Alt Title

Kalah Saing dengan Susu Impor, Kebijakan Pro Asing

Kalah Saing dengan Susu Impor, Kebijakan Pro Asing



Keran impor pangan semakin terbuka lebar 

dalam pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja

________________________________


Penulis Lia Haryati, S.Pd.I

Kontributor Media Kuntum Cahaya, Pendidik dan Pemerhati Umat


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi membeberkan 80 persen pasokan susu yang dibutuhkan untuk kebutuhan domestik didapat dari susu impor. 


Menurutnya, karena produksi susu dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan susu domestik.


Budi Arie mengatakan bahwa konsumsi susu nasional pada tahun 2022 dan tahun 2023 masing-masing sebesar 4,4 juta ton dan 4,6 juta ton. Sedangkan data perdagangan eksisting menunjukkan konsumsi susu nasional pada tahun 2022 dan tahun 2023 sebesar 4,44 juta ton dan 3,7 juta ton.


"Produksi susu sapi nasional diperoleh sebanyak 837.223 ton atau 20 persen, maka 80 persen sisanya dari impor," kata Budi Arie pada jumpa pers di Kantor Kementerian Koperasi Jakarta Senin, 11 November 2024. (tempo.com, 11-11-2024)


Penyataan sang menteri inilah yang memicu puluhan peternak sapi perah dan pengepul susu di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, beberapa hari terakhir ini terpaksa membuang susu hasil panen mereka. Karena pabrik atau Industri Pengolahan Susu (IPS) telah membatasi kuota penerimaan pasokan susu dari para peternak dan pengepul susu tersebut.


Tepatnya pada hari Jumat, 08 November 2024 pukul 08.00 WIB, sejumlah peternak dan pengepul susu dengan sukarela membagi-bagikan susu secara gratis kepada warga sekitar yang ada di kawasan Simpang Lima Boyolali. Tidak butuh waktu lama sekitar 15 menit, susu sebanyak 500 liter itu telah habis dibagikan. Sebagian mereka mengadukan permasalahan yang dialami dan meminta izin untuk membuang stok susu yang tidak dapat dikirim ke pabrik atau IPS.


Regulasi yang Mematikan Usaha dalam Negeri 


Aneh, negara agraris seperti Indonesia tetapi komoditas pangan yang penting dipenuhi dari impor. Seperti jagung, gandum, susu, kopi, teh, cengkeh, kakao, dan lain sebagainya. Bahkan ada 28 jenis komoditas, termasuk beras adalah komoditas yang produksinya dipenuhi dari impor. Sebagaimana data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 menyebutkan impor beras mencapai 407,74 ribu ton.


Impor pangan ini dipastikan akan terus meningkat. Sebab, pemerintah memang menjadikannya sebagai instrumen utama dalam menghadapi kelangkaan dan meningkatnya harga bahan pangan pokok, sedangkan produksi dalam negeri dibiarkan rendah. 


Contoh kasus kedelai. Di mana setiap tahun tingkat produksi terus menurun dan luas lahan tanam pun berkurang. Ekonom Senior Rizal Ramli berpendapat, jika pemerintahan Jokowi memang tidak ada berencana untuk swasembada kedelai.


Belum lagi dilihat dari sisi regulasi, keran impor pangan semakin terbuka lebar dalam pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Pasal 14 ayat (1) menyebutkan sumber penyediaan pangan diprioritaskan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan. 


Rusaknya Sistem Ekonomi Kapitalis 


Jelas regulasi ini semakin menunjukkan arah pemerintah dalam mengelola peternakan dan pangan. Bukan bertujuan pada pemenuhan kebutuhan rakyat secara berdaulat, melainkan semakin bergantung pada impor.


Ketidakseriusan negara untuk mengusahakan kedaulatan pangan juga terlihat dari minimnya perhatian terhadap para peternak dan pengepul susu. Ketimpangan kebijakan pemerintah neoliberal makin meminggirkan para peternak. Padahal, merekalah pemeran utama dalam mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan.


Negara seolah tutup mata dan tutup telinga terhadap berbagai kesulitan para peternak dan pengepul susu. Begitulah ketika aturan saat ini lahir dari kebijakan zalim sistem kapitalis. 


Tuntutan para peternak dan pengepul susu agar ada kepedulian terhadap mereka yang dianggap angin lalu tanpa ada respons signifikan. Bahkan kebijakan yang lahir justru berbenturan, seperti maraknya pelonggaran impor, kenaikan PPN 11% terhadap 41 komoditas peternak dan pengepul susu, dan lain sebagainya.


Solusi dalam Islam


Kelalaian ini membuat negara menjadi tidak mandiri dan tangguh. Saat ini rakyat membutuhkan pemimpin amanah yang didukung dengan sistem yang kuat agar menjadi negara mandiri.


Untuk menjadi negara yang mandiri, maka negara harus mengambil langkah sebagai berikut:


Pertama, mengadopsi sistem politik ekonomi tepat yang tidak membebek pada negara Barat ataupun Timur. Negara harus memiliki kekuatan ideologi yang khas dan sahih. Mengadopsi sistem politik ekonomi yang akan mewujudkan negara menjadi kuat dan mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri secara mandiri. Alhasil, tidak bergantung pada asing dengan regulasi impor.


Kedua, membangun sistem pendidikan yang bersumber pada akidah yang sahih, yaitu akidah Islam. Sistem pendidikan yang akan mampu membawa negara menjadi mercusuar dunia. Para generasinya memiliki kepribadian Islam, yaitu memiliki pola pikir yang cerdas dan memiliki pola sikap yang sesuai dengan tuntutan syariat Islam.


Ketiga, menerapkan sistem kesehatan yang kuat dengan tenaga kesehatan yang mumpuni dan fasilitas kesehatan yang lengkap. Saat ini, masih banyak masyarakat yang belum merasakan pelayanan kesehatan yang prima dan terjamin dari negara.


Keempat, menerapkan sistem pertahanan dan keamanan yang kuat sehingga tidak mudah dikuasai negara asing dan mampu menjaga kedaulatan wilayah. Memiliki kekuatan militer, tidak impor senjata ataupun membeli senjata dan barang militer bekas dari negara lain.


Ketika Indonesia menerapkan sistem kapitalis, Indonesia menjadi sasaran penjajahan negara asing. Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan menjadikan SDM negeri ini dibayangi kerusakan generasi yang kian mengkhawatirkan.


Maha Benar Allah dengan firman-Nya: "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah: 50)


Wallahualam bissawab. [EA/MKC]