Alt Title

Kebangkitan BRICS Melawan Dominasi Amerika dan Pengaruhnya bagi Dunia Islam

Kebangkitan BRICS Melawan Dominasi Amerika dan Pengaruhnya bagi Dunia Islam

Walaupun BRICS menjanjikan kemudahan dalam kerjasama ekonomi untuk negara berkembang, namun negeri-negeri Muslim yang ingin bergabung dengan BRICS harus waspada

Pemimpin BRICS, yakni Cina dan Rusia adalah negara-negara yang memerangi kaum muslimin di Uyghur dan Suriah. No free lunch. Tidak mungkin mereka menawarkan kemudahan tanpa imbalan

_________________________


Penulis Rahmawati Ayu Kartini, S.Pd.

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Sosial



KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Selama ini kita berpikir bahwa Amerika Serikat (AS) sulit terkalahkan. Sepak terjangnya sebagai negara adidaya dunia, seolah menyiratkan kekuatan raksasanya akan melibas negara-negara yang berani melawan dominasinya. Namun ternyata ada segelintir negara yang mencoba menandingi AS, dengan dobrakan baru. Dialah BRICS. 


BRICS adalah sebuah organisasi yang mewadahi negara-negara berkembang dengan perekonomian maju pesat. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Jim O’Neal seorang ekonom Goldman Sachs, perusahaan investasi AS internasional pada tahun 2000. BRICS terdiri dari Brazil, Rusia, India, Cina, dan South Africa (Afrika Selatan). Negara-negara BRICS mengeklaim diri mereka sebagai perwakilan negara-negara berkembang.


BRICS mempunyai ciri-ciri negara dengan jumlah penduduk besar, tanah yang luas, dan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata. Saat ini empat negara BRICS memiliki luas lebih dari seperempat luas tanah di dunia, 40 persen jumlah penduduk dunia, dan sekitar 27 persen dari PDB dunia. (m[dot]mediaindonesia[dot]com, 9/5/2023)


Kebangkitan BRICS sebagai kekuatan ekonomi dunia tak lepas dari dinamika kapitalisme. BRICS menunjukkan bahwa gerak dunia, khususnya sistem ekonomi politik tengah mengalami perubahan. Dimana yang dulu jangkar perekonomian dunia sangat tergantung pada kekuatan hegemoni AS, dengan adanya globalisasi perdagangan bebas maka kekuatan hegemoni ini makin tergerus relevansinya.


Kontribusi BRICS


Pengurangan kemiskinan global menjadi salah satu isu yang berpengaruh dalam sistem keuangan internasional saat ini. Terdapat dua lembaga keuangan internasional yang mendominasi sistem keuangan dunia yaitu International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia). Mekanismenya adalah IMF bertugas dalam manajemen krisis dan Bank Dunia berperan sebagai bank pembangunan multilateral dengan salah satu tugas utamanya dalam memberikan bantuan untuk pembangunan.


Dua lembaga  keuangan internasional ini  merujuk pada Washington Consensus (kebijakan neoliberal). Pada pelaksanaannya ditandai beberapa kegagalan dalam membangun negara berkembang. Hal ini terkait bagaimana negara-negara berkembang dituntut mengikuti sistem pembangunan negara maju sebagai syarat menerima pinjaman. Sistem seperti ini nyatanya tidak banyak pembangunan ke arah yang positif. 


Pada era 1961-1980, laju pertumbuhan GDP per kapita rata-rata negara mencapai 3,2% per tahun. Namun ketika dunia dilanda proyek neoliberal pada era 1981-1999, angka pertumbuhan itu hanya 0,7% per tahun.


Dominasi AS dalam IMF dan Bank Dunia mengisyaratkan pengaruhnya dalam lembaga keuangan internasional begitu besar. Ini menimbulkan kekecewaan dari berbagai pihak, khususnya negara-negara berkembang. Sebab negara-negara maju melakukan intervensi dalam pengambilan keputusan pada lembaga keuangan. Negara berkembang yang menjadi objek penerima pinjaman dan lebih tahu bagaimana sistem dan fokus dalam menghadapi kemiskinan di negaranya, justru tidak bisa memberikan keputusan untuk negaranya sendiri.


