Alt Title

Potensi Migas Besar, Profitnya Salah Sasaran

Potensi Migas Besar, Profitnya Salah Sasaran

 


Migas dieksplorasi, seharusnya menjadi sumber dana bagi kepentingan rakyat. Kenyataannya justru dipergunakan untuk kepentingan para kapitalis. Seharusnya sumber migas dikelola oleh negara karena milik rakyat, tetapi pada akhirnya menjadi bancakan kaum kapitalis

Sementara negara hanya mendapatkan pajaknya dan sebagian kecil dari hasil eksplorasi migas

_________________________


Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd.

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - "Gemah ripah lohjinawi toto tentrem kerto raharjo" 


Ungkapan ini memang tepat disematkan untuk Indonesia. Kekayaannya yang melimpah yang terkandung dalam perut bumi negeri ini, salah satunya migas, sungguh amat mencengangkan. Menjadi impian setiap bangsa. Namun sayang, negeri yang memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) amat bejibun ini, tidak dalam naungan sistem pengelolaan yang tepat.  Sehingga kepemilikan harta yang luar biasa ini tidak banyak memberikan kontribusi kesejahteraan bagi rakyatnya.


Shinta Damayanti, Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mengungkapkan, saat ini, terdeteksi 128 area cekungan (basin) migas di Indonesia. Di sana tersimpan minyak dan gas warna warni yang potensinya sudah terbukti. Warna terbaik yaitu warna merah terdapat 20 basin. Namun ternyata sebanyak 68 cekungan belum dieksplorasi. (Media Indonesia, 1/2/2024)


Shinta mengatakan bahwa SKK Migas juga menemukan dua sumber gas besar atau giant discovery di tahun 2023. Keduanya terdapat  di laut Kalimantan Timur dan sebelah utara Sumatra. 


Sementara menurut Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto, total investasi sejumlah proyek strategis nasional (PSN) hulu minyak dan gas (migas) sebesar US$45,09 miliar atau setara Rp702 triliun (kurs Rp15.572). (Media Indonesia, 12/1/2024)


Migas, Mengundang Investor


Kandungan migas diperut bumi Pertiwi selalu memberikan daya tarik bagi para investor. Pesonanya bagaikan magnet yang mendorong ambisi negara asing atau pengusaha lokal maupun asing untuk mendapatkannya. Selain karena jumlahnya yang melimpah, sang pemilik juga seolah menggelar karpet merah bagi para investor untuk mengeksploitasinya.


Alasan klise yang diungkapkan pemerintah, yang mengakibatkan eksplorasi migas jatuh ke tangan swasta atau asing adalah rendahnya SDM yang ada, sehingga menghalangi proses eksplorasi. Fakta-fakta yang dijumpai di negeri ini dari rezim ke rezim tidak terlihat adanya upaya untuk untuk mengelola migas secara mandiri. Tak pelak, sesuai tabiat pengusung kapitalisme, fungsi negara hanya sebagai regulator.


Hal ini menyebabkan negara membuat regulasi untuk memudahkan investor melakukan penawaran menjadi pihak pengelola. Regulasi Migas di Indonesia adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sebelumnya, adalah Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. 


Dengan regulasi tersebut membuka ruang untuk menjalin kerjasama dengan pihak swasta. Para investor tentu saja penuh suka cita mendapat tawaran eksploitasi berkedok investasi ini. Menjadikan sumber dana dari kekayaan migas untuk kesejahteraan rakyat hanya menjadi angan semata.


Bahaya


Menyerahkan pengelolaan migas kepada pihak swasta atau asing jelas sangat berbahaya. Negara semakin kehilangan kedaulatan dalam pengelolaan migas. Membangun pengelolaan migas secara mandiri menjadi sebatas mimpi. 


Migas dieksplorasi, seharusnya menjadi sumber dana bagi kepentingan rakyat. Kenyataannya justru dipergunakan untuk kepentingan para kapitalis. Seharusnya sumber migas dikelola oleh negara karena milik rakyat, namun pada akhirnya menjadi bancakan kaum kapitalis.


Sementara negara hanya mendapatkan pajaknya dan sebagian kecil dari hasil eksplorasi migas. Setelah itu pemerintah harus membeli hasil migas dari tanahnya sendiri dengan harga internasional. Kondisi seperti ini adalah keniscayaan dalam kapitalisme. Sebab paradigma pengelolaan SDA dalam sistem kapitalis menggunakan konsep liberalisasi atau swastanisasi pengelolaan SDA milik rakyat.


