Alt Title

Harga Beras Meroket, Mungkinkah Hanya Akibat Gagal Panen?

Harga Beras Meroket, Mungkinkah Hanya Akibat Gagal Panen?

 


Islam akan memaksimalkan SDA yang ada untuk kepentingan seluruh rakyatnya

Dengan aturan syariat, rakyat menjadi tenang, tenteram serta terlindungi

______________________________


Penulis Irmawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Beras merupakan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari yang harus terpenuhi. Hampir sebagian besar penduduk Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan pokok.


Kenaikan harga beras pasti akan memengaruhi pengeluaran masyarakat. Terutama masyarakat yang masih terbatas pendapatannya. Padahal jika melihat sumber daya alam yang ada, tentu negara ini sangat mampu untuk mencukupi semua kebutuhan dasar masyarakat. 


Dilansir pada telisik (22/02/2024), lonjakan harga beras di pasaran mulai dirasakan oleh pedagang menjelang pemilu 2024. Lonjakan harga tersebut, ternyata belum memberikan hasil timbal baliknya kepada para petani khususnya di Sulawesi Tenggara.


Hal ini disebabkan karena mata rantai perdagangan beras yang begitu panjang. Akibatnya, petani tidak menikmati hasil produksi yang dijual dengan harga tinggi. Kesejahteraan petani bergantung dari beberapa hasil bersih yang diterima petani, jika dibandingkan dengan harga produksinya.


Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara mengungkapkan bahwa kenaikan harga gabah kering dan beras saat ini jika tidak memenuhi biaya produksi yang dikeluarkan, maka tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat saat ini. Produktivitas yang tinggi dapat didukung dari kualitas benih yang bagus dan edukasi serta pendampingan terhadap petani untuk mengelola sawah yang tepat.  


Bukan awal kali terjadi, kenaikan harga beras telah berulang kali terjadi sejak 2023 lalu. Permasalahan kenaikan harga beras dinilai berkaitan dengan perubahan iklim. Akibatnya produksi beras menurun, kelangkaan beras terjadi dan harga beras melambung tinggi. Tidak hanya itu, kenaikan harga beras terjadi karena ada sebab yang terlihat secara sistematik oleh negara baik dalam aspek produksi maupun aspek distribusi.


Terbukti dengan adanya berbagai akumulasi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Misalnya kebijakan intensifikasi pertanian yang mengakibatkan produktivitas pertanian menjadi lesu.


Begitu pula dengan pengurangan subsidi pada pupuk maupun benih mengakibatkan ongkos makin mahal. Ditambah pada saat yang sama, kebijakan impor pangan justru terbuka lebar. Akibatnya, gairah petani untuk menanam menjadi lesu, karena harga lokal kalah bersaing dengan harga pangan impor. 


Di sisi lain, alih fungsi pertanian besar-besaran untuk pembuktian real state, pembangunan jalan dan kawasan industri yang makin masif sebagai kebijakan ekstensif pertanian sejatinya tidak sejalan dengan cita-cita swasembada pangan nasional. Karena itu, menyebabkan produk pangan menurun.


Realitanya, rakyat tetap dalam kondisi yang terjepit dengan naiknya berbagai bahan pokok. Begitu pun para petani, dengan naiknya harga beras, semestinya pendapatan dan keuntungan juga naik. Namun faktanya tidak demikian.


Dengan melambungnya harga beras, tentu rakyat semakin terpukul. Rakyat bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan harus pandai-pandai mencari bahan pangan murah. Jika sebelumnya, narasi yang disampaikan adalah yang penting makan, meski hanya dengan nasi tanpa lauk. Saat ini, narasi itu tidak berlaku lagi, pasalnya beras pun tidak mudah untuk dijangkau. 


Apa yang harus dimakan oleh rakyat? Mungkinkah, beras perlu diganti dengan jagung? Negara seharusnya mampu menjamin pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat. Termasuk di dalamnya cadangan pangan negara, menjaga kestabilan harga dan membiarkan dampak kesejahteraaan pada petani.


Sayangnya, pemerintah hanya abai dengan kondisi demikian. Pemerintah tidak memedulikan rakyatnya yang sedang menjerit menghadapi kesulitan. Pemenuhan kebutuhan di tengah daya beli rendah.


