Alt Title

Tambang untuk Ormas, Siapa yang Diuntungkan?

Tambang untuk Ormas, Siapa yang Diuntungkan?

 


Sejatinya, menyerahkan urusan pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan adalah keputusan yang sangat zalim

Menunjukkan abainya pemerintah terhadap nasib rakyatnya

______________________________


Penulis Tinah Ma'e Miftah 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi AMK 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Keputusan Presiden Joko Widodo terkait pemberian izin pengelolaan usaha pertambangan kepada ormas keagamaan masih saja menuai tanggapan yang beragam. Beberapa ormas pun mulai bersuara menyatakan sikapnya. Di antara mereka ada yang langsung setuju, ada yang menolak, namun ada juga yang pikir-pikir dulu.


Diberitakan sebelumnya jika Presiden Joko Widodo secara resmi telah memberikan ruang bagi organisasi keagamaan untuk ikut dalam mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Keputusan itu termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesatuan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. (CNN Indonesia, 11/06/2024)


Adapun ormas yang setuju adalah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Persatuan Islam (Persis), dan Parisada Hindi Dharma Indonesia (PHDI).


Bahkan Ketua PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) langsung mengajukan izin untuk bisa mengelola usaha tambang kepada pemerintah khususnya tambang batu bara. Menurut Gus Yahya, NU sangat layak mendapatkan kesempatan, sebab NU tak hanya mengurusi hajat di bidang keagamaan saja, tetapi juga mengurusi hajat di bidang lainnya seperti, bidang kemasyarakatan, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. 


Sedangkan ormas yang menolak di antaranya adalah, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Mereka tidak berminat dan berpendapat mengelola tambang bukan bagian dari bidang pelayanan. Mereka hanya ingin fokus pada bidang pewartaan dan pelayanan masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang lebih bermartabat.


Sejatinya, menyerahkan urusan pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan adalah keputusan yang sangat zalim. Menunjukkan abainya pemerintah terhadap nasib rakyatnya. Sejatinya, ormas keagamaan tidak memiliki kemampuan mengeksploitasi tambang, sehingga mau tidak mau harus menggandeng pihak-pihak yang memiliki kompeten di bidangnya.


Maka di sinilah potensi tawar-menawar antara ormas dan pemilik modal akan terjadi. Dan, lagi- lagi kesempatan bagi korporasi untuk mengeruk keuntungan pun terbuka lebar. Sementara rakyat kecil sebagai pemilik tambang yang sesungguhnya, dibiarkan begitu saja tanpa mendapatkan apa-apa.


Padahal, hal ini sudah diingatkan oleh Rasulullah di dalam hadisnya. Rasulullah saw. bersabda:

"Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."(HR Imam Bukhari)


Pemerintah seakan sengaja ingin mencari kambing hitam. Membenturkan ormas pada konflik nasional yang mungkin saja terjadi, mengingat banyaknya ormas keagamaan di negeri ini. Tak sampai di situ, pemerintah pun seolah ingin lepas dari tanggung jawab. Tidak peduli dengan nasib rakyat.


Melegitimasi dengan mengatasnamakan agama dan tokoh ulama terhadap kerusakan, dampak buruk yang akan ditimbulkan. Belum lagi lubang-lubang bekas galian yang dibiarkan menganga begitu saja, tanpa adanya perbaikan. 


Karut marut urusan tambang tidak akan terjadi jika negara mengadopsi sistem Islam secara kafah. Daulah Islam wajib menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, baik aspek ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya.


Semua dilakukan karena dorongan ketakwaan kepada Allah Swt.. Mengamalkan apa yang Allah perintahkan, yang tertulis di dalam Al-Qur'an Nur Kariim.

"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian." (QS Al-Baqarah (2): 208)


Ekonomi Islam membagi kepemilikan harta menjadi tiga kategori, milik pribadi/individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Sumber daya alam berupa tambang masuk dalam kategori kepemilikan umum. Namun manfaatnya tidak bisa dinikmati oleh masyarakat secara langsung.


Diperlukan peran negara dalam pengelolaannya, sementara hasilnya sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Negara akan mengalokasikan hasil tambang untuk memenuhi kebutuhan rakyat di bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, dan pembangunan infrastruktur melalui mekanisme baitulmal.


Negara tidak boleh menyerahkan tanggung jawab pengelolaan tambang ataupun menjualnya kepada siapa pun, baik individu, swasta, apalagi asing. Sebagaimana yang Rasulullah saw. lakukan, yaitu menarik kembali tambang garam yang sebelumnya telah beliau berikan kepada Abyad bin Hammal, setelah beliau mengetahui depositnya yang melimpah.


Seandainya tidak ada larangan dalam hal ini, niscaya Rasulullah pun tidak akan menarik kembali apa yang telah beliau berikan. Sebab dalam hadis lain, Rasulullah saw. melarang seseorang untuk menarik kembali barang yang telah diberikan kepada orang lain, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. (HR Abu Dawud, An- Nasa'i, Ibn Majah dan At-Tirmidzi)


Dengan penerapan syariat Islam secara kafah dalam bingkai Daulah Islam, karut marut pengelolaan tambang bisa dihindari. Khalifah sebagai kepala negara wajib melindungi hak-hak rakyatnya, mengelola tambang sesuai syariat Islam dan hasil secara keseluruhan untuk kepentingan rakyat.


Sehingga manfaat tambang akan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa memandang suku, ras, agama baik itu muslim maupun nonmuslim. Wallahualam bissawab. [SJ]