Alt Title

UKT Meningkat, Akibat Visi Pendidikan yang Tidak Jelas

UKT Meningkat, Akibat Visi Pendidikan yang Tidak Jelas

 


Diakui atau tidak, mahalnya UKT perguruan tinggi karena rusaknya tata kelola pendidikan sistem kapitalisme di negeri ini

Sistem yang hanya terfokus pada asas materialistik

__________________


Penulis Irmawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Polemik kenaikan UKT kembali terjadi disejumlah perguruan tinggi negeri. Seperti di Universitas Jendral Soedirman (Unsoed), Universitas Negeri Riau (Unri) hingga Universitas Sumatra Utara (USU) Medan. 


Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tjitjik Sri Tjahjandarie menyatakan bukan UKT yang naik, tetapi kelompok UKT yang bertambah. Tak hanya itu, pendidikan tinggi juga dianggap sebagai pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Untuk pendidikan wajib di Indonesia hanya berlaku dari SD, SMP dan SMA. Walaupun  pemerintah telah menguncurkan Bantuan Operasional Pergururuan Tinggi Negeri (BOPTN). Akan tetapi, belum bisa menutup semua kebutuhan operasional atau setara dengan biaya tunggal (BKT). (CNN Indonesia, 18/05/2024)


Tentu ini menyebabkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya menunjukan bahwa pendidikan kuliah dianggap sebagai barang mewah yang tidak bisa ditempuh oleh setiap warga negara secara ekonomi tidak mampu untuk menempuhnya. Padahal, kuliah merupakan bagian dari menuntut ilmu dan bagian dari hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang baik. 


Selain itu, kenaikan UKT berakibat fatal pada dunia pendidikan hari ini. Salah satunya adalah sulitnya masyarakat dalam mengakses pendidikan yang tinggi, kurangnya generasi terdidik yang memiliki peran dalam melanjutkan estafet kepeminpinan bangsa ini. Akibatnya, bangsa ini berpotensi menjadi jajahan bangsa lain. Padahal SDM berkualitas memiliki peranan penting dalam membangun negara.


Diakui atau tidak, mahalnya UKT perguruan tinggi karena rusaknya tata kelola pendidikan sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem yang hanya terfokus pada asas materialistik. Dengan penetapan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum menunjukan bahwa PTN tidak hanya sebagai lembaga pendidikan sekaligus menjadi ladang bisnis. Ini berdasarkan pada konsep Triple Helix yakni penggabungan tiga unsur antara pemerintah, pendidikan dan bisnis.  Sehingga pendidikan dalam sistem ini mutlak untuk dikomersialisasi.


Berbagai subsidi pendidikan sedikit demi sedikit harus dicabut. Disamping itu, kampus dituntut dengan program World Class University (WCU) yang memiliki syarat-syarat tertentu dan membutuhkan biaya mahal. Jika mengandalkan dana dari APBN tidak akan cukup. 


Untuk memenuhi program tersebut kampus melakukan berbagai cara. Diantaranya dengan mencari proyek yang menghasilkan cuan, membuka jalur mandiri yang sangat mahal, membuka berbagai macam program studi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar, termasuk dengan menaikkan UKT. Apalagi  dengan adanya regulasi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) yang memberi  keleluasaan kepada kampus untuk menaikkan UKT mahasiswa. Karena, disesuaikan dengan kebutuhan operasional kampus akibat subsidi pendidikan dari negara berkurang.


Sementara itu, negara abai terhadap tanggung jawabnya. Negara tidak benar-benar melayani kepentingan dan kebutuhan rakyat. Tetapi negara menjadi pelayan bagi korporat. Termasuk pendidikan yang didesain untuk memenuhi keserakahan para koorporat. Karena, negara hanya menjadi regulator antara penguasa dan pengusaha. Hal ini bertentangan dengan cita-cita bangsa yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Aibat mahalnya UKT banyak anak yang tidak bisa menempuhnya karena tidak ada biaya.  


Tak hanya itu, pola hubungan dalam pendidikan menyesuaikan dengan proses industrialisasi. Pendidikan selalu diarahkan pada kepentingan dagang atau politik. Budaya belajar bergeser menjadi budaya ekonomis, yaitu upaya mempersiapkan tenaga produktif untuk dijual dalam bursa kerja. Karakter pembelajar yang dibangun adalah sekularis, hedonis, materialis, individualis dan pragmatis.


Berbeda dengan Islam, pendidikan dalam Islam merupakan salah satu kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara. Negara menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam formalisasi pendidikan Islam seperti kebijakan terkait tujuan, strategi, kurikulum dan perbukuan; metode kegiatan belajar mengajar, ijazah dan sertifikasi; penetapan usia sekolah, jenjang pendidikan, kalender pendidikan, standardisasi pendidik dan tenaga kependidikan; sarana dan prasarana; akreditasi lembaga; penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; kerjasama internasional; serta pembiayaan. 


Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam sistem Islam diambil dari Baitul Mal yang berasal dari pos fai’ dan kharaj, pos milkiyyahaammah, serta pos pemasukan besarnya berasal dari pos kepemilikan umum, pos kepemilikan negara, dan pos zakat mal. Selain itu,  pembiayaan pendidikan juga terdiri dari wakaf untuk pendidikan dari individu yang kaya dan cinta ilmu. Mereka menyediakan pendidikan gratis, riset, dan lain-lain. Individu Muslim yang kaya didorong memiliki motivasi ruhiah memberikan hartanya untuk dunia pendidikan karena berharap pahala dan rida Allah. 


Hal ini bertujuan agar warga negara baik kaum Muslim atau kafir dzimmy dapat mengakses pendidikan secara mudah, murah bahkan gratis, terjangkau, serta berpengaruh. Negara akan menciptakan suasana keimanan pada setiap warganya, termasuk suasana mencintai ilmu karena dorongan akidah. 


Hanya dengan sistem Islam seta penerapan Islam secara kafah berlaku pendanaan semacam ini yang dikembangkan mampu melayani kebutuhan masyarakat luas. Bukan melayani dunia bisnis yang memang kental dengan orientasi profit. Wallahuallam bissawab. [Dara]