Meski pemerintah telah menjalankan berbagai program baik melalui penetapan harga, operasi, pendistribusian SPHP dan pembagian bansos berupa beras 10 kg per keluarga. Akan tetapi belum berhasil dan kembali stabil oleh mayoritas rakyat. 


Di samping itu, lembaga-lembaga teknis negara seperti Bulog, tidak lagi sebagai pelayan melainkan sebagai pebisnis. Bukan lagi perpanjangan tangan negara untuk melayani dan mengurusi kebutuhan rakyat.


Namun ikut bersaing seperti korporasi dengan korporasi swasta dalam mencari profit. Di sisi yang lain, pemerintah hanya mencukupkan diri dengan upaya stabilisasi harga pangan melalui pelaksanaan operasi pasar. 


Ini jelas menggambarkan negara dalam sistem kapitalisme telah gagal dalam memberikan jaminan tersedianya pangan untuk rakyat. Negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator. Sedangkan korporasi yang menguasai tata kelola pangan dan berbagai proses produksi. Sistem ini hanya condong ada kepentingan (pemilik modal) bukan atas dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat.


Hal sejalan dengan hasil riset Greenpeace Internasional harga pangan di negeri ini menguntungkan 20 korporasi agrobisnis di seluruh dunia dalam kurun tahun 2020-2022 dengan deviden sebesar 53,5 miliar US dollar. 


Sistem kapitalisme hanya berfokus pada produksi dan distribusi diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara itu, uang dijadikan sebagai pengendali tunggal dalam distribusi. Karena itu, wajar dalam sistem ini hanya akan melahirkan penguasa yang rasa pengusaha.


Selama sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, melambungnya harga pangan akan terjadi secara berulang. Untuk menanggulangi kenaikan harga pangan perlu solusi sistematik. Tak hanya menahan kenaikan harga, tetapi juga menanggulangi hingga akar permasalahan. Sehingga tidak terulang kembali. 


Islam dengan seperangkat aturannya mampu memberikan solusi berbagai permasalahan manusia. Termasuk pemenuhan pangan bagi rakyat menjadi tugas dan kewajiban negara sepenuhnya. Sebagaimana Islam menetapkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang mengurusi dan melindungi rakyatnya. 


Agar ketersediaan pangan terpenuhi bagi rakyatnya, pemimpin dalam Islam mengoptimalkan kualitas produksi pangan. Dengan melakukan ekstensifikasi berupa penghidupan tanah mati dan intensifikasi dengan melakukan peningkatan kualitas bibit, pupuk, alat-alat produk dan teknologi terkini.


Negara dalam Islam akan melaksanakan mekanisme pasar yang sehat. Penipuan, penimbunan, praktik riba, monopoli, pengendalian harga melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply dan demand dilarang. Negara juga akan memasok cadangan lebih saat panen dan akan didistribusikan secara selektif jika ketersediaan pangan berkurang. 


Begitu juga kebijakan impor dan ekspor diatur. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhannya. Adapun impor boleh dilakukan selama tidak bekerja sama dengan negara kafir harbi. Kebijakan ini dilakukan agar kaum muslim tidak bergantung pada asing.


Selain itu, negara dalam Islam juga memberi kebijakan antisipasi jika bencana kekeringan atau bencana alam lainnya. Sehingga dengan kebijakan yang diberlakukan kebutuhan rakyat terpenuhi tanpa khawatir harganya meroket. 


Islam akan memaksimalkan SDA yang ada untuk kepentingan seluruh rakyatnya. Dengan aturan syariat rakyat menjadi tenang, tenteram serta terlindungi. Akan tetapi, semua ini hanya bisa terwujud jika penerapan Islam secara kafah dalam sebuah negara.


Sebagaimana sejarah mencatat penerapan ketahanan pangan ada masa Umar bin Khattab dalam menerapkan inovasi sosial irigasi untuk mengairi area perkebunan. Kawasan delta sungai Eufrat dan Tigris serta daerah rawa disulap dengan dikeringkan menjadi lahan pertanian. Wallahualam bissawab. [SJ]