Alt Title

Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 11)

Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 11)

Dengan perasaan malu, karena aib keluarganya harus dibuka kembali, mau tidak mau Umar sebagai pemimpin di rumah menceritakan kejadian yang menimpa kakaknya dari awal sampai akhir

______________________________


Penulis Rumaisha

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, CERBUNG - Umar baru saja selesai menyampaikan pelajaran agamanya, ketika pintu kelas diketuk dari luar.

"Iya, masuk!"

"Permisi, Pak. Bapak dipanggil sama Pak Burhan di ruangannya," kata Udin, penjaga sekolah.

"Oh, iya, sebentar saya ke sana."

"Anak-anak karena pelajaran sudah selesai, kita akhiri sampai di sini. Jangan lupa PR-nya dikerjakan. Kalian nanti harus mencari bukti bahwa Allah itu ada."

"Siap, Pak." Mereka menjawab serentak.

Sepanjang perjalanan menuju ruang kepala sekolah, Umar berpikir apa sebenarnya yang ingin dibicarakan oleh Pak Burhan. Baru kali ini, ia dipanggil secara resmi.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Iya, masuk."

Setelah mendapat izin duduk, Umar pun duduk berhadap-hadapan.

"Iya, Pak. Makasih. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Umar dengan merendah.

"Sebenarnya, saya sudah lama ingin ngobrol. Ada beberapa hal yang ingin minta konfirmasinya. Pertama, ada seorang guru yang pernah mendengar ketika Bapak mengajar, mengatakan bahwa agama yang benar itu hanya Islam. Sedangkan, kita mengetahui agama yang diakui di negara ini ada lima dan semuanya mengajarkan kebaikan. Kedua, saya juga mendengar, Bapak ikut aksi waktu ke Bandung yang menyuarakan tentang khilafah, padahal jelas khilafah dilarang di negeri ini karena akan merusak bangunan negara yang sudah dibangun oleh para pendahulu kita. Apakah informasi ini benar?" tanya Burhan sambil menatap tajam.

Umar kaget ditanya mendadak seperti itu. Umar menduga, ada orang yang memata-matainya selama ini. Tapi, ia tetap bersikap tenang. Umar menarik napas panjang sebelum menjawab.

"Terus di mana salahnya kalau saya bilang seperti itu? Kan sudah jelas di dalam Al-Qur'an yang mulia disebutkan bahwa agama yang benar dan diridai Allah adalah Islam. Selain Islam batil. Sikap ini yang seharusnya diyakini oleh umat Islam, karena ini menyangkut akidah."

Umar berhenti sebentar sebelum melanjutkan kata-katanya. Ia ingin tahu bagaimana respon Pak Burhan. Tetapi, sikapnya biasa aja belum menunjukkan perubahan yang signifikan.

"Pertanyaan kedua, tentang menyuarakan khilafah. Sepemahaman saya yang fakir, khilafah itu adalah sistem pemerintahan yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Khilafah itu artinya kepemimpinan umum bagi umat Islam seluruh dunia. Umat Islam wajib hukumnya untuk berada di bawah satu kepemimpinan, tidak boleh banyak. Khilafah juga ajaran Islam, sama seperti ajaran Islam yang lainnya seperti salat, bayar zakat, menutup aurat bagi perempuan, akhlak dan ajaran Islam lainnya. Semuanya wajib kita tunaikan. Tidak boleh menunda dan memilih. Karena Islam itu aturan dan solusi bagi seluruh permasalahan manusia."

"Kamu, baru punya ilmu sedikit, sudah sombong," tukas Burhan dengan nada mulai naik.

"Maaf, Pak. Bukan maksud saya seperti itu. Saya yakin, Bapak lebih paham tentang isi Al-Qur'an karena Bapak seorang tahfiz."

"Tapi, kan ini sekolah. Saya enggak mau nanti, sekolah ini dicap radikal, intoleran karena ada oknum satu orang guru yang mempunyai pemahaman nyeleneh, mengajarkan intoleransi dan ajaran sesat."

"Innaa lillahi," gumam Umar hampir tidak terdengar.

"Pokoknya, kalau Bapak masih mau mengajar di sini, jangan ajarkan lagi pemahaman yang bertentangan dengan kurikulum. Kalau enggak, Bapak terima sendiri akibatnya. Pikirkan itu!" Burhan menutup obrolannya.

