Alt Title

Jabatan Itu Amanah, Bukan Warisan dari Mama

Jabatan Itu Amanah, Bukan Warisan dari Mama


Seorang pemimpin negara juga harus memiliki kemampuan untuk menerapkan syariat Islam dalam berbagai bidang

Mulai dari politik dalam maupun luar negeri, muamalah, pendidikan, dan lain-lain. Ia pun akan menggali hukum-hukum Islam berdasarkan sumber hukum Islam yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah, karena hukum tersebut berasal dari Sang Pencipta

______________________________


Penulis Rosita

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Euforia menjelang pemilihan Presiden (pilpres) begitu kental terasa. Berbagai elite politik saling memberikan argumen atau pendapat demi kelancaran keberlangsungan acara tersebut.


Pakar Komunikasi Politik Ari Junaedi berharap para menteri yang bersinggungan dengan pusaran koalisi Pilpres 2024, termasuk mereka yang menjadi bacapres dan bacawapres, untuk segera mundur dari jabatannya. Selain untuk menghindari konflik kepentingan, tujuan lainnya adalah mencegah berdirinya posko pemenangan di kantor-kantor kementerian tempat mereka menjabat. Seperti yang ia ungkapkan, "Biar tidak ada posko pemenangan di kementerian, menteri-menteri yang terkait dengan pilpres lebih baik mundur dan fokus pada kampanye saja.” (Tribunnews[dot]com, 25/10/2023)


Pendapat yang berbeda justru dikemukakan oleh Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik. Idham mengatakan bakal calon presiden maupun calon wakil presiden yang masih berstatus sebagai menteri tidak perlu mundur dari jabatannya selama mendapat izin dari presiden untuk cuti. Karena ketentuan tersebut berdasarkan pada Pasal 15,16 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023. Juga mengatur beberapa pejabat negara lain, yang tidak perlu mengundurkan diri jika mencalonkan sebagai presiden dan wakil presiden. Pejabat negara di sini terdiri atas presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, DPR, DPD, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota. (Antara, 18/10/2023)


Berdasarkan aturan KPU tersebut disinyalir akan memberikan peluang kepada pejabat negara, khususnya bagi yang mencalonkan diri di pilpres untuk menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang demi memperlancar kepentingan pribadi atau golongan. Dan akhirnya akan berimbas terhadap fasilitas negara dan juga anggaran. 


Selain itu juga ada potensi pengabaian atau lalainya pejabat negara terhadap tanggung jawab dan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak rakyat. Karena dalam kondisi tersebut pemikiran dan tenaga pejabat negara pasti akan tersedot oleh kegiatan kampanye. 


Seperti yang dikritik oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal. Menurut Iqbal pemerintah yang dianggap kurang memperhatikan pembahasan upah minimum 2024 karena sibuk mengurusi politik menjelang Pemilu 2024 (VOA, 22/10/2023). Seperti rapat dewan pengupahan Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional tidak digelar karena sedang sibuk berpolitik. 


Aturan-aturan tersebut sangat jelas menunjukkan ketidakadilan negara terhadap rakyat. Negara hanya berfokus kepada kepentingan pejabat negara untuk meraih kekuasaan selanjutnya dengan mengabaikan amanah yang sedang diembannya. Ini menunjukkan ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara. Peran negara dalam hal ini seolah-olah hanya menjadi pembuat regulasi bagi kepentingan segelintir para penguasa.


Inilah salah satu dampak aturan yang dihasilkan dari kesepakatan atau aturan yang dibuat oleh manusia. Yakni sistem kapitalisme sekuler yang liberal. Demi peraihan eksistensi diri, kekuasaan, harta, dan kemuliaan.


Dalam sistem sekuler yg menjauhkan agama dari kehidupan dan tata perpolitikan serta bernegara. Maka bermunculan sosok-sosok penguasa maupun calon penguasa yang minim rasa takutnya akan dosa, seolah amanah kekuasaan itu tidak akan dimintai pertanggungjawaban atau dihisab oleh Allah di akhirat kelak.


Dalam sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi (kedaulatan) ada di tangan rakyat tetapi dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih rakyat. Maka tidak heran dalam sistem pemerintahan demokrasi konteks politik membutuhkan waktu yang lama, ongkos yang mahal dan mekanisme yang berbelit-belit.


Dengan sistem tersebut memungkinkan bermunculannya potensi kecurangan, abai terhadap amanah yang sedang diemban, bahkan berpotensi menggandeng atau bekerja sama dengan pemilik modal untuk mengongkosi biaya kontestasi yg mahal tadi.


Pada akhirnya kelak ketika berkuasa, kendali kekuasaan bisa disetir atau tersandera oleh para cukong politik tersebut. Sehingga ketika penguasa membuat kebijakan atau aturan akan lebih condong terhadap para pemilik modal daripada kemakmuran rakyatnya.


Berbeda dengan sistem Islam, dalam Islam jabatan adalah sebuah amanah bukan warisan dari mama, setiap amanah pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. di akhirat kelak.


Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-Anfal ayat 27,


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”


Pemilihan pemimpin negara dalam sistem Islam sangatlah mudah, tidak akan memakan waktu yang lama, maksimal tiga hari saja. Seperti yang dicontohkan waktu pengangkatan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq. Waktu Nabi Muhammad meninggal pada waktu Duha, Senin, 12 Rabiulawal 11 H, sedangkan Abu Bakar As-Shiddiq dibaiat sebagai khalifah hari itu pula (baiat in’iqad/baiat khashash).


Kemudian pada Selasa pagi harinya, Abu Bakar Shiddiq dibaiat oleh kaum muslimin di masjid (baiat tha’at/baiat ammah). Nabi ﷺ baru dimakamkan pada pertengahan malam pada malam Rabu. (Lihat kitab Ajhizah Daulah Al-Khilafah, hlm.13).


Sehingga dengan begitu calon pemimpin negara tidak akan sibuk menghabiskan waktu dengan kampanye-kampanyenya, tidak akan mengeluarkan biaya yang banyak, dan yang pasti tidak akan mengganggu terhadap tanggung jawab yang sedang diembannya.


Pemilihan atau pengangkatan kepala negara akan dianggap sah jika memenuhi tujuh syarat yaitu laki-laki, muslim, merdeka, balig, berakal, adil, dan memiliki kemampuan. Ketujuh syarat tersebut wajib dimiliki pemimpin negara.


Sementara untuk pemimpin setingkat gubernur, bupati dan walikota maka pemilihannya langsung ditunjuk oleh penguasa tertinggi negara (Khalifah). Mudah, murah, tidak repot dan tidak berbelit-belit. Tetapi untuk persyaratan sama dengan pemilihan kepala negara yaitu, laki-laki, muslim, merdeka, balig, berakal, adil dan memiliki kemampuan.


Seorang pemimpin negara juga harus memiliki kemampuan untuk menerapkan syariat Islam dalam berbagai bidang. Mulai dari politik dalam maupun luar negeri, muamalah, pendidikan, dan lain-lain. Ia pun akan menggali hukum-hukum Islam berdasarkan sumber hukum Islam yaitu Al-Qur'an dan As-Sunah, karena hukum tersebut berasal dari Sang Pencipta.


Inilah sistem Islam yang mengatur semua urusan yang ada di muka bumi termasuk urusan dalam memilih seorang pemimpin, jelas dan lugas. Memilih seorang pemimpin dalam Islam pada akhirnya dapat berjalan efektif, efisien dan murah. Namun dalam waktu bersamaan akan menghasilkan seorang pemimpin yang berkualitas dan demikian wara atau takut kepada Allah Swt..


 Wallahualam bissawab. [SJ]