Jaminan Perlindungan terhadap Anak
Opini
Anak adalah estafet perubahan
Kualitas generasi ke depan ditentukan oleh kualitas pembinaan dan perlindungan negara hari ini
______________________________
Penulis Ainun Jariah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Betapa banyak problematik yang menimpa anak-anak akibat penyelewengan terhadap syariat Islam di berbagai lini kehidupan. Salah satunya adalah anak menjadi korban kekerasan, baik di lingkungan masyarakat, sekolah bahkan keluarga. Adapun pelakunya bisa orang dewasa termasuk orang tua dan guru, teman sebaya bahkan aparat.
Fakta kekerasan anak yang terjadi pada bulan Juni tahun ini sungguh menyayat hati. Sebagaimana dimuat dalam media CNN Indonesia pada 23 Juni 2024, terjadi kasus pencabulan pada seorang siswi SD berusia 13 tahun di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dilakukan oleh 26 pelajar. Mereka adalah anak di bawah umur. Ditambah berita yang dimuat di bisnis.com yang terjadi di Kuranji, Sumatra pada 23 Juni 2024, seorang anak umur 13 tahun diduga dianiaya oleh oknum polisi hingga tewas.
Dua kasus tersebut hanyalah sebagian dari berbagai kasus yang menimpa anak-anak. Tentu masih banyak lagi kasus yang menimpa anak-anak di berbagai wilayah, baik yang diberitakan media maupun tidak. Ibarat fenomena gunung es. Bahkan dengan jenis kasus yang berbeda dan dengan tingkatan kekerasan yang berbeda pula.
Fakta kekerasan terhadap anak ini setidaknya memberi gambaran kepada kita bahwa sistem pendidikan saat ini telah gagal melahirkan individu yang berakhlak mulia. Bagaimana tidak, puluhan pelajar tega bahkan berani melakukan perbuatan asusila. Bahkan pelakunya melakukan tindak asusila atas kesadaran penuh.
Begitu juga dengan aparat, tentu dengan status pendidikan yang lebih tinggi dari para pelajar di bawah umur, nyatanya justru malah melakukan tindakan di luar batas. Bukannya mendidik atau menjadi contoh bagi generasi agar lebih baik, tetapi sebaliknya tega menganiaya seorang anak hingga menyebabkan nyawa melayang.
Tidak benar jika dikatakan oleh sebagian orang bahwa orang tua adalah satu-satunya yang bertanggungjawab terhadap perlindungan, pendidikan, maupun akhlak anak-anaknya. Namun sebenarnya banyak pihak yang turut serta dalam hal ini. Termasuk di dalamnya adalah lembaga pendidikan atau para guru, media, dan negara.
Dalam kesehariannya, anak yang tinggal di rumah tanpa pembinaan akidah oleh orang tuanya menjadikan anak-anak hidup bebas dan liar. Belum lagi anak yang hidup dengan kondisi keluarga yang broken home, tentu sangat berpengaruh pada kepribadian mereka.
Adapun di dunia pendidikan, dalam hal ini sekolah, merupakan tempat paling banyak bagi anak untuk menghabiskan waktunya. Keadaan para guru, kurikulum termasuk teman-teman sekelas mereka dari lingkungan yang berbeda-beda memiliki peran yang besar dalam membentuk pemikiran dan kepribadian anak.
Dan yang tidak kalah penting sangat besar pengaruhnya adalah negara. Keberadaan kementerian khusus pun dengan segala programnya nyatanya belum mampu mewujudkan perlindungan anak. Semua karena dilandaskan pada paradigma sekuler kapitalisme sehingga memandang anak pun dengan pandangan ideologi tersebut.
Dengan paradigma sekuler kapitalisme, negara sejatinya menjadi "sumber kekerasan" yang sebenarnya. Karena menerapkan aturan yang memberi celah lebar bagi terjadinya kekerasan terhadap anak. Bahkan sistem sanksi dalam sistem ini pun tidak mampu mencegahnya.
Negara dengan asas sekuler kapitalisme menjadikan individu berperilaku bebas. Atas nama HAM perilaku asusila atas dasar suka sama suka bisa saja tidak dihukum karena keberadaan UU PKS.
