Alt Title

Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 9)

Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 9)

 


Perasaan itu terkadang masih ada di dalam hatinya

Nasionalisme sudah mengakar dalam diri setiap muslim termasuk dirinya. Setiap ketemu dengan orang Indonesia lagi, rasanya senang karena merasa satu bangsa yang sama

______________________________


Penulis Rumaisha

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, CERBUNG - Serombongan turis memasuki Silk Market. Mereka melihat-lihat pajangan aksesoris yang terpajang. Kebanyakan yang dibeli oleh mereka adalah pernak-pernik yang ada evil eye-nya, baik berupa gantungan kunci atau gantungan tas. Mereka membelinya sebagai oleh-oleh untuk kerabatnya.


Bukan sekadar oleh-oleh khas Turki, liontin biru ini menurut kepercayaan Turki memiliki makna khusus yang diyakini sebagai jimat pelindung. Liontin ini dipercayai dapat melindungi penggunanya dari energi-energi negatif dan kekuatan jahat.


Padahal, Diyanet, otoritas urusan agama pemerintah Turki telah menerbitkan pendapat agama yang mengatakan bahwa jimat berbentuk mata setan (evil eye) yang terkenal dalam tradisional Turki, bertentangan dengan Islam.


"Apakah, Anda dari Indonesia?" tanya Fatimah kepada seorang Ibu yang sedang asyik memilih.


"Iya. Kamu bisa berbahasa Indonesia?"


"Saya dari Indonesia juga, Bu. Saya sedang menuntut ilmu di sini. Ketika sedang tidak kuliah, saya bekerja paruh waktu. Senang bisa bertemu denganmu," tukas Fatimah.


Perasaan itu terkadang masih ada di dalam hatinya. Nasionalisme sudah mengakar dalam diri setiap muslim termasuk dirinya. Setiap ketemu dengan orang Indonesia lagi, rasanya senang karena merasa satu bangsa yang sama.


Tetapi, ketika kita pergi ke negara lain, kita merasa asing bertemu dengan mereka, padahal mereka sama-sama berakidah Islam. Paham nasionalisme inilah yang telah mencerai-beraikan umat yang dulunya hidup di bawah naungan yang sama, Daulah Khilafah Islam.


"Ya Allah, maafkan hambamu," gumam Fatimah sambil melirik kepada Ayla, saudara satu akidah walaupun berbeda negara.


"Coba tanya lagi, apakah dia dari Bali?" bisik Ayla.


"Bali itu luas, Ayla. Belum tentu mereka tahu alamat saudaramu. Kamu sendiri kan belum tahu alamatnya dengan jelas."


Ayla terdiam. Ada kesedihan terlihat di matanya, padahal sebelumnya ada rona bahagia ketika disebut nama Indonesia.


"Tenang saja, nanti aku bantu."


"Kamu masih ingat, mungkin masih ada saudara dari anakmu itu?" tanya Fatimah.


"Oh, iya. Kenapa aku enggak kepikiran ke sana. Tapi, kami sudah lama putus silaturahmi."


"Berdoa saja, yakinlah ketika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada satu pun manusia yang bisa menghalanginya," Fatimah memberi harapan.


Sejak saat itu, tidak ada yang dilakukan oleh Ayla kecuali menanamkan keyakinan dan ikhtiar. Iya mulai mendata kembali dalam memorinya satu persatu saudara dari suami pertamanya, yang paling dia ingat adalah sosok yang telah mengadopsi anaknya.


Lagi asyik-asyiknya merenung, tiba-tiba ada seseorang yang menyapanya, 


"Hai, kamu Ayla, kan? Apa kabar?" Laki-laki dengan badan tinggi dan tegap menyapanya dengan bahasa Turki yang kental.


"Eh, ii ... iya. Siapa ya, aku lupa."


"Aku Deniz, masa kamu lupa. Aku adiknya Ravza, masih ingat?"


"Masyaallah, senang banget ketemu sama kamu," kata Ayla.


"Gimana kabarmu?" tanya Deniz.


