Alt Title

Jalan Pemuda Menuju Perubahan Nyata: Refleksi Peringatan Sumpah Pemuda

Jalan Pemuda Menuju Perubahan Nyata: Refleksi Peringatan Sumpah Pemuda

Imperialisme di alam kapitalistik nyatanya tak hanya menyasar sektor ekonomi. Sektor pendidikan sebagai basis penghasil pemuda pun tak luput dari bencana

Sadar atau tidak, secara perlahan namun pasti, potensi generasi muda dibajak dan dikebiri. Pemuda yang dicita-citakan menjadi agent of change dan pemegang masa depan bangsa justru dibuat sibuk dengan angan-angan pragmatis

__________________________________


Penulis Etik Rosita Sari 

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana 



KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 28 Oktober, Bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-95. Peringatan Sumpah Pemuda tahun ini mengangkat tema “Bersama Memajukan Indonesia”. Menurut Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, tema tersebut diambil dengan harapan bisa menjadi seruan bagi para pemuda untuk bersatu membangun bangsa agar Indonesia dapat menjadi negara maju.


Tak jauh berbeda, dalam akun sosial medianya, Presiden Jokowi juga mengingatkan terkait berkat bonus demografi pada 2030 yang harapannya akan berpeluang baik dalam membantu mewujudkan Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu, ia mengimbau agar rakyat Indonesia termasuk para pemuda bisa bersama-sama bekerja untuk memajukan Indonesia.


Sejatinya, dalam hampir keseluruhan tema peringatan hari besar nasional, pemerintah selalu mengacu pada satu pedoman yang tak lain adalah Visi Indonesia Maju 2045. Visi yang dipaparkan pada HUT Indonesia ke-100 ini menargetkan Indonesia menjadi negara maju dengan perekonomian terbesar keempat atau kelima terbesar di dunia pada 2045.


Sayangnya, standar negara maju ini dengan posisi lima besar perekonomian terbesar justru bertumpu pada target PDB per kapita sebesar US$ 30.000 per tahun per orang yang konon katanya akan diimplementasikan dengan adanya pembangunan ekonomi berkelanjutan. Dengan masih diadopsinya sistem ekonomi kapitalis sebagai standar perekonomian global, bak jauh panggang dari api, negara maju ideal yang berkonsep menyejahterakan rakyat sebenarnya tak akan pernah terjadi.


Hal ini tak lain karena di dalam sistem ekonomi kapitalis, kesejahteraan rakyat per individu bukan menjadi hal prioritas. Fokus kebijakan ekonomi justru bertumpu segelintir angka kuantitatif kenaikan PDB. Sementara itu, peningkatan PDB ini akan signifikan saat investasi dan perdagangan luar negeri (ekspor) meningkat.


Walhasil, saat ini pemerintah berlomba-lomba membuka keran investasi selebar-lebarnya bagi para pemodal. Bahkan tak segan, beberapa regulasi sengaja disunat dengan maksud menciptakan suasana ramah investasi. Tentu, tujuannya tak lain dan tak bukan adalah agar para investor mau berbondong-bondong menanamkan modal. Dampaknya, sudah bisa ditebak. Keuntungan hanya akan berpihak pada para pemilik modal.


Sementara itu, rakyat sebagai inidvidu yang seharusnya mendapat jaminan kesejahteraan, justru hanya mendapat tetesan-tetesan keuntungan tak seberapa. Malahan, kerugian yang harus mereka tanggung jauh lebih besar akibat kerusakan yang diperoleh dari eksploitasi ugal-ugalan atas nama investasi. Inilah yang disebut trickle down effect, dampak nyata dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. 


Tak cukup sampai di situ, penguatan ekspor yang digadang-gadang menjadi program andalan pemerintah seolah menguap begitu saja. Faktanya, pemerintah justru banyak mengandalkan aktivitas impor, termasuk pada komoditas-komoditas strategi seperti pangan, pupuk dan lain sebagainya.


Walakhir, mau tak mau, para petani lokal dan rakyat kecil harus bersaing dengan derasnya arus barang-barang impor ini. Tak jarang, banyak dari mereka yang tergulung dan tak dapat bertahan. Ini tentu saja membuat nestapa penderitaan rakyat semakin berlipat lipat.


Alih-alih hidup berkecukupan, kemakmuran yang diharapkan makin mustahil dirasakan. Dengan kondisi demikian, bagaimana mungkin mimpi Indonesia menjadi negara yang maju dan sejahtera bisa terealisasikan?


Imperialisme tersebut nyatanya tak hanya menyasar sektor ekonomi. Sektor pendidikan sebagai basis penghasil pemuda pun tak luput dari bencana. Sadar atau tidak, secara perlahan namun pasti, potensi generasi muda dibajak dan dikebiri. Pemuda yang dicita-citakan menjadi agen of change dan pemegang masa depan bangsa justru dibuat sibuk dengan angan-angan pragmatis.


Hal tersebut terjadi karena desain pendidikan saat ini diarahkan bukan untuk mencetak generasi -generasi emas yang nantinya akan memperbaiki nasib rakyat. Mereka justru diarahkan untuk merasa cukup puas menjadi bahan bakar industri yang notabene dimiliki oleh para kapitalis.


Alhasil, alih-alih menjadi ahli dalam bidang masing-masing sehingga dapat menciptakan perubahan di tengah masyarakat dengan kepakaran yang dimiliki, para pemuda ini sibuk menuntut ilmu untuk sekadar mendapat cuan. Tak heran muncullah istilah budak korporat yang agaknya benar benar menjadi cerminan kondisi pemuda saat ini.



