Alt Title

Tren Menyayat Tangan di Kalangan Remaja, untuk Apa?

Tren Menyayat Tangan di Kalangan Remaja, untuk Apa?

 


Penanaman nilai-nilai akidah Islam oleh orang tua kepada anak sejak dini akan menghasilkan sosok yang kuat dalam menghadapi masalah hidup, karena mereka yakin bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah qada dari Allah 

Ia juga meyakini bahwa semua qada dari Allah pastilah baik

______________________________


Penulis Siska Juliana 

Tim Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Akhir-akhir ini sebuah tren di kalangan remaja marak terjadi. Tren itu adalah menyayat tangan sendiri. Diketahui 52 siswi perempuan di SMPN 1 Bengkulu Utara kedapatan memiliki bekas luka sayatan di bagian tangan. Diduga menggunakan benda tajam seperti silet dan lainnya. Hal ini pertama kali terungkap dari salah satu guru yang mendapati salah satu siswi dengan luka sayatan di tangannya. Setelah diinterogasi dan diselidiki dengan melakukan razia, ternyata hal serupa terjadi pada puluhan siswi yang lainnya. (rbtv[dot]disway[dot]id,15/09/2023) 


Kepala Sekolah SMPN 1 Bengkulu Utara, Sri Utami Dwi Wahyuni mengungkapkan alasan yang mendasari mereka nekat melukai diri sendiri adalah terpengaruh oleh tren di media sosial. Ada yang disilet kemudian diposting di status. Bahkan dari pengakuan beberapa siswi, mereka telah melakukan hal tersebut sejak sekolah dasar. 


Kehidupan remaja saat ini tidak terlepas dari perkembangan media sosial yang memudahkan seseorang untuk mengakses informasi dengan cepat. Hanya saja, tidak semua informasi berdampak positif. Banyak juga beredar informasi yang memiliki dampak negatif bagi penggunanya. 


Seperti fenomena self harm yang viral belakangan ini. Self harm adalah suatu tindakan atau dorongan untuk menyakiti atau melukai diri sendiri dengan sengaja. Hal itu dilakukan untuk mengalihkan rasa sakit psikis ke rasa sakit fisik. Apabila tindakan ini dibiarkan, maka akan berakibat fatal bagi pelakunya. 


Fenomena ini marak dijadikan konten di media sosial. Banyak remaja dan orang dewasa yang mengunggah videonya seperti di Tik Tok, Instagram, dan YouTube yang sedang berjuang menghadapi masalah hidup dan melakukannya untuk mengedukasi. 


Konten tersebut malah menjadi tren di media sosial. Tidak hanya berupa sharing session, tetapi sampai pada konten tutorial melakukan self harm. Sungguh inilah yang mengkhawatirkan. Maraknya self harm membuktikan rapuhnya jiwa para remaja dalam menghadapi masalah. Saat menghadapi masalah atau mengalami kegagalan, mereka mudah mengalami gangguan psikologis bahkan sampai depresi yang berujung melukai diri sendiri. 


Rapuhnya jiwa generasi muda ini tidak terlepas dari pola asuh dan pola pendidikan yang diterapkan saat ini yaitu berasaskan sekularisme, di mana agama dijauhkan dari berbagai aspek kehidupan. Sehingga agama tidak menjadi benteng pemahaman dan perilaku remaja. Akhirnya remaja tumbuh menjadi remaja sekuler. 


Mereka tidak mampu mengaitkan antara masalah kehidupan dengan keberadaan Allah sebagai Al-Khaliq (Sang Pencipta) dan Al-Mudabbir (Sang Pengatur). Ketika ada masalah atau mengalami kegagalan, mereka tidak mempunyai sandaran yang kokoh untuk menopang jiwanya.


Dari sekularisme pula lahir paham-paham rusak dan merusak lainnya termasuk paham kebebasan berperilaku dan berkeyakinan yang mengakibatkan krisis moral dan krisis identitas. Faktor lain yang memliki dampak besar merusak generasi adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini meniscayakan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Salah satunya dari penggunaan media tanpa batas. 


Para kapitalis terus mengeksplorasi media sosial demi meraih keuntungan. Contohnya saja ketika Tik Tok diblokir beberapa tahun lalu, mereka bersikeras untuk membuka kembali aksesnya karena tidak ingin merugi. Akhirnya, aplikasi ini dibuka kembali dengan cara memperbaiki kontennya. Namun pada faktanya hingga hari ini, aplikasi tersebut masih kerap menampilkan konten-konten unfaedah seperti yang mendukung self harm hingga konten yang menganggap bahwa self harm itu keren pada pelaku remaja.


Negara juga abai membiarkan berbagai konten keburukan yang tayang di media sosial mudah untuk diakses oleh siapa saja.Kebebasan ini harus dibayar mahal dengan kerusakan generasi. Padahal jika penguasa serius terhadap generasi ini, maka seharusnya ada kontrol yang ketat terhadap semua media yang diakses remaja. Namun inilah fakta kepemimpinan dalam sistem kapitalisme yang jauh dari fungsi meriayah. 


Berbeda dengan Islam, Islam justru menjadikan negara sebagai benteng utama dalam melindungi generasi dari berbagai kerusakan pemikiran dan tingkah laku mereka. Negara wajib menciptakan suasana takwa pada setiap individu masyarakat melalui pendidikan yang berbasis akidah Islam yang diterapkan oleh negara.


Kemudian membentuk anak-anak yang bertakwa yang memiliki kepribadian Islam yang kuat. Anak akan selalu merasakan pengawasan dari Allah Swt. di mana pun ia berada, sehingga tidak akan berbuat hal-hal yang buruk apalagi yang dapat membahayakan diri mereka sendiri.


Penanaman nilai-nilai akidah Islam oleh orang tua kepada anak sejak dini akan menghasilkan sosok yang kuat dalam menghadapi masalah hidup, karena mereka yakin bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah qada dari Allah. Ia juga meyakini bahwa semua qada dari Allah pastilah baik. Dengan demikian, masalah ataupun kegagalan merupakan suatu hal yang biasa dalam kehidupan. Bisa bersabar menghadapinya untuk kemudian berusaha meraih keberhasilan. 


Penerapan pendidikan berbasis akidah Islam diterapkan secara menyeluruh kepada seluruh warga negara. Sehingga pendidikan di rumah dan di sekolah selaras dan saling mendukung. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi generasi dari ideologi kapitalisme sekuler yang merusak kepribadian mereka. 


Selain itu, negara akan melindungi anak-anak dari hal-hal yang tidak mendidik dan merusak jiwa mereka. Berbagai bacaan, tontonan, tayangan, permainan, ataupun konten-konten yang merusak akan dilarang beredar. Jika masih ada yang nekat menayangkan, maka negara akan memberikan sanksi. 


Negara yang seperti ini hanya akan terwujud jika Islam diterapkan secara kafah. Penguasa dalam sistem Islam memosisikan dirinya sebagai junnah (perisai) yang akan melindungi rakyatnya dari hal-hal yang buruk. 


Wallahualam bissawab. [SJ]