Alt Title

Generasi dalam Jeratan Judi Online

Generasi dalam Jeratan Judi Online

Dunia anak-anak yang identik dengan dunia bermain, kini tergantikan dengan permainan game yang ada di gawai, selanjutnya dari situlah merambah ke judi online. Bermula dari kesenangan akhirnya berubah menjadi kecanduan yang parah

Keadaan semakin diperparah jika anak-anak diberi sarana dan fasilitas yang memudahkan mereka berselancar di dunia maya tanpa pendampingan orang tua

_________________________________


Penulis Bunda Hanif

Kontributor Media Kuntum Cahaya 




KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Lingkaran setan judi online sudah menjerat siapa saja, tidak hanya orang dewasa tetapi juga menyasar generasi muda yakni para pelajar. Menurut laporan dari PPATK terdapat 2,7 juta orang Indonesia berpenghasilan di bawah Rp100.000 per hari, terlibat judi online. Sebanyak 2,1 juta di antaranya adalah ibu rumah tangga dan pelajar. Berdasarkan data PPATK, transaksi judi online 2017-2023 mencapai lebih dari Rp200 triliun. (Muslimahnews[dot]com, 5/12/2023)


Direktur Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, bentuk aplikasi judi online kebanyakan mirip dengan game online sehingga terjadi gamifikasi perjudian pada era digital. Judi online ini juga menyebabkan kecanduan pada anak, sehingga banyak anak yang harus ditangani oleh dokter spesialis anak, bukan karena kecanduan game atau kesulitan belajar, melainkan karena kecanduan judi online. Sungguh miris melihat kenyataan generasi saat ini terpapar judi online. Bagaimana nasib bangsa ke depannya jika akal, pikiran dan perilaku generasi sudah terpapar judi? 


Terpaparnya anak dengan judi online, merupakan masalah besar yang wajib mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama negara. Jika tidak segera ditangani, tidak dapat kita bayangkan bagaimana nasib generasi ke depannya.


Sedikitnya ada tiga faktor besar yang seharusnya bertanggung jawab terhadap fakta miris ini. Pertama, faktor keluarga. Hari ini kita hidup di dalam sistem sekuler kapitalisme, dimana sistem pendidikan yang diterapkan juga sistem pendidikan sekuler yang tidak membentuk karakter mulia, anak-anak tumbuh pada era digital yang serba bebas. Hal ini merupakan tantangan terberat bagi orang tua. Orang tua yang sibuk tentunya tidak sempat mengawasi anak-anaknya dalam menggunakan gawai, sehingga anak tidak ada kontrol, mereka dapat mengakses apapun di dunia digital. 


Dunia anak-anak yang identik dengan dunia bermain, kini tergantikan dengan permainan game yang ada di gawai, selanjutnya dari situlah merambah ke judi online. Bermula dari kesenangan akhirnya berubah menjadi kecanduan yang parah. Keadaan semakin diperparah jika anak-anak diberi sarana dan fasilitas yang memudahkan mereka berselancar di dunia maya tanpa pendampingan orang tua. 


Baik game maupun judi online, sama-sama berbahaya. Jika sudah sampai kecanduan, anak tidak akan pernah puas. Akibatnya banyak perilaku buruk yang turut menyertainya seperti boros uang, sensitif, emosi meledak-ledak, tidak punya semangat hidup, tidak fokus, semangat belajar menurun, stress, depresi, berbuat kriminal, dan yang paling fatal berujung bunuh diri. 


Kedua, faktor lingkungan atau masyarakat. Masyarakat di sistem kapitalisme cenderung bersifat individualistis. Sikap ini melahirkan rasa tidak peduli terhadap orang lain. Tidak ada pembiasaan menyerukan kebaikan dan mencegah kerusakan. Jika ada kemaksiatan di depan mata, mereka memilih berdiam diri atau bersikap pasif. 


Ketiga, faktor negara. Pengamat keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengatakan bahwa pemerintah mesti menyeriusi persoalan ini karena target judi online bukan lagi orang dewasa, tetapi generasi muda. Jika dibiarkan, Pratama meyakini masa depan mereka bakal hancur. (BBC Indonesia, 27/11/2023)


Ini merupakan tamparan keras bagi negara. Negara harus dapat menjalankan fungsinya sebagai pelindung generasi. Walaupun Kemkominfo sudah melakukan upaya pemblokiran situs hingga rekening pelaku namun faktanya hal tersebut belum mampu memberangus gurita judi online. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen negara masih kurang dalam memberantas hal yang merusak generasi. Sanksi yang diberikan tidak menimbulkan efek jera. Buktinya pelaku judi online justru semakin bertambah banyak. Bahkan, beberapa artis malah menjadi influencer judi online. 


Bagaimana Cara Islam Membentengi Generasi?


Kerusakan generasi akibat judi online, merupakan fakta yang tidak dapat terbantahkan. Inilah potret buruk sistem kehidupan sekuler yang memisahkan agama dalam kehidupan sehari-hari. Islam hanya dipakai untuk urusan ibadah mahdhoh saja, sedangkan dalam kehidupan tidak diterapkan..


Jika kita menengok sejarah masa lalu, sistem dan peradaban Islam telah sukses mencetak generasi gemilang dengan segudang prestasi dunia dan akhirat. Islam telah berhasil mendidik generasi qur’ani, bukan generasi pecandu game atau judi. Islam juga sukses membentengi generasi dari kemaksiatan. Apa rahasianya?


Pertama, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Di lingkungan keluarga, orang tua harus mendidik anak-anaknya menjadi hamba Allah yang taat, tidak bermaksiat dan gemar beribadah. Anak-anak harus mengenal jati dirinya sebagai hamba Allah yang memiliki kewajiban beribadah kepada Allah Taala. Tugas orang tua adalah mendidik anak-anaknya menjadi generasi sholih dan sholihah.


Kedua, masyarakat yang gemar berdakwah. Mereka terbiasa melakukan amar makruf nahi munkar. Tidak tinggal diam atau menoleransi perilaku maksiat di sekitarnya. Suasana keimanan senantiasa terbentuk di tengah-tengah masyarakat, Kondisi inilah yang menyebabkan anak-anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mulia, dan terhindar dari perilaku buruk.


Ketiga, negara menerapkan sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam yang akan membentuk pola pikir dan pola sikap sesuai arahan Islam. Pelajar akan memiliki standar perbuatan berdasarkan Islam. Mereka memilih aktivitas yang Allah ridai bukan aktivitas yang hanya sekedar mendatangkan materi. 


Negara sebagai pelindung rakyatnya akan menutup setiap akses judi online dan melarang konten-konten yang memuat keharaman atau yang tidak bisa memberikan edukasi kepada masyarakat untuk taat. Kampanye kemaksiatan tidak diberikan ruang gerak. Sanksi hukum yang diberlakukan juga menimbulkan efek jera, sehingga para pelaku kemaksiatan akan berpikir ribuan kali sebelum melakukan aksinya.


Selain itu negara juga akan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dengan tiga kemudahan, yakni mudah dalam harga, mudah mencari nafkah dan mudah mengaksesnya. Dengan begitu tidak ada alasan masyarakat terjerat judi online hanya karena masalah ekonomi. 


Namun semua itu tidak dapat terwujud tanpa adanya penerapan Islam secara kafah dalam kehidupan sehari-hari. Sesungguhnya hanya Islam lah satu-satunya solusi dari setiap permasalahan. Wallahualam bissawab. [GSM]