Alt Title

We're One Big Family

We're One Big Family

 


Saat ini umat muslim terpecah belah dalam berbagai nation state dengan aturan masing-masing yang tidak boleh saling menginterupsi

Aturan Allah dicampakkan diganti dengan aturan manusia yang kerapkali berpihak hanya pada kaum kapitalis

_________________________


Penulis Arda Sya'roni

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, INSPIRASI - Alhamdulillah lebaran tahun ini semua umat muslim di dunia melaksanakannya berbarengan, meski mungkin terjadi perbedaan dalam penentuan 1 Ramadan. Bila perayaan hari raya dilakukan secara bersamaan macam ini rasanya sungguh menyenangkan bukan? Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya terjadi perbedaan di beberapa negara, bahkan di Indonesia sendiri didapati dua hari yang berbeda dalam penentuan 1 Syawal dan juga 1 Ramadan. 


Andai kita mau berpikir lebih dalam akan timbul pertanyaan mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah bulan hanya satu? Memang benar ada dua macam cara dalam penentuan hilal, yaitu dengan hisab rukyat ataupun rukyatul hilal. Namun, meskipun metode yang digunakan berbeda semestinya ada kata mufakat di antara kaum muslimin. Jangankan Idulfitri, bahkan ketika Iduladha pun berbeda. Sedang saat Iduladha bukankah penentuan salat Iduladha adalah setelah wukuf di Arafah dilakukan? 


Di sinilah pentingnya umat muslim bersatu. Padahal penentuan hilal yang berbeda bisa sangat berdampak pada halal haramnya suatu ibadah. Sungguh, amat disayangkan bila kaum muslim saat ini tidak bersatu padu, mempunyai hukum sendiri, tak lagi menjadi umat yang satu.


Ummatan Wahidah

We are one big family, kita adalah satu keluarga besar yang bersaudara dan bagaikan satu anggota tubuh. Bila satu anggota tubuh merasakan sakit, maka seluruh tubuh akan turut merasakan sakit. Umat Islam adalah umat yang satu, ummatan wahidan. Adapun makna dari Ummatan Wahidan adalah agama atau syariat yang satu, sama-sama menyembah Allah dan tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun (yaitu tidak berbuat syirik). 


Umat muslim adalah umat yang satu, disatukan dengan akidah yang sama, dari sumber yang sama, dengan bahasa yang sama, tidak diterjemahkan dalam bahasa masing-masing.


Hal ini tercantum dalam  Surat Al-Anbiyaa ayat 92 yaitu:

إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”


Ummatan wahidan juga bisa berarti bahwa umat memiliki pemikiran yang sama, perasaan yang sama serta aturan yang sama. Adapun pemikiran yang sama di sini adalah pemikiran tentang tujuan kita sebagai manusia yang merupakan makhluk ciptaan Allah sehingga menjadikan semua aktivitasnya sebagai bentuk ibadah, sebagaimana tujuan penciptaan yang dicantumkan di dalam Al-Quran surat Adz-Dzariyat ayat 55, yaitu:

Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.


Andai seorang muslim telah mampu menjawab tiga simpul besar tentang hakikat akidah, yaitu dari mana berasal, untuk apa dihidupkan dan akan ke mana setelah mati, maka kesadaran menghamba ini akan terpatri pada diri seorang muslim. Dengan demikian tentu hanya hal positif dan kebaikan yang akan tercermin tak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga pada lingkungan sekitarnya. Hal ini karena seorang muslim betul-betul memahami bahwa apapun perintah Allah dan larangannya untuk kebaikan manusia sendiri. Kebaikan itu juga akan berakibat pada keberkahan bagi alam sekitarnya.


Namun, sayangnya saat ini umat muslim terpecah belah dalam berbagai nation state dengan aturan masing-masing yang tidak boleh saling menginterupsi. Aturan Allah dicampakkan diganti dengan aturan manusia yang kerapkali berpihak hanya pada kaum kapitalis. Hukum seakan tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. 


Bagai Salat Berjamaah 

Salat berjamaah bagi kaum muslim tak hanya sekedar sebuah ibadah yang dilakukan bersama. Namun, ada suatu penggambaran yang begitu detail mengenai kepemimpinan suatu negara. 


Pada saat salat berjamaah, imam memulai gerakan salat terlebih dahulu. Ini bermakna bahwa seorang pemimpin haruslah memberi contoh, bukan hanya memberi perintah. Imam bisa juga diganti saat tak kuasa melanjutkan salatnya. Maka, pemimpin pun dapat digantikan posisinya bila pemimpin tersebut sudah tak mampu ataupun tak layak memimpin. Bila Imam melakukan kesalahan, makmum bisa memberikan isyarat pada Imam. Ini artinya pemimpin juga harus menerima saran dan kritik dari rakyatnya. 


Andai seluruh umat muslim di dunia menyadari pentingnya bersatu padu dalam kepemimpinan satu Imam, maka tentu akan kita dapati ketertiban dan keberkahan laksana pelaksanaan salat berjamaah. 


Saatnya Menjadi Umat yang Satu

Permasalahan yang banyak timbul belakangan ini baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sebenarnya adalah karena tidak diterapkannya hukum Allah di muka bumi. Beda saat hukum Allah diterapkan pada masa kekhilafahan. Maka, saatnya umat mengembalikan kejayaan yang pernah diraihnya saat masa kekhilafahan selama 13 abad lamanya. Suatu era di mana kemaksiatan nyaris tak ada. Angka kriminalitas sangat minim. Sebaliknya justru pendidikan meningkat tajam dan melahirkan banyak generasi gemilang. Rumah sakit hampir tidak mempunyai pasien karena kesehatan diperhatikan dengan baik. Kesejahteraan rakyat menjadi fokus seorang khalifah. Karena seorang khalifah sadar betul atas pertanggungjawaban akhirat akan kepemimpinannya begitu berat, sehingga hukum syarak akan dijadikan landasan dalam berhukum dan menjalankan kepemimpinannya.


Mari kita wujudkan kembali kegemilangan Islam dengan meningkatkan ketakwaan kita dan senantiasa beramar makruf nahi mungkar. Wallahualam bissawab. [GSM]