Itulah yang menjadi keputusan BRICS mendirikan Bank Pembangunan (New Development Bank/NDB) dan cadangan devisa (Contingent Reserve Arrangement/CRA) sendiri menyaingi IMF dan Bank Dunia. Maka NDB merupakan bentuk kontribusi negara berkembang dengan lembaga yang didanai dan digunakan untuk kemaslahatan negara berkembang. 


NDB merupakan cerminan dari kerjasama Selatan-Selatan, tanpa adanya campur tangan dari negara-negara maju seperti AS. Dengan paradigma kerjasama Selatan-Selatan, NDB berperilaku sebagai partner dari negara berkembang, bukan donor-resipien layaknya hubungan antara IMF dan Bank Dunia dengan negara yang membutuhkan bantuan. Sementara CRA adalah komitmen dari BRICS untuk menyediakan dana dengan investasi seratus milyar dolar AS. Dana ini nantinya bisa diakses oleh negara anggota BRICS kapan saja.


Ancaman bagi AS 


Selama ini, AS telah berperan besar dalam berbagai keputusan di dunia ini. Kehadiran BRICS tidak bisa dianggap remeh karena potensi kekuatan negara-negara anggotanya. Bahkan, sekarang BRICS sedang berupaya mengurangi kebergantungan pada dolar AS (dedolarisasi) dengan menciptakan standarisasi baru pada sistem keuangan. Rencananya sistem keuangan baru ini akan menggantungkan dan mengikat dirinya pada aset keras, seperti minyak dan emas. 


Apabila kehadirannya benar terlaksana, kemungkinan ini akan menjadi tantangan berat bagi AS. Apalagi jika melihat saat ini kondisi ekonomi AS yang sedang babak belur. Rencana BRICS akan membuat posisi AS makin lemah dalam sistem perekonomian dunia.


Selain itu, BRICS diproyeksi segera menyalip negara-negara G7 yang dipimpin AS dalam pertumbuhan ekonomi, menurut laporan Bloomberg (kompas[dot]tv, 26-4-2023). 


Bloomberg memperkirakan BRICS akan memberikan kontribusi sebesar 32,1 persen terhadap pertumbuhan ekonomi global, dibandingkan dengan 29,9 persen milik G7, berdasarkan data IMF terbaru.


Negeri-Negeri Muslim Harus Waspada


Layaknya masyarakat yang hidup dalam sebuah komunitas sosial, begitu pula halnya dengan keberadaan negara-negara yang ada di dunia saat ini. Ketergantungan satu negara terhadap negara lainnya merupakan keniscayaan yang mengharuskan interaksi dengan negara lain.


Dewasa ini negara-negara dunia mulai melakukan integrasi kawasan berbekal kapabilitas dan eksistensinya dalam tatanan dunia global. Fenomena ini dibarengi dengan adanya dominasi dunia Barat yang menjadi kekuatan unipolar, dipegang oleh negara-negara adidaya. Sehingga negara-negara berkembang lebih memilih fokus dalam membangun kerjasama perdagangan internasional secara multilateral kawasan. Tidak terkecuali negeri-negeri Muslim. Mereka menyatakan minatnya untuk bergabung dengan BRICS, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir, Aljazair, Turki, Iran, Bangladesh, Indonesia, dll.


Walaupun BRICS menjanjikan kemudahan dalam kerjasama ekonomi untuk negara berkembang, tetapi negeri-negeri Muslim yang ingin bergabung dengan BRICS harus waspada. Pemimpin BRICS, yakni Cina dan Rusia adalah negara-negara yang memerangi kaum muslimin di Uyghur dan Suriah. No free lunch. Tidak mungkin mereka menawarkan kemudahan tanpa imbalan.


Kewaspadaan ini perlu, terutama untuk negeri-negeri Muslim, agar bisa mengambil manfaat dari keikutsertaannya dalam BRICS dan berbagai perjanjian internasional lainnya. Setiap perjanjian internasional tidak harus disikapi dengan ikut bergabung dan meratifikasi klausul-klausulnya.


