Krisis Hunian Layak, Antara Kapitalisme dan Kesenjangan Ekonomi
OpiniDi bawah sistem kapitalisme, pembangunan rumah tak lepas dari motif bisnis sehingga membuatnya sulit diwujudkan tanpa motivasi keuntungan
____________________________
Penulis Ummu Aura
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dilansir dari Beritasatu.com (25-4-2025) Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman mengungkapkan bahwa sekitar 26,9 juta rumah di Indonesia termasuk dalam kategori tidak layak huni akibat kondisi kemiskinan ekstrem. Pemerintah mencanangkan target membangun tiga juta rumah pertahun melalui kolaborasi dengan swasta dan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Sementara itu, Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono menyoroti pentingnya kerjasama antar instansi untuk mengatasi kemiskinan, termasuk lewat program rumah layak bagi warga miskin. Sayangnya, bantuan yang tersedia masih terbatas dan belum menyentuh semua kalangan yang membutuhkan.
Ketimpangan Sosial yang Tak Terelakkan
Sayangnya, masalah rumah tidak layak huni selama ini hanya dipandang sebagai dampak dari kemiskinan ekstrem, tanpa mengupas akar penyebab dari kemiskinan itu sendiri. Di sisi lain, kebijakan pemerintah justru semakin condong pada sistem kapitalistik yang memperdalam kemiskinan struktural dan sistemik.
Sebagai contoh, kegagalan pemerintah mengendalikan inflasi menyebabkan daya beli masyarakat melemah. Produk impor, khususnya bahan pangan, membanjiri pasar lokal, sedangkan sektor pertanian domestik justru kurang mendapat dukungan. Bantuan pupuk dipangkas, dan petani dibiarkan berjuang tanpa perlindungan.
Selain itu, tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran masih tinggi. Bonus demografi tidak dimanfaatkan optimal, justru generasi muda (Gen Z) menjadi kelompok pengangguran terbesar. Banyak warga kemudian memilih bekerja ke luar negeri, bahkan berpindah kewarganegaraan demi kehidupan yang lebih layak. Sementara itu, problem sosial seperti narkoba, alkohol, dan kriminalitas terus meningkat.
Fenomena ini menjadi bukti bahwa ketimpangan sosial makin menganga. Pada dasarnya yang demikian disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang lebih memihak pada kalangan elite dan pemilik modal besar. Di jajaran pemerintahan, tak sedikit pejabat berasal dari lingkaran kekuasaan. Bahkan, orang- orang yang dekat dengan penguasa yang mengisi jabatan menteri, dewan, maupun petinggi BUMN. Hal ini memperkuat dominasi oligarki, dan praktik korupsi, kolusi, serta nepotisme semakin sulit diberantas.
Kemiskinan dan Krisis Kepemilikan Rumah
Menurut Celios, kekayaan tiga konglomerat meningkat 174% sejak 2020, sementara kenaikan upah pekerja hanya 15%. Garis kemiskinan per keluarga pada pada 2024 tercatat Rp2,8 juta/bulan, namun yang berpenghasilan jauh di bawah angka itu.
Kondisi ini berbanding lurus dengan rendahnya tingkat kepemilikan rumah. Ditambah lagi, kesenjangan sosial dan ekonomi yang kian memburuk memperparah situasi. Di tengah backlog perumahan yang tinggi, program tiga juta rumah terlihat menjanjikan. Namun sayangnya, pemangkasan anggaran membuatnya sulit terealisasi.
Backlog menunjukkan adanya kesenjangan antara jumlah rumah yang ada dan kebutuhan masyarakat, termasuk rumah tidak layak huni, bila dilihat dalam konteks properti. Program tiga juta rumah dianggap terlalu ambisius karena pada masa pemerintahan sebelumnya program sejuta rumah saja baru tercapai pada masa tahun keempat.
Di bawah sistem kapitalisme, pembangunan rumah tak lepas dari motif bisnis sehingga membuatnya sulit diwujudkan tanpa motivasi keuntungan. Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri karena program ini menggandeng sektor swasta. Belum lagi kerumitan birokrasi dan sistem pengelolaan liberal yang menyulitkan rakyat kecil.
Cengkeraman Korporat dalam Sektor Hunian
Menjelang akhir Januari 2025, sektor bisnis di Indonesia masih dikuasai segelintir konglomerat Mulai dari energi, pertambangan, perbankan, hingga ritel dan media. Para taipan ini mendominasi daftar orang terkaya dan menguasai kekayaan setara gabungan kekayaan 50 juta rakyat biasa.
Tak hanya kaya, mereka juga mendapatkan akses istimewa terhadap regulasi dan peluang ekonomi yang tidak dimiliki oleh masyarakat kelas bawah. Ketimpangan ini mencerminkan struktur ekonomi yang timpang, di mana kaum miskin semakin tersisih meski tinggal di negeri yang sama.
Kekuatan korporat sangat terlihat dalam penguasaan bisnis properti. Para pengembang besar memanfaatkan sistem liberal untuk menguasai pasar hunian. Sejak pandemi berakhir, mereka menyebut 2023 sebagai tahun emas bisnis properti. Tak heran, harga rumah semakin mahal karena, seluruh sektor dikendalikan mekanisme pasar bebas.
Para korporat ini mendapat kemudahan dari pemerintah, termasuk dalam proyek IKN dan PIK 2. Bahkan program tiga juta rumah juga menggandeng mereka. Sering kali, penggusuran permukiman warga miskin dilakukan demi membuka ruang untuk proyek properti mereka.
Situasi ini menunjukkan keberpihakan penguasa pada pengusaha besar, sementara bantuan untuk rakyat hanya bersifat simbolis. Tidak ada komitmen kuat dari penguasa untuk memberantas kemiskinan dan memastikan rakyat punya tempat tinggal yang layak.
Islam Menjamin Kepemilikan Rumah yang Layak
Dalam sistem kapitalisme, rumah dijadikan komoditas bisnis, bukan lagi kebutuhan pokok. Pemerintah justru lebih membela pemodal ketimbang memastikan rakyat memiliki tempat tinggal yang layak.
Padahal Rasulullah saw. bersabda: “Imam/Khalifah adalah pemelihara rakyat dan ia bertanggung jawab atas urusan mereka.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Allah Swt. pun berfirman, “Dan Allah menjadikan rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal .…” (QS. An-Nahl [16]: 80)
Rumah merupakan nikmat besar karena sebagai tempat berlindung dan menenangkan diri hal ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir. Selain itu, bagi kehidupan manusia rumah memberikan manfaat besar lainnya. Dalam sistem Islam, setiap warga negara dijamin kebutuhan pokoknya, termasuk perumahan. Kepemilikan rumah dipastikan melalui dua cara: usaha individu atau bantuan langsung dari negara.
Dalam proses pembangunan, Islam tidak berorientasi pada produksi massal, tetapi pada pemenuhan kebutuhan secara adil, serta menjaga keseimbangan ekologi dan penggunaan lahan. Pengelolaan perumahan juga tidak diserahkan pada mekanisme pasar.
Islam melarang pengembang rakus untuk menggusur tanah warga hanya karena kekuatan uang atau regulasi neoliberalisme. Bahkan, tanah yang tidak dimanfaatkan pemiliknya selama tiga tahun bisa diambil negara dan diberikan kepada yang mau mengelolanya.
Islam juga membangun sistem sosial di mana orang kaya terdorong untuk menafkahkan harta melalui zakat, wakaf, dan sedekah. Hal ini akan mempersempit kesenjangan sosial dan menjamin kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Wallahuallam bissawaab.[Dara/MKC]