Alt Title

ODGJ Diberi Hak Pilih dalam Pemilu, Waraskah?

ODGJ Diberi Hak Pilih dalam Pemilu, Waraskah?


Kebijakan ini sebenarnya tidak berkaitan dengan penghormatan atas hak politik bagi ODGJ. Akan tetapi ini berkaitan dengan politisasi ODGJ oleh pihak-pihak tertentu demi meraih suara terbanyak agar bisa memuluskan kepentingannya untuk duduk dalam tampuk kekuasaan

Watak demokrasi makin menunjukkan kecacatannya, masihkah kita mau mempertahankannya?

______________________________


Penulis Elin Nurlina

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sungguh memprihatinkan dunia perpolitikan dalam sistem demokrasi. Dari waktu ke waktu makin menunjukkan betapa cacatnya sistem ini. Lihat saja, demi mendulang suara, ODGJ pun akan diberi kesempatan untuk memberikan hak pilihnya dalam pemilu 2024 nanti.


Berdasarkan data yang didapat, bahwa dua puluh ribuan lebih penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa masuk dalam DPT DKI Jakarta. (CNNIndonesia, 12/12/2023)


Anggota Divisi Data dan Informasi KPU DKI Jakarta Fahmi Zikrillah mengatakan bahwa DPT secara keseluruhan untuk pemilu 2024 berjumlah 8.252.897 pemilih.


Dari data keseluruhan jumlah pemilih tersebut di antaranya penyandang disabilitas mental atau ODGJ (Antara, Selasa 12/12/2023). Ternyata bukan hanya di DKI saja, di sejumlah wilayah lain pun ODGJ akan diberikan hak yang sama sebagai DPT pemilu 2024 mendatang. 


Begitulah sistem politik dalam demokrasi. Pemilih menjadi sosok yang berarti bak barang berharga yang tak ternilai harganya. Mereka begitu dicari-cari, mereka akan diiming-imingi dengan “sesuatu” bahkan kalau bisa suara mereka akan dibeli demi kepentingan beberapa pihak.


Tentu saja, upaya tersebut dilakukan karena suara mereka akan menentukan nasib para kontestan pemilu. Dalam sistem demokrasi, pemenang pemilu adalah mereka yang mendapatkan suara terbanyak. Maka tak heran para pemilih menjadi objek sasaran para kontestan demi memenangkan suaranya. Berbagai upaya pun dilakukan untuk memikat sang pemilih.


UU dalam sistem demokrasi bisa diubah sedemikian rupa demi kepentingan segelintir orang bukan sebuah hal yang aneh lagi. Padahal pada awalnya, dalam UU pemilu, ODGJ tidak dimasukkan sebagai pemilih.


Sangat jelas kalau kita mau telusuri bahwa dalam UU pemilu tersebut ada beberapa syarat yang memang harus dipenuhi oleh pemilih salah satunya adalah pemilih tidak sedang mengalami gangguan jiwa maupun gangguan ingatannya. Artinya pemilih harus dalam keadaan sehat akalnya.


Namun beberapa tahun belakangan, tepatnya dimulai pada pemilu tahun 2014 syarat tersebut menimbulkan polemik dan kembali menjadi sebuah perbincangan publik menjelang pemilu tahun 2019.


Pada tahun 2019, MK menegaskan syarat tidak sedang mengalami gangguan jiwa atau ingatan bertentangan dengan konstitusi sepanjang frasa sedang terganggu jiwa dan ingatan tidak dimaknai sebagai gangguan jiwa atau ingatan secara permanen. Dari sinilah keputusan tersebut menjadi pedoman KPU untuk menetapkan ODGJ diberi hak yang sama untuk memilih. 


Sebenarnya aneh menjadikan ODGJ sebagai pemilih walaupun mereka berbicara atas nama hak politik setiap warga. Apalagi selama ini ada standar ganda di negeri ini dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Seolah memberi perlakuan yang berbeda terhadap perkara yang lain.


Masih teringat dalam benak kita ketika muncul kasus kriminalisasi terhadap beberapa ulama. Langsung dicap bahwa pelaku yang melakukan teror terhadap ulama tersebut dianggap ODGJ. Tentu dalam UU yang berlaku, ODGJ bebas dari yang namanya sanksi.


Namun ketika menjelang pemilu, ODGJ justru dimanfaatkan untuk diambil suaranya. Jelas sudah dengan negara mengakui ODGJ, menunjukkan bahwa negara tidak memahami konsekuensi aktivitas-aktivitasnya dan tidak mampu berpikir benar, mana yang layak dan mana yang tidak. 


Oleh karena itu, kebijakan ini sebenarnya tidak berkaitan dengan penghormatan atas hak politik bagi ODGJ. Akan tetapi ini berkaitan dengan politisasi ODGJ oleh pihak-pihak tertentu demi meraih suara terbanyak agar bisa memuluskan kepentingannya untuk duduk dalam tampuk kekuasaan. Watak demokrasi makin menunjukkan kecacatannya, masihkah kita mau mempertahankannya?


Islam memfungsikan akal sebagaimana tujuan akal diciptakan oleh Allah. Untuk memahami hakikat hidup sebagai hamba Allah dan memahami Al-Qur'an sebagai petunjuk hidup manusia. ODGJ dalam Islam diakui sebagai makhluk Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya, tetapi tidak mendapatkan beban amanah termasuk dalam memilih pemimpin.


Maka dalam masa sistem kepemimpinan Islam sangat jarang ditemui adanya ODGJ seperti halnya saat ini yang makin menjamur bak musim semi. Sebab kebutuhan rakyatnya baik sandang, pangan maupun papannya dalam pemerintahan Islam sangat tercukupi dengan baik. Kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya terjamin dengan sangat baik. Tentu keadaan ini tidak akan memunculkan stres maupun depresi sebab apa pun itu sudah terjamin. 


Islam pun memiliki mekanisme pemilihan pejabat dan wakil umat dengan cara yang sederhana, murah meriah dan masuk akal. Semua itu dilakukan demi menegakkan aturan Allah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak bukan demi kekuasaan semata. Wallahualam bissawab. [SJ]