Alt Title

Harga Beras Naik Ugal-ugalan Butuh Solusi Brilian

Harga Beras Naik Ugal-ugalan Butuh Solusi Brilian

Poin utama permasalahan harga beras yang melambung, adalah ketergantungan negara pada impor. Upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap impor ini belum tampak nyata

Padahal negeri ini dianugerahi sumber daya alam yang melimpah dan beraneka ragam. Tanah yang subur membentang luas. Pakar pertanian juga tersedia dengan jumlah yang sangat banyak

_________________________________


Penulis Elfia Prihastuti, S.Pd.

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Praktisi Pendidikan 




KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Untuk ke sekian kali rintihan rakyat menggema. Sekian kali pula penguasa negeri ini seolah tidak mendengar. Setelah menghadapi gimik gas melon, rakyat harus dipaksa untuk merogoh koceknya lebih dalam seiring dengan harga beras yang naik secara ugal-ugalan. Beras adalah kebutuhan pokok yang mengharuskan rutinitas anggaran. Jelas hal ini sangat membebani rakyat. 


Sampai saat ini, berdasarkan data panel harga beras, belum terlihat tanda-tanda harga beras melandai. Terpantau, harga beras medium naik Rp20 ke Rp12.280 per kg dan beras premium naik Rp40 ke Rp13.960 per kg. Semua itu adalah rata-rata harian nasional di tingkat pedagang eceran. (CNBC, 30/08/2023)


Faktor Pemicu Kenaikan Harga Beras


Sebenarnya cukup mengherankan, harga beras naik, sementara beberapa wilayah mengalami musim panen. Seperti di Sumatra Utara, Indramayu dan beberapa kota lainya yaitu Batang, Kebumen dan Jember. 


Khudori, seorang pengamat pertanian memaparkan, setidaknya ada 4 faktor pemicu di balik kenaikan harga beras saat ini, yaitu :


Pertama, pada musim tanam gadu (musim tanam yang tidak ada pengairannya dan mengandalkan air hujan atau tadah hujan) harga gabah/beras lebih tinggi pada saat musim panen. Hal ini membuat siklus panen tidak menentu.


Kedua, produksi beras diperkirakan menurun, kondisi ini membuat pasokan dan permintaan menjadi tidak seimbang. Akhirnya berujung pada ekspektasi harga yang naik.


Produksi beras pada 9 bulan 2023 sebesar 25,64 juta ton GKG (gabah kering giling). Hal ini merujuk pada data Kerangka Sampel Area (KSA) BPS. Pada saat yang sama konsumsi beras nasional periode Januari-September tahun 2023 diproyeksikan meningkat, mencapai 22,89 juta ton. Jumlah ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2022 yang mencapai 22,62 juta ton.


Ketiga, faktor El Nino yang tahun ini menghantam negeri ini berdampak besar dalam sektor pertanian.


Pemicu keempat, efek dinamika global, yang tampak pada kebijakan negara eksportir yang cenderung restriktif (membatasi). Seperti India yang menutup ekspor beras non-basmati.


Ancaman Krisis Pangan 


Lonjakan harga beras yang tidak terkendali membuat rakyat menjerit. Mungkin jika kenaikan harga terjadi pada  bahan pangan lain masih tidak terasa. Tetapi ketika kenaikan harga terjadi pada beras yang selama ini menjadi kebutuhan pokok, sungguh membuat rakyat menjadi tidak berkutik. 


Kondisi ini patut dikhawatirkan. Jika harga beras tak kunjung melandai, akan memicu krisis pangan di negeri ini. Sebab pengaruhnya tidak hanya terjadi pada konsumen saja, tetapi juga pada distributor, produsen dan pedagang yang bahan mentahnya beras. 


Masalah pangan di negeri ini memang selalu dipenuhi oleh berbagai polemik. Sebelumnya ada masalah pupuk, walaupun sekarang turun akan tetapi tidak dapat dirasakan oleh petani dalam jangka pendek.


Untuk masalah harga beras yang kian melonjak, jika mengulik dari faktor efek dinamika global, ada 27 negara yang pasca pandemi, menerapkan proteksi ataupun pembatasan ekspor. Untuk mengamankan kebutuhan pangan di dalam negerinya.


Jadi kalaupun ada negara yang ingin mengekspor ke Indonesia, maka pasti akan melakukan tawar-menawar soal harga. Jadi problemnya bukan barangnya ada atau tidak ada, tapi harganya berapa. Semua negara sedang melihat kebutuhan di dalam negerinya. 


