Alt Title

Kapitalisme Menyuburkan Depresi Para Ibu

Kapitalisme Menyuburkan Depresi Para Ibu

 


Mirisnya lagi, negara yang seharusnya tampil terdepan menjadi pelindung para ibu justru bersikap abai. Negara lalai dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya

Dalam hal ini, penguasa malah sibuk beretorika dengan omong kosong tentang pertumbuhan ekonomi, investasi dan digitalisasi. Sedangkan yang terjadi di depan mata adalah para ibu yang berkubang dalam nestapa

_________________________


Penulis Aning Juningsih

Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com,  Analisis - Tercuatnya kasus perempuan yang tega membunuh bayinya dengan cara menenggelamkan ke ember berisi air setelah melahirkan sungguh membuat gempar. Hal ini disebabkan ia tidak sanggup membiayai bayinya, karena kesehariannya bekerja sebagai buruh. (kumparan.com, 24/01/24)


Kemudian pelaku membuangnya ke semak-semak kebun milik warga sekitar. Terungkapnya kasus ini berawal saat warga sekitar menemukan mayat bayi laki-laki di kebun. Kemudian, polisi melakukan penyelidikan pada Jumat sore. Pihak kepolisian mencurigai bayi tersebut sengaja dibunuh dan dibuang oleh pelaku ke kebun warga. 


Selain kisah di atas, masih banyak kasus kejadian ibu membunuh bayinya atau anaknya sendiri. Hal itu, menunjukan bahwa adanya beban ekonomi yang menghimpit hidup masyarakat, sehingga telah menghilangkan fitrah keibuan, yaitu naluri kasih sayang ibu pada anaknya. 


Yang seharusnya ibu menjadi orang yang paling sayang pada anaknya, karena ibu telah mengandung bayi selama sembilan bulan. Selama itu, pasti ada jalinan kasih sayang antara ibu dengan sang anak yang bersemayam di dalam rahimnya. Sehingga kasih sayang ini akan makin bertambah tatkala sang anak lahir dan menjadi pelengkap kebahagiaan keluarga. 


Banyak sebab yang mendorong seorang ibu tega membunuh nyawa anaknya yang baru lahir. Selain himpitan ekonomi, ditambah faktor lain yaitu kurangnya keimanan. Karena lemahnya keimanan, ibu menjadi gelap mata dan tidak berpikir jernih. Sampai tidak menyadari bahwa anak adalah titipan dan sekaligus karunia dari Allah Swt. yang harus dijaga sebaik-baiknya. Karena pada hari akhir, ibu dan ayah akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah tentang pengasuhan dan pendidikannya. 


Selain faktor keimanan, faktor ketahanan keluarga juga ikut berperan penting mencegah kejadian ibu membunuh anaknya sendiri. Seharusnya keluarga menjadi orang yang mendukung perempuan untuk menjalankan fungsi utamanya, yaitu menjadi ibu. Namun sayangnya, di bawah lingkaran sistem kapitalisme, para ibu justru dipaksa oleh keadaan untuk ikut menanggung beban ekonomi keluarga. Pada akhirnya, kelahiran anak dianggap menjadi beban tambahan bukan sesuatu yang membahagiakan. 


Selain itu, sistem pendukung lainnya yaitu masyarakat juga tidak berjalan. Ini karena, sistem kapitalisme telah menjadikan masyarakat untuk bersikap individualis, hanya memikirkan nasib diri sendiri dan tidak peduli pada orang lain. Selain itu, kerabat dekat dan tetangga sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga tidak ada perhatian pada ibu yang kepayahan dengan kehamilannya. 


Mirisnya lagi, negara yang seharusnya tampil terdepan menjadi pelindung para ibu justru bersikap abai. Negara lalai dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Dalam hal ini, penguasa malah sibuk beretorika dengan omong kosong tentang pertumbuhan ekonomi, investasi dan digitalisasi. Sedangkan yang terjadi di depan mata adalah para ibu yang berkubang dalam nestapa.


Ternyata fakta tersebut bukannya tidak diketahui oleh penguasa. Namun, penguasa tampak cukup dengan mencatat, mendatanya dan hanya memberi sanksi tanpa ada solusi yang jelas. Kini, derita ibu pun bertambah dan bertumpuk. Selain depresi sehabis melahirkan, kehilangan anak dan keluarga, dan kehilangan kebebasan juga. Sungguh betapa sengsaranya hidup di bawah sistem kapitalisme. 


