebut berdasarkan hasil pemantauannya memang sudah sejak beberapa tahun terakhir acara wisuda di sekolah-sekolah di daerahnya digelar cukup glamor. (CNN[dot]Indonesia[dot]com,17 Juni 2023)


Sebenarnya perayaan glamoris untuk pelepasan siswa atau sekarang dikenal dengan istilah wisuda tak hanya terjadi di Yogyakarta. Banyak juga sekolah-sekolah lain yang juga menyelenggarakan pesta serupa. Pelepasan siswa kadang menjadi ajang untuk tampil maksimal berorientasi pada kemewahan luar saja. Bukan tentang peristiwa sakral menghantarkan anak-anak bangsa menuju tangga yang lebih tinggi dalam dunia ilmunya. Mengamanahkan bahwa ilmu padi makin tinggi makin merunduk.


Makin dewasa makin hemat dan sederhana. Makin berilmu makin bisa menyuguhkan manfaat bukan sekadar hura-hura. Nilai-nilai ini makin luntur. Sakralnya acara pelepasan sudah pudar. Tergantikan oleh fanatisme dandanan, oleh ledakan musik yang memekakkan. Terhapuskan karena lebih senang dengan DJ dan loncat-loncatan. Doa khusyuk mengawali sambutan hanya formalitas agar tak terlalu tampak sekulernya. Acara masih didahului lantunan Al-Fatihah dan beberapa ayat suci. Sisanya, glamor dan foya-foya saja. 


Beginilah ketika standar hidup disandarkan kepada materi. Bahwa suatu hal dikatakan tinggi nilainya manakala bisa menyuguhkan sesuatu yang mewah. Meski untuk mewujudkannya harus menguras kantong pihak-pihak yang menjadi sasarannya. Sayangnya, peristiwa seperti ini harus turut merambah dunia ilmu. Menjadi fenomenal di dunia pendidikan. Ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan tempat menempa jiwa-jiwa kaum terpelajar pun tak lepas dari serangan sekularisme kapitalis yang melahirkan sifat hedonis. Bermegah-megahan untuk perkara yang bukan pada urgensinya. Sungguh miris.


Padahal Allah Subhahu wa Ta'ala telah mengingatkan setiap kita untuk menjauhi sifat bermegah-megahan. Allah sendiri mengancam sikap bermegahan dengan Neraka Jahim. Sebagaimana firmanya dalam surat At-Takatsur yang artinya sebagai berikut:


"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim. Kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu)."


Sebenarnya, fenomena semacam ini bisa dicegah dan tak perlu meluas apalagi menjadi suatu kewajiban. Sekolah dengan segala elemen yang berperan di dalamnya dapat memilah mana perkara yang berorientasi pada kualitas yang perlu terus diwujudkan, mana perkara apriori yang bisa dipangkas dan ditumbangkan. Hanya saja perlu sinergi yang harmonis untuk mewujudkan itu semua.


Pimpinan sekolah misalnya, perlu memiliki pandangan mendasar tentang hakikat kehidupan sehingga akan melahirkan kebijakan yang sarat manfaat. Masyarakat sekolah bahu membahu untuk membangun segala hal positif dan mencampakkan perkara yang hanya bersifat hura-hura. Sebab sekolah tak layak dijadikan arena persaingan kemewahan. Komite yang juga turut menjalankan roda-roda pendidikan melalui sumbangan dana dan dukungan lainnya, harus mampu menyuarakan kebenaran.


Sebab ini akan berpengaruh terhadap perkembangan peserta didik yang tidak lain itu adalah putra-putri dari rumah mereka. Jangan hanya diam jika ada kemungkaran. Jangan berteriak jika yang terjadi adalah sebuah kebenaran. Harus bisa membedakan mana kegiatan yang mendidik, mendisiplinkan, menanamkan norma, dan mana kejadian yang hanya un-faedah semata. 


Di sinilah, pentingnya pemahaman komprehensif yang dibimbing oleh konsep dan norma agama agar tak semata setiap pihak mengedepankan hawa nafsu dalam tindakannya. Termasuk dalam menetapkan  agenda terbaik bagi siswa siswi harapan bangsa. Wallahualam bissawab. []