Maraknya Kejahatan Anak, Buah Penerapan Kapitalisme Sekularisme
AnalisisSayangnya, sistem yang diterapkan hari ini adalah kapitalisme sekularisme
sebuah sistem kehidupan yang memisahkan antara agama dengan kehidupan
______________________________
Penulis Susci
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan
Anggota Komunitas Sahabat Hijrah Balut, Sulteng
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Publik kembali dihebohkan dengan kasus pemerkosaan sekaligus pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok anak. Kejahatan tersebut melibatkan empat orang anak yang salah satu dari mereka telah terkategorikan dewasa, dan tiga di antaranya masih tergolong remaja. Kejahatan tersebut terjadi pada anak berusia 13 tahun di Palembang, Sumatra Selatan. (tvonenews.com, 08-09-2024)
Kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak bukanlah suatu hal yang baru saja terjadi. Kasus seperti ini menjadi kasus yang sering kali terulang. Berbagai macam motif kejahatan anak yang sering kali dijumpai, yakni perampokan, pemerkosaan, bahkan sampai pada pembunuhan.
Anak-anak yang seharusnya di masa mudanya dimanfaatkan untuk belajar dan bermain, justru harus terlibat dalam tindak pidana, akibat perbuatan mereka sendiri.
Keadaan ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi sebagian orang. Nampaknya, pergaulan anak hari ini tak bisa dikatakan aman.
Rusaknya perilaku anak menggambarkan adanya permasalahan terhadap tatanan kehidupan hari ini. Sebab, setiap perilaku anak memiliki sumber penyebabnya.
Kejahatan yang dilakukan anak, bukanlah kejahatan yang terjadi secara otomatis, melainkan adanya stimulasi dari berbagai arah, seperti kerusakan akhlak, terbukanya peluang, peredaran media sosial yang negatif, serta keberadaan hukum yang tidak berefek jera.
Maraknya kejahatan anak tak bisa dilepaskan dari rusaknya karakter mereka. Karakter yang jauh dari agama, menyebabkan anak tak lagi mempertimbangkan perilaku berdasarkan pada halal dan haram. Hilangnya rasa takut kepada Allah Swt., membuat mereka bebas melakukan perilaku apa pun.
Apalagi penerapan sistem pendidikan hari ini hanya berorientasi pada pembentukan anak yang mampu bersaing di dunia kerja, dibandingkan pada perbaikan akidah. Tak heran jika output generasi hari ini kerap terlibat pada tindak kejahatan, sekalipun berstatus pelajar. Padahal, pendidikan merupakan wadah paling penting dalam membina akidah dan akhlak anak.
Selain itu, hilangnya kontrol keluarga terhadap perkembangan anak, menyebabkan anak bebas melakukan apa pun tanpa perlu merasa takut dan khawatir. Keluarga hari ini hanya disibukkan pada urusan-urusan tertentu, dan melalaikan peran dalam membina dan mendidik anak.
Tak hanya itu, pengaruh lingkungan juga menjadi penyebab merantainya tindak kejahatan yang dilakukan anak. Pergaulan bebas dan pengaruh buruk telah memupuk di dalam sirkel pergaulan anak hari ini. Ajak mengajak pada perbuatan salah, menjadi tindakan yang kerap dilakukan.
Anak tidak mampu lagi menyaring mana lingkungan yang sehat dan mana yang bukan. Ditambah lagi, hilangnya kontrol masyarakat, membuat upaya pencegahan tak lagi terjadi, yang nampak hanyalah sikap individualis di antara sesama.
Selain itu pula, pengaruh media sosial juga tak lagi dapat dibendung. Arus informasi begitu deras diakses oleh para anak, tak ada batasan dalam pengawasan media sosial, setiap anak bebas mengakses tontonan apa saja, tanpa ada yang membatasinya. Seperti, tontonan kejahatan maupun tontonan pornografi.
Tontonan-tontonan seperti ini memberikan peluang bagi anak untuk mencoba-coba melakukannya. Rasa ingin tahu membuat perilaku apa pun terlihat mudah dilakukan. Konten pornografi maupun kejahatan yang bebas diakses berhasil mengacak-acak naluri dan melumpuhkan fungsi akal anak, sehingga banyak anak yang tak mampu mengontrol dirinya dan memilih melakukan kejahatan tersebut.
Dalam mengatasi tindak kejahatan yang marak dilakukan anak tentu dibutuhkan peran negara, sebagai langkah praktis dalam mengatasi perilaku anak. Pencapaian negara dapat diukur dari sistem yang diterapkannya. Sayangnya, sistem yang diterapkan hari ini adalah kapitalisme sekularisme, sebuah sistem kehidupan yang memisahkan antara agama dengan kehidupan. Sistem inilah yang menjadi cikal bakal dari maraknya tindak kejahatan yang dilakukan anak.
Pasalnya, kapitalisme sekularisme menghadirkan sistem pendidikan yang berasaskan materialis. Segala sesuatu diukur dari nilai yang nampak, baik berupa uang, harta, jabatan, serta status. Tak heran, banyak dari kalangan anak yang berlomba-lomba memimpikan semua itu, tanpa adanya keinginan untuk mendapatkan pendidikan berasaskan akidah. Tak heran banyak anak yang berpendidikan, namun memiliki perilaku yang buruk.
Selain itu, kapitalisme sekularisme menghadirkan keluarga dan masyarakat yang individualis, di antara mereka tidak memiliki sikap peduli dan berkasih sayang. Setiap perbuatan diserahkan pada individu masing-masing, tanpa saling memperhatikan di antara mereka. Semua orang terlihat sibuk dengan urusan pribadi masing-masing, sampai lupa untuÄ· peduli dan mengatasi permasalahan tindak kejahatan yang terus dilakukan oleh anak.
