Polemik Sertifikasi Halal di Negeri Mayoritas Muslim
OpiniPenyelesaian yang diberikan pun hanya berupa klarifikasi dari lembaga terkait saja
Inilah model sertifikat halal dalam sistem kapitalis
______________________________
Penulis Ummu Saibah
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.(Wartabanjar.com, 1-10-2024)
Walaupun kepala pusat registrasi BPJPH, Mamat Salamet Baharudin menegaskan bahwa, pertama persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produk bukan soal kehalalan produk. Artinya produknya halal karena telah melalui proses sertifikasi halal.
Kedua, pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikat halal terhadap produk yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika, karena sudah diatur dalam regulasi yang dikeluarkan oleh BPJPH maupun melalui fatwa MUI.(Kumparannews.com, 3-10-2024)
Fakta di atas menunjukkan bahwa sertifikasi halal saat ini masih menjadi polemik di negeri mayoritas muslim. Kian hari permasalahannya kian banyak tanpa solusi yang jelas. Polemik ini meresahkan karena menimbulkan keraguan bagi umat muslim saat hendak mengonsumsi makanan dan minuman.
Sertifikasi Halal ala Kapitalisme
Ramai perbincangan soal sertifikasi halal pada produk-produk dengan nama produk yang menunjukkan sebutan sesuatu yang tidak halal. Seperti tuyul, beer, tuak, wine dan lain-lain. Fakta bahwa produk-produk tersebut beredar di pasaran sontak memicu keraguan masyarakat atas penerbitan sertifikasi halal oleh lembaga pemerintah.
Mirisnya, permasalahan tersebut dianggap sepele karena zatnya halal. Penyelesaian yang diberikan pun hanya berupa klarifikasi dari lembaga terkait saja. Inilah model sertifikat halal dalam sistem kapitalisme, nama tidak menjadi masalah sama dengan barang terkategori haram asal zatnya halal.
Padahal yang demikian berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membingungkan umat, bahkan berpotensi memberi kesempatan kepada produsen 'nakal' berbuat curang dengan meng-kamuflase produk tertentu dan menjerumuskan umat muslim kepada pelanggaran syariat Islam.
Halal haram adalah persoalan yang prinsipil bagi umat Islam, karena berkaitan dengan akidah. Jadi, sertifikasi halal terutama pada makanan dan minuman menjadi hal yang sangat penting. Namun sayangnya tidak demikian di dalam negara yang menerapkan sistem kapitalis. Sesuai dengan prinsip sistem kapitalis yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Maka wajar bila regulasi yang dikeluarkan tidak bersesuaian dengan syariat Islam atau ditemui banyak penyimpangan.
Misalnya di dalam Islam, miras haram untuk dikonsumsi. Namun oleh negara yang menerapkan sistem kapitalis, miras dianggap legal dengan syarat-syarat tertentu. Contoh lainnya penerbitan label halal yang sembarangan seperti kasus tuak, beer, dan wine. Selain itu adanya program self declair sertifikasi halal yang digadang mempermudah produsen, juga berpotensi menimbulkan permasalahan baru.
Negara yang menerapkan sistem kapitalis juga terkesan menjadikan rakyat sebagai objek bisnis. Hal ini terbukti dengan adanya biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal dan adanya batas waktu sertifikasi halal.
Hal ini jelas menyusahkan para pengusaha apalagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Mereka harus mengeluarkan biaya berkala untuk memperbarui sertifikasi halal yang telah kadaluarsa. Padahal sertifikat halal seharusnya dilakukan berkala oleh negara sebagai bentuk pelayanan cuma-cuma melihat pentingnya sertifikat halal bagi umat muslim.
Sertifikat Halal Tanggung jawab Negara
Islam memiliki aturan yang jelas mengenai status suatu benda atau zat apakah boleh dikonsumsi (halal) atau tidak (haram). Alhasil, mengetahui kehalalan suatu benda sebelum dikonsumsi adalah wajib bagi setiap muslim, karena hal ini merupakan salah satu bentuk ketaatan terhadap Rabb-nya. Inilah yang menjadikan sertifikat halal menjadi sebuah kebutuhan yang harus dijamin oleh negara, apalagi dalam negara yang masyarakatnya majemuk dan tidak menerapkan syariat Islam.
Keunggulan negara yang menerapkan sistem Islam adalah negara secara otomatis menjamin kehalalan suatu benda yang dikonsumsi oleh rakyatnya. Hal ini karena di dalam sistem Islam, negara juga berfungsi sebagai pelindung akidah rakyat, dalam arti negara akan menjaga rakyatnya agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan.
Oleh karena itu, negara Islam menjadikan sertifikat halal sebagai salah satu bentuk layanan yang diberikan oleh negara dengan biaya murah bahkan gratis. Jadi tidak membebani produsen dan UMKM. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat banyaknya sumber pendapatan negara.
Negara akan menugaskan para kadi hisbah, yaitu hakim yang bertugas untuk melakukan pengawasan secara rutin ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para kadi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan suatu produk, juga untuk memastikan tidak adanya kecurangan dan kamuflase yang membahayakan rakyat.
Begitulah sistem Islam menjadikan negara sebagai pengurus urusan rakyat sekaligus melindungi akidah umat melalui penerapan syariat Islam secara kafah dalam setiap lini kehidupan. Tetapi hal ini tidak akan terwujud bila kita sebagai umat Islam tidak memperjuangkan terlaksananya penerapan syariat Islam secara kafah. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]