"Alhamdulillah, beginilah aku harus bekerja untuk tetap bertahan hidup."


"Sebetulnya, aku ingin ngobrol sama kamu panjang lebar, tapi ditunggu sama rombongan tuh. Aku jadi guide sekarang. Ini kartu namaku, nanti kita ngobrol lebih banyak lagi. Eh, tapi malam ini dan besok aku masih di Bursa, kalau ada waktu chat aja, nanti kita janjian," kata Deniz, sambil lari keluar. 


"Siapa dia, aku kurang mengerti tentang apa yang kalian bicarakan," tanya Fatimah.


Ayla menceritakan obrolannya dengan laki-laki tadi. Walaupun sudah lama tidak bertemu, tapi Deniz masih mengenali dirinya. Mungkin karena usianya tidak jauh berbeda ketika ia menikah.


"Terus kamu mau janjian, kapan, berdua saja?" tanya Fatimah.


"Iya, aku ingin cepat mengetahui kabar tentang anakku."


"Tapi kan kamu sendiri, berdua sama dia. Dalam Islam khalwat itu dilarang," kata Fatimah.


"Apa itu khalwat? Aku baru mendengarnya."


"Khalwat itu, ketika seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan tanpa ada mahram bersamanya," papar Fatimah.


"Sebegitu ketatkah aturan dalam Islam? Rasanya segala enggak boleh. Aku sendiri dari dulu muslim, tapi baru kali ini mendengar istilah itu."


"Wajar, Ukhti. Ketika lahir kita sudah berada dalam sistem sekuler. Turki atau di Indonesia sendiri sebagai mayoritas muslim tapi sama saja sekuler. Terlebih Turki, Kemal Attaturk telah merubah wajah Turki menjadi negeri yang bebas, padahal dulu di sini pernah berdiri sebuah pemerintahan Islam yang mengatur seluruh urusan kaum muslimin sedunia," papar Fatimah panjang lebar.


"Ya ya, aku pernah dengar sekilas tentang hal itu. Terus gimana, sedangkan aku tidak punya siapa-siapa yang bisa menemani."


"Gini aja. Nanti aku sama suamiku akan menemani, tapi tidak sekarang. Kamu tanyain aja, kapan dia ada waktu lagi," kata Fatimah.


"Oh, Ok. Syukron Ukhti."


Ayla pulang lebih dulu, sementara Fatimah masih menunggu suaminya untuk menjemput.


"Assalamualaikum." Ayla langsung masuk ke dalam rumah seperti biasa. Ia mendapati ibunya tidak ada di ruang tamu.


"Anne ... Anne di mana?"


Sepi mencekam. Tidak ada sahutan. Ayla makin cemas, ia langsung ke kamar ibunya.


"Innaa lillahi ... Anne kenapa?" Ayla mengguncang tubuh ibunya yang tersungkur di lantai.


"Enggak apa-apa, Anne tadi agak pusing, mungkin karena efek darah rendah aja."


"Ya, sudah, nanti aku buatkan tea sultan hangat setelah itu istirahat biar badannya bugar kembali," kata Ayla sambil membaringkan ibunya.


Konon, tea sultan ini adalah minuman yang biasa dikonsumsi oleh para sultan di masa kekhilafahan Utsmani. Rasanya seperti rempah-rempah dan hangat di tenggorokan.


"Makasih, ya, Nak, kamu sungguh baik. Apa jadinya Anne kalau tidak ada kamu. Anak satu-satunya sudah meninggalkan Anne untuk selamanya." 


"Enggak apa-apa, Anne. Aku juga kan sama anakmu juga. Aku bersyukur masih punya seorang ibu," ucap Ayla sambil memeluk ibunya. Kedua matanya berkaca-kaca, mereka merasakan hal yang sama.


Setelah ibunya terlelap, Ayla baru masuk ke kamarnya.