Tak hanya itu, kapitalisme sekularisme tidak memberikan penjagaan yang kuat terhadap peredaran media sosial. Banyaknya tontonan yang rusak beredar di kalangan anak, baik berupa pornografi maupun tontonan kejahatan lainnya.
Wajar saja, banyak anak yang terdorong melakukan tindak kejahatan tersebut. Sayangnya, di tengah penerapan kapitalisme sekularisme, upaya penuh dalam peredaran konten-konten rusak di media sosial hanyalah sebuah ilusi. Faktanya, tontonan tersebut masih saja bisa terakses.
Mirisnya, kapitalisme sekularisme tidak memilki sanksi tegas terhadap anak. Banyak anak pelaku kejahatan yang hanya mendapatkan tahap rehabilitasi, tanpa di penjara dengan pertimbangan masih berstatus di bawah umur.
Padahal, pelaku tersebut secara akal telah berfungsi dan sudah melewati masa balig. Seharusnya, mereka mendapatkan hukuman berdasarkan dengan perbuatan yang telah mereka lakukan. Namun faktanya tidak demikian.
Banyak anak yang tidak diberikan hukuman, diÄ·arenakan pertimbangan usia, sehingga kelemahan hukum inilah yang menjadi alasan sering maraknya tindak kejahatan yang dilakukan anak. Sebab, merasa adanya perlindungan hukum bagi mereka.
Solusi Islam Mengatasi Maraknya Kejahatan Anak
Dalam Islam, kejahatan merupakan tindakan zalim yang tidak boleh dibenarkan. Para pelaku kejahatan akan mendapatkan ganjaran dari perbuatan yang dilakukannya.
Dalam menangani maraknya kejahatan yang dilakukan anak, maka Islam memiliki langkah-langkah tertentu, di antaranya pencegahan dan penanganan. Sebelum Islam memberikan hukuman bagi pelaku kejahatan, maka Islam akan mencari akar dari munculnya permasalahan tersebut.
Dalam hal pencegahan, maka Islam akan menyediakan sistem pendidikan berbasis akidah. Setiap anak akan dikuatkan keimanannya, agar mampu mengontrol dirinya dari perilaku yang dilarang Allah Swt..
Sistem pendidikan berbasis akidah akan membina dan mendidik anak agar memiliki rasa takut kepada Allah Swt. jika melakukan kejahatan, bahkan tidak satu pun dari mereka yang berani melakukannya.
Selain itu, Islam akan mendorong keluarga dan lingkungan agar senantiasa mengontrol dan saling peduli di antara sesama. Tidak ada perilaku individualis maupun pembebasan begitu saja yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan.
Bagi Islam keluarga merupakan institusi terkecil yang akan membina dan mengontrol anak, agar tetap pada perilaku-perilaku yang baik. Begitu pun lingkungan dalam Islam akan senantiasa menjalankan perannya dalam menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Dalam hal penyebaran media sosial, Islam akan mengontrol dan memastikan tidak adanya penyebaran konten yang kurang mendidik dan akan memengaruhi perilaku anak. Islam akan memastikan konten-konten yang tersebar berupa edukasi, pendidikan, dan dakwah. Anak tidak akan dibiarkan menghabiskan waktu dan pikirannya hanya untuk hiburan semata, yang banyak tersebar di media sosial.
Pembatasan tontonan media sosial akan diberlakukan oleh negara demi menjaga perbuatan anak. Apalagi ketertarikan kepada media sosial cukup besar. Oleh karena itu, informasi maupun tontonan yang sering kali diakses oleh anak haruslah bernilai kebaikan, bukan sebaliknya.
Selain pencegahan, Islam juga punya cara dalam hal penanganan. Penanganan berlaku bagi mereka yang tidak patuh terhadap peraturan dan sering kali melakukan kejahatan.
Penanganan berupa hukuman bagi pelaku. Hukuman dalam Islam berfungsi menggugurkan dosa dan mencegah terjadinya kasus berulang. Hukuman bagi pelaku juga memiliki ketentuan.
Dalam Islam, hukuman bagi pelaku tidak ditentukan dari standar umur, melainkan diukur dari akil dan balig. Bagi pelaku kejahatan yang telah akil dan balig, maka dia tetap akan dikenakan hukum.
Sebab, akil dan balig merupakan standar yang memastikan bahwa pelaku tersebut sudah mampu membedakan baik dan buruk dan memiliki kemampuan dalam mencari setiap kebaikan-kebaikan dan menghindari setiap keburukan.
Dengan menggunakan standar tersebut, tidak akan ada lagi pelaku yang bersembunyi dari identitas anak di bawah umur. Tidak ada lagi anak yang hanya mendapatkan rehabilitasi semata, padahal secara akal dan balig sudah mampu melakukan kejahatan tersebut.
Hukuman dalam Islam berupa hukuman takzir bagi pelaku, yaitu hukuman berupa ancaman, cambukan, pengasingan, penyitaan, bahkan sampai pada hukuman mati, tergantung jenis perbuatan yang dilakukan. Dengan begitu, tidak akan ada lagi anak yang berani melakukan tindak kejahatan, baik itu pemerkosaan maupun pembunuhan, mengingat hukuman yang diberikan amatlah berat.
Alhasil, sudah seharusnya umat menyadari bahwa kapitalisme sekularisme-lah yang menjadi dalang dari maraknya tindak kejahatan, sebab kapitalisme sekularisme berasal dari standarisasi akal manusia.
Oleh karena itu, umat harus menjadikan Islam sebagai satu-satunya solusi dalam mengatasi permasalahan kejahatan yang marak dilakukan anak. Sebab, Islam berasal dari Allah Swt. Tuhan pencipta alam semesta. Wallahualam bissawab. [SM-GSM/MKC]