Polemik Minyak Goreng, Penguasa Lemah di Hadapan Pengusaha
OpiniBerlarutnya polemik minyak goreng (migor) yang terjadi hingga saat ini menunjukkan kepada kita betapa lemahnya negara dalam tata kelola penyediaan minyak goreng
Negara telah kalah di hadapan para korporasi swasta yang dengan mudahnya mengendalikan distribusi minyak goreng, sehingga kondisi kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng terus terjadi secara berulang
________________________________________
Penulis Siti Mariyam
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Polemik minyak goreng (migor) di negeri ini masih terus bergulir. Kali ini, soal pengusaha ritel yang mengancam akan mengurangi hingga menghentikan pasokan minyak goreng dari supplier atau produsen. Hal ini terjadi, karena belum adanya pembayaran utang selisih harga atau rafaksi minyak goreng dari pemerintah. Pemerintah dalam hal ini melalui Kementrian Perdagangan (Kemendag) telah menunda proses pembayaran utang rafaksi minyak goreng kepada pengusaha ritel sejak Februari 2022.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, membeberkan lima hal yang akan ditempuh oleh para peritel sebagai desakan terhadap pemerintah untuk segera menunaikan kewajiban pembayaran rafaksi. Dari kelima hal tersebut, tiga di antaranya, akan dilakukan oleh 31 perusahaan ritel yang terdampak, yaitu Indomaret, Alfamart, Hypermart, dan Transmart. Peritel berencana akan melakukan pemotongan tagihan kepada distributor atau supplier minyak goreng. Apabila tindakan tersebut belum membuahkan hasil, maka peritel berencana akan mengurangi pembelian minyak goreng dari distributor. Langkah terburuknya lagi, jika masih belum ada kepastian kapan hak mereka akan dibayarkan, mereka akan menghentikan pembelian minyak goreng dari distributor. (cnbcindonesia[dot]com, 18/8/23)
Dalam upaya membantu penyelesaian polemik utang rafaksi minyak goreng ini, Aprindo akan menempuh dua hal diantaranya, senantiasa melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam). Selanjutnya, Roy menyebut, langkah terakhir yang bisa dilakukan adalah menggugat Kementerian Perdagangan beserta aturannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Gonjang-ganjing di antara pemerintah dengan para pengusaha ritel diakui oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dikarenakan pemerintah belum membayar utang rafaksi minyak goreng kepada Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Alasannya adalah Kementerian Perdagangan (Kemendag) hingga saat ini belum menyampaikan hasil verifikasi dari surveyor yang ditunjuk oleh kemendag yaitu PT Sucofindo kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kemendag mengaku hati-hati terkait pembayaran utang rafaksi tersebut. Terlebih, ada perbedaan nilai rafaksi utang dari hasil verifikasi Sucofindo dengan jumlah yang diajukan oleh produsen minyak goreng dan peritel. Sebanyak 54 pengusaha minyak goreng mengajukan klaim senilai 812 miliar kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Lalu, Kemendag melalui surveyor PT Sucofindo menyebut utang pemerintah hanya Rp474,8 miliar, dan klaim peritel sebesar Rp344 miliar.
Berlarutnya polemik minyak goreng (migor) yang terjadi hingga saat ini menunjukkan kepada kita betapa lemahnya negara dalam tata kelola penyediaan minyak goreng. Negara telah kalah di hadapan para korporasi swasta yang dengan mudahnya mengendalikan distribusi minyak goreng, sehingga kondisi kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng terus terjadi secara berulang.
Dalam sistem kapitalisme saat ini, keberadaan korporasi lebih berkuasa daripada penguasa. Seperti dalam kasus baru-baru ini dimana pemerintah melalui institusi Kejaksaan Agung (Kejagung) belum membekukan tiga perusahaan yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng periode 2021-2022. Ketiga perusahaan yang dimaksud adalah Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group yang bertanggung jawab atas bergulirnya polemik minyak goreng hingga saat ini. Mirisnya, pemerintah tidak langsung melakukan pembekuan terhadap ketiga perusahaan tersebut yang secara jelas telah merugikan masyarakat maupun negara. Kapitalisme, terbukti sumber masalah karena pengelolaan dan pemenuhan rakyat diserahkan pada korporasi. Berbagai kebijakan yang pemerintah buat malah menguntungkan korporasi.
Di sisi lain, sistem Islam menerapkan politik ekonomi yang bertujuan untuk memastikan ketersediaan pangan yang terjangkau bahkan dapat disediakan secara gratis bagi masyarakat. Mekanisme politik ekonomi Islam untuk mencapai tujuan ini adalah sebagai berikut:
Pertama, menjaga pasokan produksi dalam negeri dengan memberikan dukungan pada sarana produksi dan infrastruktur pendukung.
Kedua, menciptakan pasar yang sehat dan kondusif, dengan mengawasi rantai distribusi dan mengeliminasi penyebab distorsi pasar.
Ketiga, mengawasi penetapan harga dengan mengikuti prinsip mekanisme pasar.
Keempat, lembaga pangan (seperti Bulog atau BUMD) harus sepenuhnya melayani kebutuhan masyarakat, bukan beroperasi sebagai entitas bisnis. Pendanaan untuk lembaga-lembaga ini akan ditanggung oleh Baitul Mal.
Kelima, tidak mengizinkan korporasi untuk menguasai rantai pasokan pangan rakyat dengan tujuan mencari keuntungan semata.
Keenam, memberikan sanksi yang tegas bagi para penimbun atau penghambat pasokan pangan. Dalam Islam, penimbun dianggap sebagai pelaku dosa dan maksiat karena menyulitkan masyarakat dalam mendapatkan bahan pangan yang mereka butuhkan. Pelaku penimbunan akan dikenai sanksi takzir, dan mereka akan dipaksa untuk menjual barang-barang mereka kepada konsumen dengan harga pasar, bukan harga yang mereka tentukan sendiri.
Dalam Islam, penerapan prinsip-prinsip syariat dianggap sebagai suatu kebutuhan mendesak bagi masyarakat saat ini. Hal ini tidak hanya berlaku untuk masalah harga dan ketersediaan pangan, tetapi juga dalam pengaturan seluruh aspek kehidupan masyarakat oleh negara. Dengan demikian, kesejahteraan dan keamanan masyarakat akan dijamin sepenuhnya oleh negara. Kewajiban ini diberikan langsung oleh Allah Swt. kepada penguasa. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Wallahalam bissawab. [GSM]