Alt Title

Anak-Anak Menjadi Pelaku Kejahatan, Bukti Mandulnya Peran Negara

Anak-Anak Menjadi Pelaku Kejahatan, Bukti Mandulnya Peran Negara

 


Lemahnya sistem sanksi pun makin membuat kemaksiatan merajalela

Bahkan tidak bisa dimungkiri lagi bahwa perilaku buruk saat ini menjadikan tuntunan untuk anak-anak yang belum utuh cara berpikirnya

_________________________


Penulis Suci Halimatussadiah 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Ibu Pemerhati Sosial


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kasus pembunuhan disertai kekerasan seksual terhadap anak-anak yang juga dilakukan oleh anak di bawah umur kini marak dan menjadi fenomena yang menyayat hati nurani. Kondisi tersebut menjadi sebuah alarm bahwa generasi kita saat ini sedang tidak baik-baik saja. Mereka cenderung berpikir pragmatis dan nekat dalam berbuat tanpa peduli dengan risiko yang akan terjadi setelahnya.


Seperti dikutip dari media online sukabumi.id (02/05/2024), MA (6) seorang anak laki-laki asal Sukabumi menjadi korban pembunuhan. Sebelum dibunuh bocah tersebut ternyata menjadi korban kekerasan seksual sodomi. Pelaku merupakan seorang pelajar berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).


Meningkatnya kasus pelanggaran hukum yang melibatkan anak di bawah umur dengan beragam kasus yang menyertainya menjadi keprihatinan sekaligus pekerjaan rumah bersama untuk mengatasinya. Hingga hari ini, menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kasus anak yang berkonflik dengan hukum menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020-2023. Hingga (26-8-2023) tercatat, hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sedangkan 526 anak lainnya sedang menjalani hukuman sebagai narapidana.


Melihat data di atas rupanya anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan terus meningkat dari tahun ke tahun dan terjadi di berbagai wilayah di Tanah Air. Tidak lagi kasuistik, tetapi menjadi fenomena rusaknya anak-anak Indonesia. Problem ini seperti fenomena gunung es karena tidak semua kasus terekspos dan dilaporkan. Jelas ini menunjukkan adanya masalah serius baik dalam keluarga, lingkungan, ataupun negara.


Sejatinya, keluarga adalah lingkungan terdekat anak-anak. Bahkan keluarga merupakan madrasah pertama bagi anak-anak. Sayangnya, hari ini, peran keluarga sebagai madrasah pertama tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tentu ada banyak faktor yang menjadi pemicu seorang ibu tidak bisa menjalankan perannya dengan baik, termasuk maraknya ibu bekerja, baik karena arus propaganda kesetaraan gender maupun keterpaksaan karena faktor kemiskinan sehingga harus membantu mencari nafkah. Ditambah lagi dengan tingginya angka perceraian di Indonesia, hal ini juga berpengaruh besar terhadap kepribadian anak itu sendiri.


Sementara itu, lingkungan yang ada hari ini, baik sekolah maupun masyarakat, tidak banyak memberikan contoh yang baik bagi anak-anak. Begitu juga dengan media hari ini, banyak menayangkan konten berisi kejahatan dan berbagai kemaksiatan. Semua itu sangat mudah diakses anak-anak melalui gawainya. Ini jelas memberikan dampak buruk terhadap keluarga. Tentu saja semua itu erat kaitannya dengan peran negara karena hanya negara yang bisa menentukan semua kebijakan.


Lebih lanjut penerapan sistem kapitalisme sekularisme saat ini yang menjadi asas pembuatan kebijakan negara, jelas berdampak terhadap semua lini kehidupan. Demikian pula dengan sistem ekonomi kapitalisme yang mengakibatkan rakyat hidup miskin. Bahkan, kurikulum pendidikan, orientasinya hanya materi. Pendidikan agama yang hanya formalitas membuat anak kian jauh dari kepribadian yang luhur dan Islami.


