Alt Title

Waspada Pecah Belah Rakyat dalam Masa Kampanye

Waspada Pecah Belah Rakyat dalam Masa Kampanye

Kondisi ini rawan menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Konflik tersebut menguatkan bahwa pemilu dalam sistem demokrasi penuh intrik, tipu-tipu, dan lain-lain

Modus-modus kecurangan bukan hanya anomali demokrasi, tapi berdasarkan prinsip demokrasi

_____________________________________


Penulis Rika Ummu Arfa

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tidak lama lagi tepatnya tanggal 14 Februari 2024, Indonesia akan menggelar pesta demokrasi.


Kampanye dimulai sejak tanggal 28 November 2023-10 Februari 2024, sebagaimana dilansir dari Jambi Bawaslu[dot]go[dot]id (Senin, 27 November 2024), bahwa Bawaslu Provinsi Jambi memberikan kesempatan kepada peserta pemilu, partai politik termasuk calon anggota legislatif (caleg) di dalamnya dan tak lupa juga DPR untuk melakukan kampanye.


Tapi dalam pelaksanaan kampanye ini Bawaslu mengingatkan agar peserta pemilu untuk menaati aturan yang berlaku dalam melaksanakan kampanye sesuai dengan UU No. 7/2017 dan PKPU No. 15/2023.


Kampanye menurut PKPU dalam beberapa tahapan, hanya saja untuk kampanye di media cetak, media sosial dan sebagainya belum boleh dilakukan. Bahkan ada jadwal khusus untuk melakukannya. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi pidana.


Pada 6 Desember lalu Bawaslu kota Surabaya mencatat ada banyak pelanggaran alat peraga kampanye. Pada saat kampanye masing-masing meraih perhatian massa. Parahnya demi mendapatkan simpati dan suara umat juga meraih kemenangan berbagai cara yang penuh kecurangan ditempuh seperti pencitraan, black campaign, dan lain-lain.


Kondisi ini rawan menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Konflik tersebut menguatkan bahwa pemilu dalam sistem demokrasi penuh intrik, tipu-tipu, dan lain-lain. Modus-modus kecurangan bukan hanya anomali demokrasi, tapi berdasarkan prinsip demokrasi.


Demokrasi menetapkan bahwa manusia memiliki hak dalam kedaulatan, di mana manusia menetapkan sendiri aturan dalam kehidupan, serta  memiliki hak dalam kekuasaan yaitu memilih sendiri penguasanya melalui pemilihan.


Oleh karena itu, orang-orang barat mencampuradukkan antara kekuasaan, kedaulatan dan kewenangan. Sehingga manusia punya hak untuk memilih siapa yang memimpin dan dengan sistem apa akan memimpin, artinya mutlak bahwa kedaulatan benar-benar di tangan manusia.


Dalam pandangan barat sendiri tidak ada kedaulatan penuh pada manuia, karena aturan ditetapkan oleh segelintir orang. Barat menjadikan kekuasaan atas rakyat karena rakyat yang memilih penguasa secara langsung dan bebas.


Padahal secara realistis, pemilihan disetir oleh orang-orang yang berkuasa dan memiliki modal untuk menentukan siapa yang akan berkuasa dengan memengaruhi opini publik. Mengarahkan siapa yang mereka inginkan dan hanya mereka yang memiliki modal untuk membiayai pemilu yang mahal.


Sehingga tidak ada sejatinya kedaulatan di tangan rakyat pada sistem demokrasi kapitalisme. Yang ada di tangan segelintir orang-orang yang memiliki pengaruh dan modal, partai-partai yang didukung tidak memiliki kapabilitas. Wajar kalau akhirnya cara-cara curang yang ditempuh.


Inilah fakta bobroknya sistem demokrasi kapitalisme yang lahir dari pemisahan agama dalam kehidupan atau sekuler. Karena itu, aturan Islam tidak pernah diberi ruang untuk negara. Wajar kalau cara-cara curang akan dilakukan, walaupun adanya risiko konflik di tengah-tengah masyarakat.


Berbeda dengan Islam yang memandang bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.. Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin terbaik. Dengan asas akidah Islam, pelaksanaan akan tertib dan lancar serta penuh kebaikan, termasuk dalam interaksi warga. 


Landasan akidah Islam memastikan praktik pemilu memenuhi syarat yang ditetapkan Islam. Kebolehan pemilu dalam Islam disebabkan karena Asy-Syari (Allah), telah meletakkan kekuasaan sebuah negara pada tangan umat.


Namun Islam menetapkan bahwa kedaulatan bukan di tangan umat, akan tetapi di tangan Allah Swt.. Artinya, bahwa pemimpin yang terpilih tidak bisa menetapkan hukum, melainkan hukum dari Allah saja. Bukan hukum yang disepakati pemilik modal seperti dalam demokrasi kapitalisme.


Sebab politik dalam Islam sejatinya adalah riayah su’unil umah (pengurusan urusan umat). Siapa pun yang terpilih, maka seharusnya mengurusi urusan umat bukan pengurusan segelintir orang.


Sungguh hanya pemilihan dalam sistem Islam yang mampu membawa kebaikan di tengah-tengah umat. Wallahu alam bissawab. [SJ]