Kehadiran negara-negara Muslim, yang sebagian besar lemah, dalam berbagai perjanjian internasional hanya dianggap sebagai partisipasi semu yang tidak berpengaruh sedikit pun. Negara-negara lemah, dalam perjanjian biasanya hanya supaya dianggap ‘gaul’ di lingkungan komunitas internasional. Sebaliknya, kita juga tidak harus meng-isolasi diri dari komunitas internasional. Kita hanya dituntut waspada terhadap berbagai maksud yang disembunyikan negara-negara maju dalam setiap klausul perjanjian internasional. Karena tabiat dasar negara-negara penjajah (kapitalis) tidak akan pernah berubah sampai kapan pun.


Perjanjian Internasional yang Dibolehkan


Masih banyak celah dalam pergaulan internasional yang bisa dimanfaatkan oleh suatu negara dalam berinteraksi dengan negara lainnya. Tidak jarang, interaksi-interaksi yang saling menguntungkan ini berbuah menjadi perjanjian internasional yang mengikat. Berikut ini adalah perjanjian internasional yang dibolehkan:


1) Perjanjian gencatan senjata dan bertetangga baik


Perjanjian ini hukumnya boleh, bukan wajib. Alasan mengapa perjanjian ini dibolehkan adalah karena Rasulullah pernah melakukan gencatan senjata dengan pihak Quraisy (Perjanjian Hudaibiyah). Rasulullah juga mengikat perjanjian bertetangga baik dengan komunitas Yahudi di Madinah. Rasulullah memperoleh keuntungan besar dengan perjanjian ini, yang menghantarkan pada masuk Islamnya penduduk jazirah Arab dan tunduknya mereka pada kekuasaan Islam.


2) Perjanjian pendidikan, budaya, dan perdagangan


Negara Islam boleh membuat perjanjian untuk mendatangkan guru di bidang ilmu-ilmu pengetahuan umum dan administrasi dari luar negeri. Setiap hal yang dibolehkan syarak, maka boleh pula membuat kesepakatan. Selain perjanjian pendidikan dan budaya, boleh pula membuat perjanjian ekonomi dan perdagangan. Perjanjian jenis ini mengatur masalah perdagangan, seperti tukar-menukar komoditas perdagangan tertentu, pembangunan berbagai pabrik, pemberian pinjaman, investasi, dll.


3) Perjanjian umum di bidang kesehatan, penerbangan, pos dan telekomunikasi


Perjanjian jenis ini biasanya melibatkan lebih dari dua negara, bertujuan untuk mengatur berbagai hal seperti kesehatan, penerbangan sipil, pos dan telekomunikasi, telepon, dll. Syarak tidak melarang hal ini, selama topik yang dibahas adalah perkara yang mubah. Misalnya hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan (seperti tukar-menukar informasi di bidang penyakit dan penanggulangannya, pengobatan, sanitasi), penerbangan sipil (seperti lalu lintas udara, prosedur pendaratan/penerbangan, komunikasi penerbangan), dan telekomunikasi.


Umat Islam adalah Generasi Politik


Kaum kafir penjajah begitu tekun mencermati kondisi politik negara-negara yang ada di dunia, karena hal itu adalah syarat mutlak untuk menyelamatkan negara mereka dari ancaman dan tipu daya negara-negara yang lain. Kelemahan dalam hal ini, berarti memberi peluang kepada negara-negara lain untuk maju dan menggerogoti kekuasaan mereka sedikit demi sedikit.


Sebagai umat yang diwajibkan untuk mendakwahkan Islam ke seluruh dunia, tentu umat Islam harus lebih sadar akan kepeduliannya terhadap peristiwa-peristiwa politik internasional. Dakwah tidak mungkin disebarluaskan tanpa memahami kondisi-kondisi tersebut. Umat Islam harus dikembalikan lagi pada karakternya yang khas, yaitu umat yang memiliki kesadaran politik serta mencermati, menganalisa, dan mensikapinya berdasarkan tuntunan ideologi Islam. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat. Wallahualam bissawab. []