Umar keluar dari ruangan Pak Burhan dengan pikiran tak menentu. Di satu sisi, ia bingung, langkah apa yang harus diambil. Di sisi lain, Umar bersyukur, Allah sudah memberikan kesempatan dengan memberi fasilitas dakwah gratis terkait akidah dan khilafah. Apalagi kepada orang nomor wahid di sekolah ini. Ketika Allah Swt. sudah berkehendak, tidak ada satu pun yang bisa menghalanginya. Umar paham, tidak ada sehelai daun pun yang jatuh dari pohon, kecuali atas izin-Nya. 

Setelah salat Asar, Umar pulang ke rumah seperti biasa. Dari kejauhan, ia melihat banyak orang yang berkerumun di depan rumahnya. Umar mempercepat laju kendaraannya. "Jangan-jangan, Ibu ...," pikirnya.

"Aku berhak mengambil anak ini, dia anakku. Darah dagingku!" nada bicaranya keras.

"Bukan, ini anakku. Aku yang melahirkannya."

Di belakang warga yang berkerumun bertanya kepada teman dekatnya.

"Emang, Si Nurul kapan nikahnya, tahu-tahu sudah punya anak?"

"Wah, ini pasti anak haram."

"Eh, parahnya, yang aku dengar, pacarnya itu orang kristen."

"Hhmm, kasihan ya, keluarganya, padahal bapaknya baru meninggal."

Itulah lontaran-lontaran dari warga kampung yang sungguh membuat telinga Umar memerah.

"Oh, ternyata kamu. Berani-beraninya kamu ke rumah ini lagi setelah menipu dan menjebak kakak saya atas nama cinta," kata Umar sambil merangsek memukul Rafael.

"Sudah, sudah. Kita bisa bicarakan baik-baik, tidak boleh main hakim sendiri," kata Pak Danang, ketua RT di mana Umar tinggal.

Sementara, Nurul memegang anaknya dengan erat. Ia duluan masuk ke dalam rumah ditemani Irma. Walaupun Irma masih marah kepada anaknya itu, ia juga tidak rela kalau cucunya dibawa oleh Rafael. Biarkan dosa di masa lalu terkubur bersama penyesalan yang paling dalam.

Semua masuk ke dalam. Diikuti oleh Rafael dan seorang temannya. Sedangkan tetangga lain yang tadi berkumpul membubarkan diri setelah Pak Danang memberi penjelasan.

"Nah, sekarang ceritakan apa yang terjadi sesungguhnya?"

Dengan perasaan malu, karena aib keluarganya harus dibuka kembali, mau tidak mau Umar sebagai pemimpin di rumah menceritakan kejadian yang menimpa kakaknya dari awal sampai akhir.

Pak Danang menyimak, sesekali kepalanya manggut-manggut. Ia harus berusaha bijak untuk menyelesaikan masalah ini.

"Oh, begitu ceritanya."

"Nak, Rafael, setahu Bapak sebagai muslim, anak yang masih menyusui itu wajib bersama ibunya, tidak boleh dipisahkan. Kewajiban si ibu untuk menyusui sampai dua tahun tidak bisa digantikan perannya oleh siapa pun. Kalau sama sampean, siapa nanti yang akan memberikan ASI-nya?"

"Itu mah mudah, Pak. Beri saja ia susu formula," jawab Rafael setengah memaksa.

"Bukan masalah mudah atau sulit, ini masalah keyakinan agama kami. Bapak yakin, sampean sanggup membelinya. Tapi, kita juga tahu bahwa ASI adalah asupan gizi terbaik bagi si bayi."

"Dia telah menjebak kakak saya, Pak. Didekati, diambil hatinya, ketika korban terpedaya, dia menjaga pahlawan, dan berjanji akan menikahi, tetapi ternyata dia memaksa kakak saya untuk murtad."

Wajah Umar memerah seperti udang rebus.

"Sudah! tidak ada artinya bertengkar, toh semua sudah terjadi dan tidak akan mengembalikan keadaan. Nasi sudah menjadi bubur. Kita ambil pelajaran dari kejadian ini. Untuk kamu, siapa namamu, Rafael ya, tenang saja. Pulanglah! Saya selaku RT, tidak mau ada kekerasan nantinya."

Walaupun masih dongkol karena maksudnya tidak kesampaian, Rafael akhirnya pulang. Dalam hatinya, ia sudah merencanakan sesuatu, biarlah ia mengalah untuk menang. [SJ] 


Bersambung