Alt Title

BAHAYA PORNOGRAFI MENGINTAI AKIBAT BURUKNYA SISTEM

BAHAYA PORNOGRAFI MENGINTAI AKIBAT BURUKNYA SISTEM


Realita membuktikan ketika sistem Islam diterapkan, negara hadir sebagai perisai yang memfilter segala dampak buruk media terutama pornografi


Bahkan dibentuk Departemen Penerangan untuk memfilter semua tayangan yang tidak bermuatan edukasi dan melanggar syariat. Tayangan harus mencerminkan nilai ketakwaan, menjaga akidah serta akhlak umat. Bukan sekadar konten menghibur dan berorientasi materi atau uang semata


Penulis Afifatur Rahmah

(Kontributor Media Kuntum Cahaya & Founder ARP)


KUNTUMCAHAYA.com-Indonesia kembali dihebohkan dengan kasus pencabulan.  Ironisnya, kali ini predatornya adalah sosok wanita. Konon tersangka YS dari Jambi yang dituduh mencabuli 17 anak ini sempat mengelak. Tersangka bahkan menyatakan dirinya adalah korban bukan pelaku.


Miris, rasanya melihat fenomena yang memprihatinkan saat ini. Sosok wanita yang sejatinya memiliki fitrah sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang, justru menjelma menjadi predator yang ganas. Wanita yang dewasa ini digadang-gadang sebagai "korban", kini bermetamorfosis menjadi pelaku yang tak kalah bengis dari para  pelaku sebelumnya yang notabene laki-laki.


Beginilah dampak dari buruknya sistem yang begitu mudahnya memberikan ruang regulasi untuk mengakses video porno (VP). Ironisnya justru VP dijadikan lahan bisnis untuk meraup profit sebesar-besarnya. Jelas,  karena VP menyumbangkan laba yang luar biasa. Terbukti Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan  (PPATK) menemukan aliran dana senilai Rp114 miliar dari bisnis pornografi anak sepanjang tahun 2022.


Tak Ayal jika perusahaan besar seperti Facebook, Starbuck, Google, Apple, Microsoft dan Gojek menjadikan situs porno sebagai situs utama untuk meraup pundi-pundi cuan. Bahkan tak segan-segan LGBT pun mereka dukung dan kampanyekan. Dukungan tersebut sebagai bentuk toleransi. Juga pengejawantahan dari maklumat PBB yang mendeklarasikan dukungannya pada LGBT.


Tercetus dalam Sidang Umum Majelis PBB tahun 2015. Ban Ki-moon, selaku Sekjen PBB kala itu mengultimatum 76 Negara-negara yang menolak L98T untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi dan membatalkan hukuman atas nama HAM. Walhasil, saat ini pendukung L98T meningkat menjadi 31 negara dari sebelumnya hanya 20 negara, dari total jumlah anggotanya 195 negara. (VOA Indonesia)


Padahal dampak pornografi sangat dahsyat dan luar biasa bahkan lebih bahaya dari narkoba. Bahaya terburuknya adalah bisa menyerang otak bahkan bisa menimbulkan penyusutan otak. Sebagaimana hasil penelitian dari pakar neuroscience dari metodist speciality and transplant hospital San Antonia.


Ironisnya, negara yang seharusnya hadir sebagai tameng dan pelindung umat justru "lumpuh" tak berdaya dalam gempuran sistem yang serba materialistis dan kapitalistik saat ini. Prinsip mereka yang penting bisa menghasilkan materi yang sebanyak-banyaknya. Tak mempedulikan lagi dampak yang lebih dahsyat daripada itu.


Apalagi mempedulikan halal dan haram. Karena agama memang tidak dijadikan standar baku dalam sistem saat ini. Bahkan cenderung mengeliminir dan mengamputasi peran agama dalam dimensi ibadah ritual semata. Sedangkan masalah negara dan duniawi diserahkan pada akal manusia. Inilah yang disebut dengan sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan.


Tentunya, jika dikembalikan kepada fitrah dan kodrat kita sebagai manusia adalah makhluk yang harus tunduk pada Pencipta. Sudah selayaknya menjadikan agama sebagai pondasi dan pedoman dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Sehingga penerapan ajarannya secara total dalam sebuah sistem adalah sebuah keharusan dan kelaziman. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw., diteruskan oleh para Khulafaur Rasyidin dan khalifah setelahnya hingga runtuhnya sistem Islam pada masa Turki Utsmani tahun 1924 silam.


Jika berkaca pada fakta sejarah, realita membuktikan ketika sistem Islam diterapkan, negara hadir sebagai perisai yang memfilter segala dampak buruk media terutama pornografi. Bahkan dibentuklah Departemen Penerangan yang akan memfilter semua tayangan yang tidak ada muatan edukasi dan melanggar syariat Islam. Pemimpin negara (Khalifah) memastikan benar bahwa tayangan harus mencerminkan nilai ketakwaan dan menjaga akidah serta moral atau akhlak umat. Bukan sekadar konten yang menghibur dan berorientasi materi atau uang semata.


Dengan ketentuan ini implementasinya bisa menurunkan angka kriminalitas. Bahkan nyaris nihil. Islam menjamin moral kepribadian (syaksiyah) umat juga keamanan, kehormatan, jiwa, harta, akal, nasab dan pemeliharaan Negara. Terbukti pada masa Umar bin Abdul Aziz hanya terjadi dua kali aksi kriminalitas. Tentu hal demikian berkorelasi terbalik dengan sistem saat ini yang kriminalitasnya terus meningkat. 


Mirisnya, peningkatan kejahatan terjadi setiap menit. Bahkan di tahun 2022 mengalami peningkatan sebanyak 7,3% (276.507 kasus) dari tahun sebelumnya yaitu 257.743 kasus. Seperti data yang dirilis oleh kepolisian Republik Indonesia (Polri). Inilah bukti, betapa penerapan sistem dan undang-undangnya akan berimplikasi bagi kemajuan keamanan dan peradaban umat. Sehingga fungsi negara sebagai perisai akan terealisasi.


Rasulullah saw. bersabda, "Seorang imam itu ibarat perisai, seseorang berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya." (Hadis Muslim 3428)


Maka solusi dari maraknya pornografi khususnya dan seluruh problematika umat saat ini adalah dengan kembali memosisikan peran agama (Islam) sebagai pondasi dalam kehidupan. Dengan penerapan total (kafah) dalam sistem bernegara. Tentunya agar masyarakat terjaga dari para predator berbahaya dan segala bentuk kriminalitas. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.