Situasi ini mengakibatkan Pertamina disejajarkan dengan pihak swasta, baik lokal atau asing. Bahkan dalam beberapa kasus pihak swasta lebih diistimewakan. Kondisi ini menggambarkan mental pengelola negara adalah mental penguasa terjajah yang berusaha  memenuhi keinginan tuannya.


Pengelolaan Migas dalam Islam 


Migas memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan. Migas adalah sumber energi penggerak utama, bahan bakar untuk industri dan kendaraan serta kebutuhan rumah tangga. Menyerahkan pengelolaan kepada swasta akan menjadikan harga jualnya menjadi tinggi. Sementara penduduk negeri ini yang berpenghasilan menengah ke bawah jumlahnya amat besar. Sungguh peran negara yang bertindak sebagai fasilitator bagi investor, telah mengkhianati kepentingan rakyat.


Pengkhianatan seperti ini, tidak akan terjadi jika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam. Islam memandang harta yang melimpah termasuk migas merupakan harta kepemilikan umum. Status kepemilikannya adalah selamanya milik rakyat. Status ini tidak boleh berpindah tangan pada pihak lain. Baik kepada individu, negara terlebih kepada swasta.


Tugas pengelolaan memang dilakukan oleh negara, tetapi hasilnya sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Sebagaimana hadis Rasulullah saw.


"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api. Dan harganya adalah haram." (HR. Ibn Majah)


Hadis ini menjelaskan barang-barang yang terkategori kepemilikan umum, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jadi tidak terbatas pada tiga jenis barang yang disebutkan dalam hadis tersebut. Alasannya karena Rasulullah pernah memberikan penguasaan air di Thaif dan Khaibar kepada seseorang, dimana air tersebut tidak menjadi tempat bergantung masyarakat. Sifat ketiga jenis barang tersebut ketika merupakan marafiq al-jama’ah (suatu yang dibutuhkan publik atau merupakan fasilitas publik), maka termasuk dalam kepemilikan umum.


Oleh karena itu, pengelolaan harta  milik rakyat yang jumlahnya melimpah termasuk migas oleh swasta hukumnya haram. Negara boleh saja mengontrakkan pada pihak swasta, namun bukan dengan akad bagi hasil, melainkan dengan akad kerja (ajir musta'jir). 


Posisi migas sebagai kepemilikan umum memiliki konsekuensi bahwa setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat atas hasil pengelolaan migas dengan tanpa terkecuali. Baik kaya atau miskin, muslim atau non muslim, laki-laki atau perempuan dan sebagainya.


Eksplorasi yang membutuhkan biaya cukup besar menyebabkan pengelolaanya ditangani oleh negara. Hasil migas akan diserahkan ke baitulmal. Sedangkan pendistribusian dilakukan oleh pemimpin negara berdasarkan ijtihadnya yang dijamin oleh hukum syarak. 


Setidaknya keuntungan dari pengelolaan migas bisa diperuntukkan membiayai hal yang yang berkaitan dengan eksplorasi SDA. Di antaranya pembelian alat, untuk para tenaga ahli, gaji pegawai dan lainnya. Juga dapat didistribusikan kepada individu-individu rakyat sebab mereka berhak atas hal itu. Negara juga dapat memanfaatkan untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan. Negara juga bisa menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana yang dibutuhkan rakyat secara gratis atau murah. Misalnya sarana prasarana pendidikan, kesehatan maupun keamanan. Selain itu negara dapat pula menggunakannya untuk membayar PNS dan penyediaan fasilitas kantor-kantor negara yang dibutuhkan. Juga untuk membeli peralatan dan perlengkapan perang.


Dalam proses eksplorasi negara akan menyediakan banyak para ahli serta tenaga kerja handal sehingga SDA dapat eksploitasi secara optimal. Itulah cara pemerintah Islam dalam mengelola SDA yang berada dalam wilayah perut bumi Daulah. Gambarannya begitu jelas, sehingga ketika sistem Islam diterapkan secara kafah akan memberi jaminan kesejahteraan bagi rakyatnya. Wallahualam bissawab. [GSM]