Alt Title

Jalanan Rusak, Peran Negara Masihkah Ada?

Jalanan Rusak, Peran Negara Masihkah Ada?

 


Faktanya, dalam sistem kapitalisme yang berlaku saat ini aturan itu masih diabaikan

Antara pengusaha dan penguasa saling kerja sama untuk meraih keuntungan hingga dampak buruknya bagi masyarakat tidak diperhitungkan


____________________


Penulis Oom Rohmawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member AMK 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bukan hal yang aneh tatkala mendapati jalan yang berlubang pastinya diikuti beragam insiden dan peristiwa, baik pejalan kaki maupun pengendara. Baik di saat hujan ataupun ketika kemarau. 


Begitu pula yang terjadi di Cicalengka Majalaya Kab. Bandung, kondisi jalan raya di wilayah ini mengalami rusak parah dengan ratusan lubang menghiasi jalan tersebut. Apalagi saat tertutup air hujan tak jarang pengendara yang terperosok. Bahkan masyarakat setempat yang diwawancarai, banjir yang biasanya satu titik, setelah ada pabrik terdapat empat titik. (BandungBergerak.id,12 April 2024)


Ada banyak faktor yang menyebabkan jalan rusak. Di antaranya, sering dilalui oleh kendaraan yang besar seperti tronton, dan truk yang mengangkut muatan Over Dimension and Over Load alias ODOL. Juga pengaruh drainase yang tidak sempurna atau kontruksi bangunan yang tidak sesuai spesifikasi teknis.


Banyaknya PT juga turut andil meski tidak dipungkiri memberikan dampak yang positif bagi kehidupan sosial, dan kesejahteraan masyarakat karena dapat mengurangi pengangguran. Tapi, dampak negatifnya tidak sedikit yang ditimbulkan oleh banyaknya industri terutama pada lingkungan hidup seperti pencemaran air, polusi udara termasuk jalan yang rusak. Meski, pemerintah sudah berupaya untuk memperbaiki. Bahkan, setiap menjelang hari raya pasti ada perbaikan jalan tapi perbaikan itu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena, dari sisi kualitasnya tidak dapat bertahan lama, mudah retak,  banyak tambalan dan bergelombang.   


Jalan adalah fasilitas umum yang menjadi tanggung jawab negara dalam memberikan pelayanan transportasi dan menjamin keamanannya. Untuk itu, perlu adanya uji coba kelayakan yang dilakukan oleh penyelenggara (negara). Ada beberapa kegiatan yang sangat penting, khususnya yang berkaitan dengan kondisi jalan dan keselamatan pengguna jalan, yakni uji kelayakan fungsi jalan sebelum digunakan sebagaimana Pasal 22 UU LLAJ, mengarahkan bahwa jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi jalan secara teknis dan administratif. 


Lebih lanjut pada Pasal 24 UU LLAJ ditegaskan bahwa, jika belum dapat dilakukan perbaikan jalan yang rusak. Maka, sebagai bentuk tanggung jawab penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Hal ini yang acapkali luput dilakukan oleh penyelenggara jalan. Sehingga, seringkali masyarakat langsung yang turun tangan untuk memberikan rambu-rambu jalan. 


Penyelenggara akan dikenai sanksi ketika tidak segera  memperbaiki jalan rusak, yakni hukuman pidana dan ancaman penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,  atau lebih tergantung dampak kelalaiannya. 


Faktanya,  dalam sistem kapitalisme yang berlaku saat ini aturan itu masih diabaikan. Karena, antara pengusaha dan penguasa saling kerja sama untuk meraih keuntungan hingga dampak buruknya bagi masyarakat tidak diperhitungkan. Yang penting mereka dapat manfaat dan untung yang besar. Padahal selain menyebabkan kecelakaan, jalan rusak bisa juga berpengaruh pada terhambatnya perekonomian daerah yang diakibatkan dari kemacetan lalu lintas semisal kerugian waktu, bahan bakar dan menghambat mobilitas distribusi barang dan jasa antar wilayah.


Serta menimbulkan biaya sosial yang tinggi, seperti masalah kesehatan akibat dari polusi udara, kebisingan dari kendaraan, biaya lingkungan yang meliputi perbaikan ekosistem akibat erosi tanah, dan masih banyak lagi yang merugikan publik. Semua itu adalah buah diterapkannya sistem kapitalisme sekuler oleh negara. 


Lain halnya dengan Islam. Sebagai agama yang diridai Allah Swt., hadirnya memberikan rahmat bagi seluruh alam. Seluruh aturannya, baik berupa perintah maupun larangan untuk kemaslahatan umat. Seorang pemimpin diwajibkan meriayah rakyatnya. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari)


Realisasi dari hadis Rasulullah tersebut adalah riayah yang ditunjukkan masa Kekhilafahan Umar bin Khattab ra. Beliau seorang pemimpin yang selalu merasa khawatir jika ada hewan atau keledai terperosok ke dalam lubang akibat jalan yang rusak. Bahkan, Umar ra. sampai menangis saking takut dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah Swt..


Dalam pandangan Islam, infrastruktur dan pelayanan publik adalah tanggung jawab pemerintah secara penuh. Artinya, infrastruktur pembangunan dan perbaikan jalan menjadi salah satu jaminan pemeliharaan pemerintah (negara)  demi melayani masyarakat agar merasa aman dan nyaman.


Pemenuhan pelayanan ini hanya mampu terpenuhi jika sistemnya adalah sistem sahih yakni Islam. Untuk biaya pelayanan, negara harus memiliki sistem ekonomi Islam karena negara berwenang memanfaatkan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat. Fasilitas-fasilitas umum yang dibangun dan dikelola oleh negara serta dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Rasulullah saw.  bersabda yang artinya: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Ibnu Majah dan Abu Nuaim)


Selain riayah Khalifah Umar bin Khattab ra. terhadap infrastruktur jalan. Masa Kekhilafahan Umayyah dan Abbasiyah juga menunjukkan perhatian yang besar. Salah satu contohnya adalah rute perjalanan Irak dan Syam ke Hijaz. Khalifah di masa itu membangun banyak pemondokan gratis lengkap dengan persediaan air, makanan dan tempat tinggal untuk memudahkan perjalanan para pelancong.


Inilah yang seharusnya seorang penguasa lakukan. Mereka tidak akan memikirkan diri sendiri dan keuntungan pribadi atau kelompoknya saja. Namun, juga berpikir bagaimana caranya agar rakyat bisa terlayani dengan baik. Sayangnya, kehidupan saat ini sangat jauh dari nilai dan aturan Islam. Hal ini menyebabkan para penguasanya menganggap kekuasaan itu sebagai keuntungan yang tidak boleh disia-siakan.


Mereka menganggap kekuasaan menjadi lebih penting dari sekadar memikirkan tanggung jawab besar sebagai pemimpin. Para penguasa seperti ini, hendaknya merenungi sabda Rasulullah saw. : “Jabatan (kedudukan) itu pada permulaannya penyesalan, pertengahannya kesengsaraan dan akhirnya adalah azab pada hari kiamat.” (HR. Ath-Thabrani)


Sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam. Karena hanya sistem Islam yang mampu membentuk karakter para penguasa taat syariat, menjalankan pemerintahannya, membangun infrastruktur termasuk jalan dengan baik. Karena, tidak cari manfaat untuk diri sendiri atau kelompoknya, tapi rida Allah Swt. Wallahualam bissawab. [Dara]