Alt Title

Anak Menangis Kelaparan, Potret Buram Kapitalisme

Anak Menangis Kelaparan, Potret Buram Kapitalisme

 


Saat bekerja pun belum tentu kebutuhan terpenuhi, sebab mahalnya harga kebutuhan pokok

 Inilah fakta menyedihkan sebagai akibat diterapkannya sistem kapitalisme

______________________________


Penulis Siska Juliana 

Tim Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sebuah video tengah viral di masyarakat. Video tersebut menayangkan seorang anak yang menangis karena lapar dan meminta makan pada ibunya. Setelah ditelusuri, anak itu bernama Gibran (6 tahun) warga Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor. (kompas.com, 07/05/2024) 


Ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan yang tidak memiliki penghasilan tetap. Setelah video tersebut viral, pihak pemerintah terkait langsung mendatangi rumah Gibran. Kemudian mengusahakan agar keluarga Gibran menjadi penerima bantuan.


Kisah Gibran bukanlah satu-satunya fenomena kemiskinan di negeri ini. Betapa banyaknya keluarga yang harus berjuang hanya demi sesuap nasi. Bukannya tidak mau berusaha, hanya saja sistem kehidupan saat ini menjadikan masyarakat sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. 


Di sisi lain, memang pemerintah telah menyalurkan berbagai bantuan untuk mengentaskan kemiskinan seperti BLT, bantuan sosial, subsidi, dan sebagainya. Akan tetapi, hal itu hanya bersifat sementara dan tidak menyentuh akar masalahnya. Bahkan penerima bantuan seringkali salah sasaran.  


Menurut data SMERU dengan mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), tahun 2023 terdapat 78 juta orang Indonesia yang termasuk kategori rentan miskin. Sementara menurut data Bank Dunia, pada tahun 2022 penduduk miskin di Indonesia ada 44 juta orang. (kompas.id) 


Dalam faktanya, data kemiskinan ini tidak akurat karena mengacu pada standar garis kemiskinan yang terlalu rendah. Pada 2023, Bank Dunia merilis laporan yang berjudul "Indonesia Poverty Assessment."


Dalam laporan itu, Bank Dunia mengusulkan Indonesia agar mengubah garis kemiskinan dengan standar paritas daya beli (purchasing power parity) terbaru untuk negara berpendapatan menengah, yaitu sebesar USD3,2 per orang per hari atau sekitar Rp47.502 dari standar USD1,9 per orang per hari atau sekitar Rp28.969.


Klaim mengenai penurunan angka kemiskinan yang mengacu pada standar kemiskinan global hanya isapan jempol belaka. Karena pada faktanya tingkat kemiskinan menjadi pemicu timbulnya permasalahan sosial. 


Sulitnya memenuhi kebutuhan dasar sehingga tingkat kemiskinan melonjak, bukan hanya permasalahan individu. Ini merupakan permasalahan sistematis, yaitu diterapkannya sistem kapitalisme saat ini. 


Sistem ini meniscayakan kekayaan hanya menumpuk pada segelintir orang. Akibatnya, kesenjangan makin lebar. Negara tidak berperan mengurus rakyat, hanya sebagai regulator yang memuluskan jalan bagi para kapitalis untuk menguasai kekayaan alam.


Negara berpikir untung rugi saat berhadapan dengan kepentingan rakyat. Alhasil, rakyat harus berjuang sendiri dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.


Jika diamati bukan rakyat yang malas bekerja, melainkan minimnya lapangan pekerjaan. Saat bekerja pun belum tentu kebutuhan terpenuhi, sebab mahalnya harga kebutuhan pokok. Inilah fakta menyedihkan sebagai akibat diterapkannya sistem kapitalisme.


Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam telah mewajibkan nafkah dibebankan pada para wali. Maka, Islam mewajibkan laki-laki untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Jika mereka tidak memiliki keluarga dan tidak mampu mencari nafkah, maka menjadi tanggungan negara. 


Dalam Islam, seorang pemimpin (khalifah) wajib menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya.


"Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. Bukhari)


Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra.. Pada masa paceklik dan rakyat kelaparan, beliau rela hanya makan roti kering yang dilumuri minyak hingga kulitnya berubah menjadi hitam. Beliau berkata, "Akulah sejelek-jelek kepala negara jika aku kenyang, sedangkan rakyatku kelaparan." 


Jika kita melihat saat ini, meskipun banyak bantuan yang digelontorkan, tetapi nyatanya tidak bisa menyejahterakan rakyat. Andai saja para pemimpin meneladani sikap Umar ra., tentunya keadaan rakyat tidak akan sengsara seperti ini. 


Hanya saja kepemimpinan seperti Umar bin Khaththab ra. dapat terealisasi dalam sistem Islam. Bukan sistem kapitalisme yang menuhankan kepentingan oligarki dan mengabaikan kemaslahatan masyarakat. 


Begitulah keadilan dalam sistem Islam. Seorang pemimpin sangat memahami tugasnya dalam mengurus rakyat. Ia pun memiliki rasa takut kepada Allah ketika tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik. Sebab, ia menyadari adanya pertanggungjawaban di akhirat kelak. 


Dengan demikian, solusi menangani kelaparan hanya dengan aturan Islam, bukan dengan aturan yang lain. Wallahualam bissawab. []