Apalagi dengan adanya program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Program yang diinisiasi oleh Kemendikbud ini meniscayakan terjadinya afiliasi antara perguruan tinggi dengan perusahaan. Bisa ditebak selanjutnya, orientasi para pemuda akan semakin terkerdilkan. Mereka tak lagi bercita-cita mewujudkan tujuan luhur pendidikan. Proses belajar pun semata untuk mendapatkan pekerjaan.


Lebih-lebih saat ini, standar kehidupan masyarakat secara umum hanya disandarkan pada materi. Hingga muncullah istilah, tak dibilang sukses jika tak banyak cuan. Secara otomatis, hal ini membuat generasi muda saling berlomba hingga bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Kondisi masyarakat tak lagi mereka pedulikan. Mereka hidup dalam nuansa keegoisan, individualisme dan ambisi kehidupan.


Hal ini makin diperparah dengan berlimpahnya barang-barang akibat dibukanya keran impor. Walhasil, binge shopping menggejala di kalangan pemuda. Mindset pragmatis pun tumbuh tak terhindarkan, membuat mereka tak lagi bisa membedakan kebutuhan dan keinginan.


Gaya hidup konsumtif dan hedonis pun akhirnya menjadi hal lumrah yang dianggap biasa. Ironisnya, beberapa dari mereka bahkan rela dibarengi berutang sana-sini hingga terlilit pinjol. Tak jarang, dunia prostitusi juga mereka jajaki demi menuruti gengsi.


Sementara itu, mereka yang tak mampu memenuhi gaya hidup pun tak lepas dari ancaman mental illnes. Kegagalan tak bisa memenuhi standar kesuksesan membuat para generasi muda tersebut terpuruk.


Apalagi kondisi ini diperparah dengan fakta diterapkannya sekularisme yang meniscayakan jauhnya agama sebagai pedoman kehidupan. Maka tak heran, self harm, depresi, bunuh diri dan masalah kesehatan mental lain ramai menjadi trending topic yang tak pernah habis dibicarakan.

           

Begitulah generasi muda saat ini. Dengan segudang problematika tersebut, agaknya cita-cita menjadi negeri sejahtera hanya akan menjadi mimpi yang tak terealisasikan. Para pemuda yang digadang-gadang akan menjadi motor dan bahan bakar perubahan justru lemah dan keropos. Sudahlah pribadinya kacau, jauh pula dari ketakwaan. Tak ada yang bisa diharapkan saat kungkungan sistem sekuler kapitalisme saat ini masih memenjarakan mindset mereka.


Para pemuda harus segera bangun dari kondisi mengenaskan ini. Mereka harus sadar bahwa alih-alih dibawa menuju perbaikan, mereka justru didorong pada jurang kehancuran. Mereka juga tak boleh tertipu dengan kemajuan palsu yang digaung-gaungkan saat ini. Mereka harus berorientasi pada kemajuan hakiki di mana kesejahteraan masyarakat dan kemuliaan umat menjadi fokus utamanya.


Jalan menuju perubahan hakiki ini tak dapat diraih jika sistem sekuler kapitalis yang menjadi biang kerok munculnya problematika sistemik ini masih eksis. Para pemuda harus benar-benar menggulung dan membuang sistem rusak ini untuk beralih pada sistem kehidupan Islam yang meniscayakan terwujudnya kesejahteraan. Hal ini karena sistem Islam dibangun dengan landasan wahyu yang berasal dari Allah, Sang Maha Pencipta.


Bisa dibilang, sistem Islam inilah satu-satunya solusi yang dapat memperbaiki keadaan. Sebut saja, melalui sistem pendidikan Islam. Dengan adanya akidah sebagai basis pendidikan, pemuda dibentuk menjadi generasi berkualitas tinggi, bertakwa dan siap menjadi mutiara-mutiara yang mampu berkontribusi untuk umat. Selain itu, adanya sistem ekonomi Islam yang berorientasi pada kesejahteraan tiap individu, bukan semata didasarkan pada deretan angka PDB, membuat masyarakat hidup makmur. 


Maka, sudah tak perlu diragukan, hijrah sistem menuju sistem Islam harus segera dilakukan. Hal ini bisa dimulai dengan menginstalkan pemikiran Islam melalui pembinaan ideologis. Pembinaan ideologis ini akan membentuk keimanan yang kokoh sehingga pemuda pun akan menjadi individu yang bertakwa. Kompas moralnya bukan lagi syahwat dunia, namun telah berganti dengan halal dan haram yang diatur sesuai syariat.


Pada akhirnya, kesadaran untuk mendakwahkan sistem Islam agar dapat terwujud di tengah-tengah umat pun menjadi cita-cita yang tak dapat terelakkan. Pemuda akan bersama-sama terlibat dalam dakwah jamaah untuk mendukung implementasi kehidupan Islam yang tak dapat direalisasikan kecuali melalui adanya institusi warisan Rasulullah saw. yang menerapkan Islam kafah. 


Allah Swt. berfirman:


 كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِۗ   


"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110)


Walakhir, hanya dengan sistem kehidupan Islam yang membidani lahirnya generasi-generasi muda berkualitas pembawa perubahan di tengah umat dapat terwujud. Saat generasi muda telah bertransformasi menjadi generasi-generasi emas, kemajuan hakiki suatu bangsa dapat diraih. Wallahualam bissawab. [SJ]