Alt Title

Ada Apa di Balik Revisi UU ITE?

Ada Apa di Balik Revisi UU ITE?

 


Sekali terjerat Undang-Undang ITE, kritik dapat dibungkam, suara oposisi berkurang, pada akhirnya kebijakan pun melenggang tanpa hambatan

Lain hal dengan rakyat rakyat yang kritis. Ketika anda bicara itu kebebasan. Akan tetapi, saat anda dilaporkan, mereka akan bilang hukum harus ditegakkan melalui penerapan Undang-Undang ITE

_________________________


Penulis Ranti Nuarita, S.Sos.

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.COM, OPINI - Mengutip dari Tirto[dot]id, Minggu (7/1/2024) baru-baru ini Presiden Joko Widodo telah resmi menandatangani Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024, tentang perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2028, Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan demikian regulasi yang kerap disalahgunakan tersebab “pasal karet” ini kini resmi berlaku. Adapun menurut informasi dari laman Sekneg, alasan merevisi UU ITE adalah karena keberatan publik dalam penerapan aturan pidana di dalam UU ITE sebelumnya.


Perubahan atau revisi jilid II atas Undang-Undang ITE dipandang masih banyak mengandung pasal bermasalah, yang dapat menjadi pasal karet. Di mana pasal karet tersebut dapat dimainkan untuk menyerang pihak tertentu.


Ya, memang salah satu yang menjadi PR besar Undang-Undang ITE selama ini ialah adanya pasal-pasal karet. Pasal karet tersebut di antaranya perihal pencemaran nama baik dan ancaman pribadi. 


Misalnya, pasal tentang pencemaran nama baik sendiri ada pada pasal 27. Pasal tersebut sudah menjadi salah satu pasal karet Undang-Undang ITE sejak versi I, kemudian mengalami sejumlah perubahan mulai dari awalnya memiliki empat ayat menjadi hanya dua ayat. Ayat yang mengatur penghinaan ataupun pencemaran nama baik juga pemerasan atau pengancaman dihapus. 


Akan tetapi, ada dua pasal baru yang mengatur hal serupa, yakni pada pasal 27A dan 27B yang berbunyi: 

Setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan, atau nama baik orang lain,  dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, yang dilakukan melalui Sistem Elektronik." Sedangkan untuk pasal 27B itu mengatur larangan mengancam orang lain menggunakan saluran elektronik.


Adapun untuk pasal karet ancaman pribadi, revisi Undang-Undang ITE mengubah ketentuan pasal karet lainnya, yakni pasal 29 yang awalnya pasal tersebut mengatur tentang ancaman kekerasan yang ditujukan secara pribadi. 


Sementara revisinya menghilangkan ketentuan “pribadi”. Dengan demikian, pasal 29 di Undang-Undang ITE jilid II berubah menjadi: “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mengirimkan Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik,  secara langsung kepada korban, yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti.”


Sebetulnya siapa yang diuntungkan dari revisi Undang-Undang ITE ini? Tentu, perlu kita ketahui mereka yang merasa diuntungkan dengan kehadiran revisi jilid II Undang-Undang ITE ini adalah pemerintah, pengusaha, dan pejabat negara. Undang-Undang ITE itu ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. 


Sekali terjerat Undang-Undang ITE, kritik dapat dibungkam, suara oposisi berkurang, pada akhirnya kebijakan pun melenggang tanpa hambatan. Lain hal dengan rakyat rakyat yang kritis. Ketika anda bicara itu kebebasan. Akan tetapi, saat anda dilaporkan, mereka akan bilang hukum harus ditegakkan melalui penerapan Undang-Undang ITE.


Ya betul, kebebasan berpendapat memang dilindungi undang-undang. Namun, saat seseorang berpendapat, Undang-Undang ITE seakan siap menghadang. Sungguh sebetulnya perlu kita sadari bahwa pasal karet sangat membuka peluang terjadinya kriminalisasi lawan politik. Belum cukup sampai di situ pasal karet juga sangat mungkin menjadikan umat Islam yang selalu dijadikan sebagai tertuduh. 


Bongkar pasang Undang-Undang,  sebagaimana revisi jilid II Undang-Undang ITE ini sebetulnya, bukanlah hal baru. Ya karena memang hal yang demikian itu sudah biasa terjadi di dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme beserta turunannya demokrasi. Karena sistem ini senantiasa berlandaskan kepada kemanfaatan juga berjalan demi memuluskan berbagai kepentingan, hingga melanggengkan kekuasaan.


Akibatnya, standar benar juga salah menjadi samar serta tidak jelas. Begitu pun dengan fungsi teknologi informasi. Di mana teknologi yang semestinya memudahkan urusan hajat hidup manusia, pada faktanya di tangan sistem kapitalisme malah disetir. Dijadikan alat legalisasi represifisme oleh penguasa. Inilah yang tidak boleh terjadi. 


Persolan kali ini menunjukkan hipokrisi demokrasi. Wajah asli demokrasi semakin hari, semakin terlihat busuknya. Sistem pemerintahan yang lahir dari ideologi kapitalisme sekularisme ini jelas rusak dan tidak akan memihak rakyat. Kembali lagi harus diingat di dalam demokrasi kebijakan hanya dibuat untuk kepentingan para penguasa, pejabat, dan yang lebih utama ialah oligarki pemilik modal, bukan kepentingan rakyatnya.


Kondisi ini sungguh sangat berbeda dengan strategi penggunaan teknologi informasi dalam sistem Islam. Di dalam Islam teknologi informasi digunakan sebagai sarana dakwah juga penyampai kebenaran. Di dalam sistem Islam  penguasa yang bertakwa akan bertanggung jawab juga berperan menerapkan aturan Allah Swt. secara menyeluruh (kafah).


Dalam bidang teknologi informasi di dalam negara yang menerapkan sistem Islam juga  tidak akan digunakan untuk tindakan spionase kepada rakyat hanya demi kepentingan yang tidak syar'i, sebab aktivitas memata-matai sesama muslim adalah sebuah keharaman. 


Hal ini merupakan perwujudan dari dalil Al-Qur'an, Allah Swt.  berfirman di dalam QS. Al-Hujurat :12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.”


Belum cukup sampai di situ, teknologi informasi beserta sarana media lainnya dalam negara yang menerapkan sistem Islam  akan difungsikan secara strategis untuk mencerdaskan umat. Penyalur aspirasi rakyat, hingga menjadi alat muhasabah dari rakyat kepada para pejabat perangkat negara. Di dalam Islam penyampaian pendapat oleh rakyat ialah untuk menegakkan keadilan juga menjaga agar jalannya pemerintahan  terhindar dari kezaliman.


Pemimpin dalam Islam pun tidak antikritik, sebab mereka sadar bahwa jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah Swt.. Sebagaimana kisah mashur pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Ketika ada seorang perempuan yang mengkritik kebijakan khalifah terkait pembatasan mahar dan dia membenarkan kritik tersebut dengan lapang dada. Bahkan Umar berpesan, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan aku walaupun dengan pedang.”


Sungguh sejatinya, hanya sistem Islam yang akan memposisikan teknologi informasi juga media sebagai sarana untuk berperan aktif dan menjaga semua elemen masyarakat agar senantiasa dalam keridaan Allah Swt.. Dan hanya dalam Islam kita akan menjumpai pemimpin yang tidak antikritik. Maka, menjadi PR kita hari ini untuk mewujudkan agar sistem Islam dapat kembali tegak di dalam sebuah bingkai institusi negara. Wallahualam bissawab. [GSM]