Sejatinya, negara yang semestinya memiliki peran sentral untuk melindungi para ibu. Negara seharusnya menanamkan keimanan yang kokoh dan kuat kepada para ibu. Sehingga ujian kehidupan tidak akan membuat para ibu kehilangan harapan pada Allah Swt. Negara juga adalah pihak yang semestinya punya sistem untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, termasuk para ibu. Negara juga yang bisa menjadikan masyarakat dan keluarga agar peduli pada keselamatan jiwa dan raga orang lain termasuk pada ibu dan anak yang dikandungnya. 


Sungguh miris sekali, peran sebagai pelindung tidak dilakukan oleh penguasa. Karena di bawah sistem demokrasi kapitalisme, negara tidak menjalankan fungsinya sebagai pelindung rakyat. Penguasa justru patuh pada kepentingan para kapitalis oligarki. Semua kebijakan negara dibuat dalam rangka mengedepankan kepentingan pemilik modal.


Selain itu, para penguasa juga terlalu sibuk memikirkan kontestasi demi mengamankan kursi, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya. Sementara derita rakyat, dianggap sebatas angin lalu yang tidak penting, tidak ada upaya mencari solusi yang tepat. Semua ini, tidak menutup kemungkinan akan ada lagi kejadian ibu membunuh anaknya, bahkan bisa jadi jumlahnya makin bertambah banyak. 


Dalam hal ini, harus ada perubahan dalam masyarakat dan negara demi mewujudkan perlindungan bagi para ibu. Agar kasus-kasus ibu membunuh anaknya tidak terjadi lagi di tengah masyarakat.


Semua fakta itu sungguh bertolak belakang dengan sistem Islam. Islam menjadikan kaum ibu merasa mulia dengan menggambarkan bahwa beratnya tugas hamil dan melahirkan yang ditanggung perempuan adalah bagian dari perannya sebagai pembentuk peradaban. Dijelaskan juga banyak pahala yang didapat tatkala seorang perempuan hamil dan melahirkan. 


Allah Swt. berfirman dalam Surat Al Ahqaf ayat 15, "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan..."


Dalam Islam, begitu mulianya posisi ibu sehingga kehormatannya harus dijaga. Oleh karena itu, sistem Islam melindungi perempuan dari berbagai kesulitan, termasuk kesulitan ekonomi. Menjadi tugas negara untuk berperan sebagai junnah atau pelindung rakyatnya. Negara harus menjamin kesejahteraan ibu dan anak melalui berbagai mekanisme. 


Dalam sistem Islam, dari jalur nafkah, perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja. Perempuan berhak mendapatkan nafkah dari suaminya atau walinya. Dengan itu, perempuan tidak menanggung beban ekonomi keluarga. Dengan mekanisme ini, perempuan bisa melakukan fungsi utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah dengan optimal, tanpa terbebani dengan menanggung beban ekonomi keluarga. 


Selain itu juga, dukungan masyarakat. Di dalam masyarakat Islam, prinsip ta'awun dijunjung tinggi. Alhasil, ketika ada salah satu anggota masyarakat kekurangan dalam ekonomi, anggota keluarga dan masyarakat lain akan membantu meringankan bebannya dengan cara memberi sedekah, memberikan tawaran pekerjaan bagi kepala keluarga dan bantuan lainnya yang dibutuhkan.


Dan juga mekanisme pengaturan negara. Negara akan memberikan santunan kepada rakyat yang terkategori fakir atau miskin. Negara juga akan memberi pekerjaan kepada pengangguran dan juga memberi modal pada pedagang dan pebisnis. Sehingga tidak ada perempuan yang terbebani dengan masalah ekonomi. 


Di sisi lain, kepedulian sistem Islam itu bisa terwujud karena memiliki sistem ekonomi dan politik yang mampu mewujudkan kesejahteraan orang perorang. Dalam sistem Islam kesejahteraan pun terwujud secara merata. Negara Islam memiliki dana yang cukup untuk mensejahterakan rakyatnya, termasuk menyantuni fakir miskin dengan sistem ekonomi Islam dan dengan adanya 12 pos pemasukan, yang diantaranya adalah fai’, khumus, kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, dan tentu saja, zakat.


Dengan penerapan syariah kafah dalam negara, kaum ibu akan sehat jiwa dan raganya sehingga menyayangi anak-anaknya dan mengasuh serta mendidiknya dengan baik. Sehingga tidak akan ada lagi kasus-kasus ibu membunuh anaknya. Tampak jelas hanya Islam satu-satunya solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan ini. Wallahualam bissawab. [GSM]