Alt Title

Tak Cukup Sekadar Integritas

Tak Cukup Sekadar Integritas

Kriteria pemimpin yang menafikan urusan akhirat memang menjadi ciri khas dalam sistem demokrasi sekuler. Sistem yang membuang aturan Tuhan memang tidak akan memprioritaskan urusan akhirat. Wajar saja jika kriteria pemimpin tak harus saleh, yang penting memiliki integritas dalam urusan keduniaan

________________________


Penulis Sartinah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi




KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Mantan terpidana kasus korupsi yang sekaligus politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy, kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait kriteria calon presiden ke depannya. Romi menyebut, kriteria ketiga calon presiden sudah cukup jika menyampaikan visi dan misi saja. 


Menurutnya, tak perlu harus mengangkat perihal saleh atau tidak, pandai mengaji atau malas, rajin salat atau tidak, tetapi cukup fokus pada integritas semata. Bahkan, Romi pun mengatakan, meski PPP merupakan partai Islam, tetapi rujukan dalam memilih presiden adalah kitab Al-Ahkam Sulthaniyah, yang menyebut bahwa pemimpin maksiat pun memiliki hak untuk  ditaati selama dia tidak melarang kebebasan beragama. (Republika[dot]co[dot]id, 11/05/2023)


Lantas, benarkah kriteria seorang pemimpin cukup hanya dengan memiliki integritas semata? 


Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses pemilihan presiden di negeri ini hanya dilakukan melalui pemilu. Setiap lima tahun pula, rakyat selalu berharap mendapatkan pemimpin terbaik. Sayangnya, harapan tersebut terkadang tak selalu berjalan sesuai realitas. Dalam beberapa kali pemilu, pemimpin yang terpilih justru lebih buruk dari sebelumnya, terutama soal kebijakan. Mengapa demikian? 


Sejatinya hal ini terjadi karena standar atau kualitas seorang pemimpin tidak diukur atau ditimbang dengan kacamata syariat, yakni Al-Qur'an dan As-Sunah. Namun, kapasitas seorang pemimpin diukur berdasarkan konstitusi dan perundangan yang ada saat ini. Lihat saja dalam perundang-undangan saat ini, tidak ada satu pasal pun yang menyebut jika seorang pemimpin harus bisa membaca Al-Qur'an, salat, ataupun harus bertakwa. 


Kriteria pemimpin yang menafikan urusan akhirat memang menjadi ciri khas dalam sistem demokrasi sekuler. Sistem yang membuang aturan Tuhan memang tidak akan memprioritaskan urusan akhirat. Wajar saja jika kriteria pemimpin tak harus saleh, yang penting memiliki integritas dalam urusan keduniaan. 


Padahal, Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah melindungi kamu dari imarah as-sufaha." Kaab bertanya, "Apa itu imarah as-sufaha, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Mereka adalah para pemimpin sesudahku, yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak meneladani sunahku ...." (HR. Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi)


Lihatlah betapa banyak pemimpin yang memiliki integritas dan kapabilitas, tetapi tetap mendukung dan menjalankan sistem yang bukan berasal dari Islam. Artinya, kepemimpinan penguasa mana pun, baik memiliki kecerdasan yang tinggi atau rendah, tetapi masih menjalankan sistem kufur, maka mereka hakikatnya terkategori sebagai imarah as-sufaha (pemimpin bodoh/dungu).


Karena itu, seorang pemimpin tidak hanya dituntut memiliki integritas, tetapi wajib memiliki ketakwaan. Inilah sejatinya yang dituntut oleh Islam. Sebab, seorang pemimpin (khalifah) dipilih dan dibaiat tidak lain untuk menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan penerapan syariat Islam, sebuah negara akan terhindar dari kepemimpinan orang-orang bodoh. Wallahualam bissawab. []