PHK Sritex: Korban Kebijakan Negara
Opini
Islam menjamin suasana ekonomi yang kondusif
bagi para pengusaha dan pekerja dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi Islam
______________________________
Penulis Ratna Ummu Rayyan
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Dampak Pailitnya PT Sritex terhadap Ribuan Karyawan
PT Sri Rejeki Isman (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia menghadapi masa sulit setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Oktober 2024.
Keputusan ini semakin diperkuat setelah Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh perusahaan sehingga status pailit Sritex menjadi inkrah. Akibatnya, sekitar 3.000 karyawan harus dirumahkan dan akhirnya perusahaan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.
Sritex yang telah berdiri selama 58 tahun merupakan salah satu pemain utama dalam industri tekstil nasional dan internasional. Perusahaan ini dikenal sebagai pemasok seragam militer bagi negara-negara yang tergabung dalam NATO.
Selain itu, Sritex juga menjadi tulang punggung ekonomi bagi ribuan tenaga kerja, terutama di wilayah Jawa Tengah. Namun, berbagai faktor ekonomi dan kebijakan negara membuat perusahaan ini terjebak dalam utang besar.
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga September 2024, Sritex memiliki utang outstanding sebesar Rp14,64 triliun. Utang ini terdiri dari Rp14,42 triliun yang berasal dari pinjaman 27 bank dan Rp220 miliar dari perusahaan pembiayaan. Beban utang yang besar ini menjadi salah satu penyebab utama kesulitan finansial yang dihadapi oleh Sritex.
Periset ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Jaya Darmawan berpendapat bahwa Sritex sebenarnya masih bisa diselamatkan dengan memberikan dana bantuan melalui skema pinjaman. Namun, hingga saat ini belum ada langkah konkret dari pemerintah untuk membantu perusahaan ini keluar dari krisis keuangan.
PHK Massal dan Nasib Ribuan Karyawan
Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo Sumarno mengonfirmasi bahwa pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan Sritex mulai berlaku pada 26 Februari 2025. Hari kerja terakhir mereka jatuh pada Jumat, 28 Februari, sementara perusahaan secara resmi ditutup pada 1 Maret 2025.
“Jumlah karyawan yang terkena PHK mencapai 8.400 orang. Mengenai pesangon, itu menjadi tanggung jawab kurator, sedangkan jaminan hari tua akan ditangani oleh BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Sumarno pada Kamis, 27 Februari 2025, di Sukoharjo.
PHK massal ini tentu membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar bagi para pekerja dan keluarganya. Ribuan orang kini harus mencari pekerjaan baru di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil padahal Sritex selama ini dikenal sebagai perusahaan tekstil yang paling tangguh dalam menghadapi krisis. Namun, realitas menunjukkan bahwa perusahaan sebesar Sritex pun tidak bisa bertahan dari tekanan ekonomi yang semakin berat.
Dampak Kebijakan Negara terhadap Industri Tekstil Nasional
Banyak pihak menilai bahwa kebijakan pemerintah turut berkontribusi dalam runtuhnya industri tekstil dalam negeri, termasuk Sritex. Salah satu faktor yang paling disorot adalah kebijakan yang mempermudah masuknya produk luar negeri ke pasar domestik, seperti yang terjadi melalui perjanjian ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) dan Undang-Undang Cipta Kerja. Kebijakan ini menguntungkan produk-produk impor, terutama dari Cina yang harganya jauh lebih murah dibandingkan produk tekstil lokal. Akibatnya, industri dalam negeri mengalami tekanan besar dan kehilangan daya saing.
Dalam sistem ekonomi yang berlandaskan kapitalisme, liberalisasi perdagangan menjadi bagian utama dari kebijakan negara. Pemerintah lebih berperan sebagai regulator yang mengakomodasi kepentingan para pemilik modal atau oligarki. Akibatnya, kebijakan yang seharusnya melindungi industri lokal justru lebih berpihak pada kepentingan bisnis global.
Bahkan muncul spekulasi bahwa Sritex sempat dijanjikan akan diselamatkan jika dalam pemilu mendukung calon tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik, bukan murni demi keberlangsungan dunia usaha.
Sistem Islam sebagai Alternatif Ekonomi
Berbeda dengan kapitalisme yang lebih mengutamakan kepentingan industri besar dan oligarki, sistem Islam menawarkan pendekatan yang lebih adil bagi dunia usaha dan tenaga kerja. Islam menjamin suasana ekonomi yang kondusif bagi para pengusaha dan pekerja dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi Islam yang berkeadilan.
Dalam sistem Islam, lapangan pekerjaan tidak sepenuhnya dikendalikan oleh industri, tetapi juga diawasi oleh negara. Pemerintah bertanggung jawab dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang luas dan layak bagi seluruh rakyatnya. Berbagai mekanisme dalam sistem ekonomi Islam dapat diterapkan untuk menjaga keseimbangan antara sektor industri dan kepentingan pekerja.
Kitab Nidzam Iqtishadi karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan berbagai mekanisme yang dapat dilakukan oleh negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Salah satunya adalah memberikan bantuan modal bisnis kepada para pengusaha yang membutuhkan, serta menerapkan kebijakan iqtha’ atau pemberian lahan untuk dimanfaatkan secara produktif.
Jika sistem ini dijalankan oleh pemimpin yang berkomitmen menerapkan prinsip Islam, maka keadilan ekonomi bisa terwujud. Negara tidak hanya berfungsi sebagai regulator, tetapi juga bertindak sebagai fasilitator yang memastikan distribusi kekayaan berlangsung secara merata.
Kesimpulan
Kasus pailitnya Sritex dan PHK massal ribuan karyawannya adalah cerminan dari ketidakseimbangan ekonomi yang terjadi akibat kebijakan negara yang kurang berpihak pada industri dalam negeri. Alih-alih melindungi produsen lokal, pemerintah justru lebih mempermudah masuknya produk luar negeri yang akhirnya mempersempit peluang usaha bagi industri tekstil nasional.
Dalam kapitalisme, industri besar seperti Sritex tetap rentan terhadap kebijakan ekonomi yang tidak berpihak kepada mereka. Sementara dalam sistem Islam, negara memiliki peran yang lebih aktif dalam memastikan ekonomi berjalan dengan adil dan berkelanjutan.
Ke depan, perlu ada evaluasi mendalam terhadap kebijakan perdagangan dan industri agar kasus seperti ini tidak kembali terulang. Negara harus lebih berpihak pada produsen lokal dan memberikan perlindungan yang cukup bagi tenaga kerja. Dengan demikian, kesejahteraan ekonomi nasional dapat terwujud secara lebih merata. Wallahualam bissawab.