Belum lagi sistem informasi liberal yang membuat berbagai kekerasan, pornografi, dan hiburan mudah diakses oleh anak-anak di bawah umur. Lemahnya sistem sanksi pun makin membuat kemaksiatan merajalela. Bahkan tidak bisa dimungkiri lagi bahwa perilaku buruk saat ini menjadikan tuntunan untuk anak-anak yang belum utuh cara berpikirnya.


Kondisi tersebut diperparah dengan masuknya gaya hidup barat, seperti hedonisme, liberalisasi pergaulan, dan lain sebagainya. Semua itu dibiarkan oleh negara merasuki benak masyarakat, terutama generasi muda. Negara bahkan mengadopsi berbagai pemikiran sesat yang diaruskan secara global, seperti HAM, kesetaraan gender, dan moderasi beragama yang jelas-jelas merusak tata kehidupan masyarakat.


Mirisnya, semua hal tersebut, baik langsung maupun tidak langsung sudah merusak fitrah anak yang bersih dan polos. Alhasil, anak mencontoh dan mempraktikkan segala yang apa dilihat dan didengar. Pada titik inilah anak menjadi dewasa sebelum waktunya tanpa memahami standar baik dan buruk, terpuji dan tercela.


Sungguh, fenomena rusak seperti saat ini bisa diminimalkan, bahkan cenderung tidak akan terjadi jika kehidupan diatur dengan Islam secara kafah. Sejatinya, jika akidah Islam dijadikan sebagai satu-satunya asas kehidupan, ketakwaan akan tercermin di dalam kehidupan keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan negara. Pendidikan anak menjadi satu hal penting yang diperhatikan. Karena hakikatnya, anak merupakan generasi emas untuk masa depan yang akan membangun dan menjaga peradaban tetap mulia. Setiap kebijakan yang diambil negara akan menjaga fitrah anak sehingga tumbuh kembangnya menjadi optimal dan memiliki kepribadian Islam yang mulia.


Negara akan berupaya mewujudkan masyarakat yang sejahtera sehingga seorang ibu bisa optimal menjalankan perannya sebagai madrasah utama dan pertama. Namun, jika perempuan ingin pula berkiprah di ranah publik, negara juga tidak akan menghalangi sepanjang kiprahnya tersebut sesuai dengan hukum syarak. Demikian pula dengan sekolah dan masyarakat akan menjadi lingkungan yang kondusif dan diperuntukkan untuk membangun kepribadian mulia. 


Sistem informasi yang aman juga akan diwujudkan oleh negara guna menjamin kebersihan pemikiran generasi dan masyarakat. Tidak hanya itu masyarakat juga akan dibentengi dari masuknya pemikiran yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Terakhir adalah adanya sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Ini juga menjadi tugas negara untuk menerapkannya. Tujuannya tentu saja untuk mencegah terjadinya kemaksiatan dan kejahatan yang berulang seperti kondisi saat ini. 


Sejarah peradaban Islam yang panjang dan gemilang telah melahirkan banyak generasi berkualitas yang banyak meninggalkan jejak karya untuk meninggikan Islam. Beberapa di antaranya, Ali bin Abi Thalib sang menantu Nabi saw. yang dijuluki sebagai 'Pintunya Ilmu", Shalahuddin al-Ayyubi, ksatria sang pembebas Masjidilaqsa, Sultan Muhammad al-Fatih yang di usia mudanya (22 tahun) berhasil menaklukkan Konstantinopel, serta Imam Syafi’i yang dijuluki Nashih al-Hadits (Pembela Sunah Nabi).


Calon generasi seperti merekalah yang hari ini kita rindukan. Generasi yang berkualitas dengan segala macam pencapaiannya. Semua itu hanya bisa terwujud jika negara menerapkan Islam secara kafah dalam semua lini kehidupan. Wallahualam bissawab. [GSM]