Alt Title

Fenomena Caleg Gagal Depresi, Hasil Sistem Demokrasi

Fenomena Caleg Gagal Depresi, Hasil Sistem Demokrasi

 


Berbagai fenomena tersebut menggambarkan betapa lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya  

Mereka hanya siap menang dan tidak siap kalah

__________________


Penulis Binti Masruroh

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pagelaran pemilu telah usai. Pesta rakyat ini menyisakan berbagai fenomena miris di kalangan para caleg dan timses. Tidak sedikit diantara mereka yang gagal terpilih. Kalah dalam pemungutan suara mengalami kekecewaan yang sangat mendalam. Ada yang berujung  stres atau depresi, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Ada juga yang menarik kembali pemberian kepada masyarakat.

 

Sebagaimana dilansir mediaindonesia.com 19/02/24 seorang timses caleg (WG) berusia 56 tahun dari desa Sidomukti kecamatan Pangkatan Kudus Kabupaten Pelalawan nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di pohon rambutan setelah mengetahui  caleg yang diusungnya tidak memperoleh suara sesuai harapan.


Demikian pula warga desa Jambewangi kecamatan Sempu Banyuwangi dihebohkan dengan penarikan kembali material paving dari salah satu caleg karena caleg tersebut tidak memperoleh suara dari masyarakat desa jambewangi seperti yang dikehendaki (kompas.com 19/02/24).


Sementara, di Subang Jawa Barat seorang caleg (AR) membongkar jalan yang sebelumnya dia bangun setelah mengalami kekalahan. Dia juga menyalakan petasan di Menara masjid dan sejumlah titik yang perolehan suaranya anjlok. Akibat aksi ini, seorang warga meninggal karena serangan jantung.(news.okezone.com 25/02/24). Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lain

 

Berbagai fenomena tersebut menggambarkan betapa lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya, mereka hanya siap menang dan tidak siap kalah.  Fenomena menjadikan jabatan menjadi sesuatu yang sangat didambakan dan diburu. Mengingat besarnya keuntungan yang akan didapatkan, sehingga banyak caleg dan timses yang rela membeli suara rakyat dengan modal yang besar, dengan pamrih meraup suara rakyat. Di sisi lain, pemilu dalam sistem demokrasi biayanya sangat tinggi. Selain itu fenomena ini memperlihatkan bahwa jual beli suara, suap menyuap yang sebenarnya dilarang dalam agama dan aturan pemilu telah menjadi hal lumrah dalam masyarakat.

 

Sebagaimana kita ketahui pemilu saat ini dilangsungkan dalam sistem demokrasi. Terdapat perbedaan mendasar antara sistem politik demokrasi dan sistem politik Islam. Dalam sistem demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat, artinya manusia (anggota legislatif) yang membuat aturan. Sementara, dalam sistem Islam kedaulatan ada ditangan Asy Syari’ artinya menetapkan hukum hanya hak Sang Pencipta yakni Allah Swt..

 

Dalam sistem demokrasi anggota legislatif atau DPR yang terpilih melalui pemilu memiliki peran sebagai penyusun undang-undang. Dalam sistem Islam terdapat Majelis Umat yang merupakan representasi perwakilan rakyat atau umat yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu dari setiap wilayah tertentu. Majelis Umat dalam sistem Islam memiliki peran memberikan pandangan kepada penguasa dalam berbagai urusan rakyat atau menyampaikan aspirasi rakyat.


Majelis Umat berperan melakukan muhasabah lil hukam atau koreksi dan kontrol terhadap kebijakan penguasa. Majelis umat tidak memiliki fungsi legislasi atau hak membuat hukum sebagaimana DPR dalam sistem demokrasi. Majelis Umat menjadi penyambung lidah rakyat, menyampaikan keluh kesah rakyat. Mereka akan mengabdikan hidupnya untuk beramal sholeh menjadi mitra penguasa agar mampu menjalankan kekuasaan sesuai aturan Allah dan Rasulullah saw.. Anggota Majelis Umat dipilih oleh Majelis Wilayah. Anggota Majelis Wilayah memilih anggota Majelis Umat. Metode pemilihan ini merupakan cara yang praktis, sederhana, hemat biaya namun akan menghasilkan wakil umat yang amanah dan memiliki kapabilitas.

 

Islam memandang kekuasaan adalah amanah yang tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia tapi di akhirat kelak. Karena itu, pemilihan pemimpin maupun majelis umat dilakukan atas dorongan keimanan kepada Allah swt. Islam menetapkan cara-cara yang ditempuh harus sesuai dengan hukum syarak. Pemilu dilakukan secara simpel, murah, dan mudah. Semua yang terlibat baik politisi, panitia akan menjalankan amanah sebagai dorongan keimanan bukan keuntungan.


Alhasil, pemilu akan berjalan dengan damai, jujur, tanpa suap menyuap, tanpa janji-janji, tanpa serangan fajar. Para calon adalah orang-orang yang berkepribadian Islam dan hanya mengharap ridho Allah semata. Mereka menyadari betul bahwa kepemimpinan adalah amanah yang kelak harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. Siapapun yang menang akan amanah dan yang kalah akan menerima kekalahan dengan lapang.

 

Dengan menerapkan syariat Islam pemilu akan berjalan efektif dan efisien, terpilih pemimpin yang mumpuni, tidak ada caleg gagal yang mengalami depresi bahkan bunuh diri sebagaimana pemilu dalam sistem demokrasi hari ini. Wallahualam bissawab. [Dara]