Berbagai tayangan media yang menampakkan aurat, pergaulan bebas, pacaran, berkeliaran hingga tengah malam menjadi tontonan harian anak-anak. Belum lagi perbuatan asusila yang bisa diakses melalui gadget.
Dengan asas sekuler kapitalisme, yang menjadi tujuan hidup adalah materi. Bagaimana caranya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan halal haram serta baik atau buruknya sebuah perbuatan.
Orang tua baik bapak maupun ibu harus keluar rumah seharian untuk bekerja. Sementara anak dibiarkan beraktivitas sendiri bahkan mereka tanpa pikir panjang ada yang mencari uang sendiri. Dunia pendidikan dengan kurikulumnya lebih fokus melahirkan generasi yang siap bekerja dibanding generasi berakhlak mulia.
Sistem sanksi yang tumpul menjadikan pihak yang bersalah bisa menguasai sidang. Bahkan dengan aturan yang ada, pihak yang berwenang bisa saja menutup kasus tanpa ada yang diadili. Akibatnya tidak ada efek jera, tidak ada pembinaan, tidak ada perlindungan, dan sebagainya terhadap anak.
Anak adalah estafet perubahan. Kualitas generasi ke depan ditentukan oleh kualitas pembinaan dan perlindungan negara hari ini. Karena sebenarnya negaralah yang memiliki peran besar terhadap perlindungan anak. Oleh karena itu, dengan melihat penerapan aturan dalam sebuah negara yang berasaskan sekuler kapitalisme ini, maka negara telah gagal melindungi anak dari kekerasan.
Untuk itu, harus dicari solusi bagi problematik anak. Dan satu-satunya sistem atau negara yang mampu melindungi kekerasan anak adalah Daulah Islam. Daulah Islam mempunyai sistem perlindungan anak dengan tegaknya 3 pilar, yakni adanya keimanan dan ketakwaan individu, kontrol masyarakat dengan amar makruf nahi mungkar dan penerapan aturan Islam oleh negara.
Adanya keimanan dan ketakwaan individu menjadi benteng dasar dari segala perbuatan buruk. Keimanan dan ketakwaan individu ini tidak lain diperoleh anak mulai dari lingkungan keluarga, yang mana seorang ibu berperan sebagai ummul wa rabbatul bait.
Sedangkan seorang ayah yang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan keluarga, memimpin keluarga mereka untuk senantiasa beribadah, melakukan ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasulullah saw.. Karena Allah telah memerintahkan dalam firmanNya, "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (TQS Adz-Dzariyat: 56)
Adapun kontrol masyarakat dengan amar makruf nahi mungkar adalah bagian dari perintah Allah. Salah satunya adalah seruan di dalam surah Ali-Imran ayat 110. Di dalamnya membahas tentang umat Islam yang merupakan umat terbaik karena melakukan amar makruf nahi mungkar. Oleh karena itu, masyarakat dalam Daulah Islam tidak akan segan mengajak kepada kebaikan maupun menegur tatkala terjadi kemungkaran. Tidak bersikap individualis.
Negara dalam Islam akan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan dengan asas Islam. Sistem pendidikan Islam menjadikan output pelajar berkepribadian Islam.
Sistem pergaulan Islam di antaranya menjadikan pertemuan antara lawan jenis terbatas pada hal-hal yang dibolehkan syarak yaitu dalam pendidikan, kesehatan, dan muamalah. Adapun pacaran, berdua-duaan, campur baur dengan lawan jenis adalah perbuatan yang dilarang.
Begitupun sistem sanksi akan diberlakukan dengan adil sesuai dengan syariat Islam. Seperti yang berzina, jika belum menikah maka akan dicambuk seratus kali dan diasingkan. Sedangkan pezina yang sudah menikah akan dirajam sampai mati.
Adapun yang membunuh maka akan diberlakukan hukum qisas terkait pembunuhan. Dengan penerapan ini, maka akan muncul efek jera dan menghindarkan masyarakat maupun individu dari melakukan perbuatan yang buruk.
Oleh karena itu, hanya dengan penerapan aturan Islam dalam semua aspek kehidupanlah perlindungan terhadap anak akan terwujud. Wallahualam bissawab. [SJ]