Usai mengambil air wudu, Ayla melaksanakan salat Isya. Dalam sujud panjangnya, ia berdoa atas apa yang dialaminya tadi siang. Gambaran tentang keberadaan anaknya mulai menampakkan titik terang. "Ya, Rabb, Engkaulah tempat hamba memohon. Pertemukan dengan anak hamba atas izin-Mu, Wahai Zat yang Maha berkuasa."


Ayla membuka mushafnya. Sudah lama sekali ia tidak pernah membuka surat cinta ini. Surat cinta dari seorang Pencipta kepada makhluknya yang berisi tentang aturan-Nya agar hambanya selamat di dunia dan surga balasan di akhirat kelak.


Bersyukur sekali bisa bertemu dengan Fatimah, yang selalu mengingatkan dan memberinya ilmu tentang Islam sebagai aturan dan solusi bagi seluruh problem kehidupan.


Ayla mengambil gadgetnya dari tas. Ia lupa untuk menanyakan sesuatu.


[Assalamualaikum. Deniz, bisakah besok malam kita ketemu di Green Mosque, sesudah salat Magrib?"]


Lama menunggu balasan, sampai ia tertidur di atas sajadah menjelang fajar. Ia mengecek ponselnya.


[Ok, aku datang]


Ayla menyampaikan kabar baik itu kepada Fatimah. Ia langsung mendapatkan jawabannya.


[Ok, suamiku siap menemani, setelah aku menceritakan masalahmu]


Waktu yang dinanti pun akhirnya tiba. Setelah mereka melakukan salat Magrib berjamaah, Ayla mencari sosok yang dinantinya, tetapi belum juga kelihatan batang hidungnya.


"Tenang saja, mungkin ia ada keperluan dulu," ucap Fatimah, ia tahu kegelisahannya yang dirasakan temannya itu.


"Maaf, agak telat." Seseorang muncul tiba-tiba di hadapannya.


"Aduh, aku khawatir sekali kamu tidak datang."


Setelah menanyakan kabar seperlunya, Ayla langsung menanyakan kabar tentang anaknya yang diadopsi oleh kakak Deniz. 


"Setahu aku tidak lama setelah itu, kira-kira anakmu berumur enam bulan mereka pindah ke Indonesia mengikuti suaminya. Aku sendiri hanya berkabar lewat medsos. Terakhir aku dengar Ravza dan anakmu pindah agama, mengikuti suaminya, pemeluk Nasrani."


"Innaa lillahi, kok bisa seperti itu," jerit Ayla. Dadanya berdegup kencang, badannya menggigil. Walaupun ia bukan pemeluk Islam yang baik, tapi ia paham apa itu murtad dan dosanya. 


Fatimah berusaha untuk menenangkannya.


"Ya, itu hal lumrah, Ayla, itulah yang disebut kebebasan beragama," sahut Deniz dengan tenang.


"Tapi, tidak bagi kami. Menurut pemahaman kami, hanya Islam yang diridai oleh Allah. Dosa besar ketika seseorang pindah keyakinan," kata Rahman, suami Fatimah.


"Oh, saya juga Islam, tapi bukan Islam yang kaku," balas Deniz.


Semua diam. Tidak tepat waktunya kalau dibahas sekarang. Orang yang sudah terlanjur sekuler, harus ngobrol dari akidah dulu. Wajar, Deniz adalah bagian dari masyarakat Turki yang sudah sekuler sejak lahir.


Setelah memberikan info secukupnya dan menjawab semua pertanyaan Ayla, Deniz pamit duluan. 


Tinggallah Ayla dengan sebuah penyesalan setinggi gunung Uhud. 


Rahman menasihatinya dengan kata-kata yang bijak. "Ayla kalau inget tentang sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, di dalamnya disebutkan, 'bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang tuanya yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani, atau Majusi.' Kalau kita lihat faktanya sekarang, itu terjadi pada anakmu, karena anakmu telah dididik oleh orang tuanya yang Nasrani. Tetapi, jangan putus harapan, selama kita berpegang teguh kepada Allah dan berdoa disertai ikhtiar, semoga saja kalian bisa bertemu kembali dalam ketaatan di bawah cahaya Islam." [SJ


-Bersambung-