Karena barang pangan di negeri ini, ketergantungan impornya sangat tinggi. Swasembada beras memang pernah terjadi, bahkan sempat mendapatkan penghargaan. Tapi untuk sekarang ini Indonesia berkomitmen untuk impor beras sebanyak 2 juta ton. Hal ini diperparah oleh kondisi alam seperti El Nino yang menyelimuti negeri ini, menjadikan negara mati kutu, kelimpungan menghadapi persoalan yang ada. Akhirnya rakyatlah yang menjadi korban.


Butuh Kebijakan Tuntas


Sejatinya, berdasarkan fakta yang ada, poin utama permasalahan harga beras yang melambung, adalah ketergantungan negara pada impor. Upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap impor ini belum tampak nyata. Padahal negeri ini dianugerahi sumber daya alam yang melimpah dan beraneka ragam. Tanah yang subur membentang luas. Pakar pertanian juga tersedia dengan jumlah yang sangat banyak. 


Seluruh potensi yang dimiliki ternyata belum mampu menjadikan negeri ini mandiri dalam memenuhi pangan rakyat. Sangatlah wajar ketika negara-negara eksportir menyetop barang ekspornya demi melindungi kebutuhan dalam negerinya, negeri ini seperti mengalami jalan buntu. Apalagi produksi beras dalam negeri juga mengalami penurunan disebabkan El Nino yang mengakibatkan kekeringan. 


Permasalahan mahalnya harga beras sebenarnya dapat diatasi. Semuanya tergantung pada pintar-pintarnya sebuah negara dalam mengambil peran yang tercermin dalam kebijakan yang digulirkan. Misalnya rekayasa cuaca, dalam mengantisipasi El Nino, sebab hal ini bisa diprediksi dengan teknologi yang memadai, saluran irigasi, subsidi pupuk, dan hal paling penting adalah pembangunan infrastruktur pertanian yang memadai.


Sayang seribu sayang, semua aktivitas penting yang seharusnya dilakukan pemerintah itu belum tampak nyata. Pemerintah lebih memilih kebijakan impor daripada swasembada beras. Hal ini amatlah wajar terjadi sebab yang menjadi landasan pengambilan kebijakan adalah kapitalisme neoliberal. Tabiat yang ada dalam sistem ini adalah meniscayakan negara berperan setengah hati terhadap rakyatnya. Menghitung segala aktivitas dalam untung dan rugi. Jelas  bahwa sistem seperti ini tidak akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.


Tentu yang bisa dilakukan adalah mencari sistem alternatif yang piawai dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang membelenggu rakyat selama ini. Sungguh tidak ada sistem lebih brilian dari sistem mana pun sepanjang sejarah, kecuali sistem Islam.


Pengaturan Brilian dalam Islam 


Sistem Islam melakukan pengaturan masalah pangan secara sungguh-sungguh dan berujung pada kesejahteraan rakyat. Negara benar-benar tulus melayani rakyat dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hajat rakyat. Pemerintah seperti ini digambarkan dalam hadis Rasulullah saw., "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)


Negara yang mampu mengemban hal tersebut adalah negara yang menerapkan Islam secara kafah. Peran negara di dalam negeri, menjalankan penerapan syariat Islam dan pengurus bagi urusan rakyatnya. Sementara ke luar negeri, negara mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.


Dalam melaksanakan perannya itu negara harus menjadi negara yang mandiri. Tidak tergantung pada negara lainnya dalam berbagai urusan-urusannya termasuk urusan pangan rakyatnya. Untuk itu negara senantiasa serius dan bersungguh-sungguh dalam memenuhi ketersediaan pangan secara optimal dengan memanfaatkan potensi yang ada.


Hal ini tertuang dalam kebijakan negara yang sesuai dengan syari'at.Di antaranya, kebijakan meningkatkan hasil pertanian dengan ekstensifikasi dan intensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan penggunaan sarana dan prasarana pertanian yang lebih baik. Seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan yang diperlukan dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian. Pemberian subsidi akan dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan pertanian. Sedangkan ekstensifikasi merupakan kebijakan untuk memperluas lahan pertanian. Untuk itu upaya terus dilakukan dalam rangka memperluas lahan pertanian. Misalnya dengan menghidupkan lahan mati. Negara akan memberikan lahan kepemilikan negara kepada individu rakyat yang membutuhkan dan mampu mengelolanya. Wallahualam bissawab. [SJ]