Alt Title

Grasi Massal untuk Napi Narkoba, Kok Bisa?

Grasi Massal untuk Napi Narkoba, Kok Bisa?

Jika pemerintah berniat mengurangi jumlah narapidana kasus narkoba yang membuat lapas penuh, sebenarnya cukup dengan menghentikan bisnis peredaran narkoba

Namun nyatanya, hal ini akan sangat sulit dilakukan sebab dalam sistem kapitalisme demokrasi, narkoba merupakan salah satu komoditi yang boleh diperjualbelikan

_____________________________


Penulis Ummu Rufaida ALB

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Lagi capek-capeknya, eh dengar beginian. Sepertinya frasa ini mewakili suara hati rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, ditengah arus derasnya peredaran narkotika Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mendorong Presiden Joko Widodo melakukan pemberian grasi massal bagi para napi narkoba. Tujuannya agar tidak menimbulkan overcrowded (penuh) di lembaga pemasyarakatan.


Hal ini disampaikan oleh Rifqi Sjarief Assegaf, selaku anggota tim Percepatan Reformasi Hukum kelompok kerja (pokja) Reformasi Lembaga Peradilan dan Penegak Hukum, dalam konferensi pers di Command Center Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (15/9/2023)


“Kita melihat ada isu besar, overcrowded lapas, hampir 100 persen lapas overcrowded, dan itu kami mendorong adanya grasi massal terhadap pengguna narkoba, atau penyalahguna narkoba yang selama ini dikriminalisasi terlalu berlebihan,” kata Rifqi. (Kompas[dot]com, 15/9/2023)


Pertanyaannya, apakah dengan pemberian grasi untuk napi narkoba akan mampu mengurangi penuhnya penghuni lapas? Rasanya akan akan cukup sulit, mengingat penuhnya lapas adalah akibat banyaknya para pengguna narkoba yang tertangkap dan tentu ini hanya salah satu upaya hilir saja. Sementara, tidak ada upaya serius untuk memberantas peredaran narkoba yang merupakan masalah hulu. 


Selanjutnya, apakah dengan pemberian grasi ini, pengguna narkoba akan berkurang? Tentu tidak. Sebab narkoba tetap beredar di tengah masyarakat dengan masifnya, bahkan akses mendapatkannya cukup mudah. Apalagi dengan banyaknya kasus peredaran narkoba yang dilindungi pejabat atau aparat negara.


Perlu disadari bersama bahwa ada beberapa faktor banyaknya pengguna narkoba di Indonesia. Pertama, individu rapuh. Banyak individu yang menjadikan narkoba sebagai tempat pelarian dari masalah atau tekanan kehidupan. Selain karena kurangnya keimanan di dada, hal ini diperparah oleh salahnya memaknai kebahagiaan. Mirisnya, kini pengguna narkoba dengan level rendah akan dikategorikan sebagai korban bukan pelaku kejahatan.


Kedua, masyarakat yang individulis. Akibatnya kepekaan antar warga terkikis dan hilangnya kontrol sosial. Kemiskinan juga turun menyumbangkan angka peningkatan bisnis narkoba.


Ketiga, lemahnya peran negara dalam menindak kejahatan narkoba. Sanksi bagi para terpidana narkoba tidak menimbulkan efek jera akibatnya justru bisnis peredaran narkoba semakin marak. Maka, upaya pemberian grasi ini merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam memberantas narkoba. 


Jika pemerintah berniat mengurangi jumlah narapidana kasus narkoba yang membuat lapas penuh, sebenarnya cukup dengan menghentikan bisnis peredaran narkoba. Namun nyatanya, hal ini akan sangat sulit dilakukan sebab dalam sistem kapitalisme demokrasi, narkoba merupakan salah satu komoditi yang boleh diperjualbelikan. 


Sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme, meniscayakan kebebasan berperilaku. Akibatnya tidak ada standar halal haram dalam berbisnis, asalkan narkoba bisa mendatangkan materi sebanyak-banyaknya, maka "diperbolehkan". Terlihat jelas dalam sistem saat ini peredaran narkoba tidak akan pernah tuntas. 


Hal ini berbeda dengan paradigma berpikir Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai asas pemerintahan. Islam memandang narkoba sebagai barang haram maka haram untuk memperjualbelikan, menggunakan, memproduksi, mengedarkan dan sebagainya. 


Dalam sistem pemerintahan Islam, peredaran narkoba akan bisa dihentikan dengan mekanisme berikut: Pertama, memastikan setiap individu memiliki akidah Islam yang teguh melalui sistem pendidikan Islam. Sehingga tidak mudah tergoda untuk bermaksiat bahkan melakukan keharaman ketika dihadapkan dengan masalah hidup, termasuk penyalahgunaan narkoba. Dengan sistem pendidikan Islam, individu juga memahami makna kebahagiaan yang hakiki yakni mendapat rida Allah semata bukan dengan kebahagiaan semu.


Kedua, memaksimalkan potensi masyarakat sebagai kontrol sosial yang efektif dan efisien. Masyarakat dididik untuk lebih peka terhadap kondisi sesama serta saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah dari kemunkaran. 


Ketiga, negara Islam yang menjalankan syariat Islam untuk seluruh rakyatnya, baik muslim atau nonmuslim, termasuk mengharamkan peredaran narkoba. Negara akan menindak tegas pelaku bisnis narkoba mulai dari tingkat produsen hingga konsumen. Polisi (syurtah) akan berpatroli setiap harinya untuk menciduk para pelaku kejahatan narkoba. 


Siapa pun yang tertangkap basah melakukan bisnis haram ini, akan diberikan sanksi tegas dan pasti membuat jera pelaku. Sanksi untuk kasus narkoba berupa takzir, yakni sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh khalifah atau qadhi. Bisa berupa hukuman penjara, cambuk, pengasingan dan sebagainya. 


Dalam kitab Nizhamul Uqubat karya Abdurrahman Maliki, 1990, sanksi takzir bisa berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesalahannya. Kadar hukumannya bisa sampai hukuman mati. Pengguna narkoba baru akan berbeda sanksinya dengan pengguna lama. Begitu pun pengedar narkoba berbeda sanksinya dengan pemilik pabrik narkoba. 


Negara akan menindak tegas para pejabat negara yang terbukti melindungi bisnis haram ini dengan mengadilinya secara adil. Termasuk penyelundupan barang haram melalui wilayah-wilayah perbatasan, baik laut, udara atau darat. Maka, pemberantasan narkoba akan tuntas hingga ke akarnya. Wallahualam bissawab. [Dara]