Tatkala Keadilan Tunduk di Bawah Kepentingan
OpiniInilah yang terjadi ketika penguasa berselingkuh dengan pengusaha
Segala kepentingan yang menjadi asas kebenarannya. Jika tidak ada kepentingan maka tidak dianggap benar meski itu adalah kebenaran
_____________________________
Penulis Siti Nurtinda Tasrif
Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah Kampus
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Indonesia, salah satu negara yang masih di taraf berkembang. Negara yang didalamnya terdapat sejuta sumber daya alam. Bahkan, membuatnya menjadi salah satu negara yang diperhitungkan oleh jajaran negara-negara belahan dunia lainnya. Jika diperhitungkan bersihnya, maka negara Indonesia bisa saja maju hanya dari SDA yang dimiliki.
Namun lagi-lagi, harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Nyatanya, Indonesia tidak mampu mengurus SDA yang dimilikinya. Sehingga, utusan negara lain yang harus turun tangan. Kemudian, dengan iming-iming mendapatkan separuh bagian. Indonesia membiarkan Asing mengeruk habis SDA yang terdapat dalam negerinya tanpa rasa penyesalan.
Salah satu SDA yang patut diperhitungkan adalah Minyak sawit. Dimana, bagi masyarakat minyak goreng misalnya, sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihilangkan. Sehingga, daya jualnya juga cukup membantu dalam meningkatkan perekonomian negara. Bukan saja Indonesia tetapi seluruh dunia. Sehingga, SDA ini dapat memberikan kemaslahatan bagi umat.
Namun, dari keuntungan yang luar biasa dari SDA tersebut hanya dirasakan oleh korporasi. Mengingat negara lagi-lagi tidak mengolah sendiri SDA nya melainkan, membiarkan para korporasi mengolah. Parahnya, korporasi menjual lagi kepada negara dengan harga berkali-kali lipat dari harga awal. Karena, yang diinginkan mereka hanya keuntungan dalam bisnis.
Bahkan, para korporasi melakukan cara-cara yang kotor untuk semakin memperkaya diri. Seperti, melakukan korupsi terhadap minyak goreng. Ketika harga minyak goreng naik, mereka akan menjualnya dengan harga yang memberikan keuntungan yang fantastis. Meski jajaran penguasa tidak melakukan pembelian terhadap perusahaan yang terbukti melakukan korupsi.
Sebagaimana yang penulis kutip dari Media Kompas[dot]com (18/07/2023) bahwasanya Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana mengatakan Kejagung belum membekukan tiga perusahaan yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng periode 2021-2022.
Ketut menjelaskan, jika perusahaan-perusahaan tersebut dibekukan, maka akan ada sejumlah dampak yang muncul. Dimana pembekuan yang dilakukan itu malah justru merugikan negara. Misalnya, tidak bayar pajak, tidak bayar pegawai, dan bisa di-PHK semua. Bahkan, perusahaan-perusahaan yang menjadi tersangka ini tetap dibiarkan beroperasional. Akan tetapi, keuntungan yang didapat diserahkan kepada negara.
Namun, apa dengan alasan diatas cukup baik untuk memberikan para perusahaan efek jera? Di samping keburukan yang diperbuat oleh para korporasi ini seakan dibiarkan. Mengingat, rajinnya korporasi tersebut dalam membayar pajak. Sangat jelas yang dilakukan oleh negara ketika kebatilan bisa tunduk dibawah kepentingan meski ini adalah kepentingan negara. Di satu sisi, kepentingan negara ini tidak pernah dialokasikan untuk kepentingan umat melainkan kembali pada kepentingan individu penguasa.
Indonesia dengan dua sistem yang berasaskan sekulerisme nyatanya telah menindas umat. Bahkan, sampai pada pengabaian keadilan untuk kepentingan umat. Umat semakin dianaktirikan oleh negara sendiri. Sedangkan para korporasi semakin disayang dan diperhatikan hanya karena mampu dalam menyumbangkan dana yang besar bagi pembantu kepentingan para kapitalis.
Inilah yang terjadi ketika penguasa berselingkuh dengan pengusaha. Segala kepentingan yang menjadi asas kebenarannya. Jika tidak ada kepentingan maka tidak dianggap benar meski itu adalah kebenaran. Begitu juga sebaliknya, jika itu kebatilan tidak akan dianggap kebatilan karena di dalamnya terdapat kepentingan sekalipun pada faktanya itu adalah kebatilan.
Semua kebekuan keadilan ini terjadi akibat penerapan sistem yang berasal dari kejeniusan manusia. Yaitu sistem kapitalisme yang berasaskan sekulerisme yakni pemisahan agama dari kehidupan. Asas ini meniscayakan adanya pemisahan agama dari negara. Tatkala negara melegalisasikan regulasi, tentu akan meniscayakan kepentingan para kapital saja bukan kepentingan umat.
Di samping itu, sistem ini akan mengeluarkan berbagai solusi untuk menyelesaikan problematika umat. Namun anehnya tidak pernah mampu menyelesaikan persoalannya secara tuntas. Karena, sifatnya parsial atau sementara. Sehingga terkesan tidak berarti, karena sifatnya sementara malah yang diuntungkan hanya para oligarki dan korporasi saja.
Sehingga, patutlah umat segera sadar dan kembali kepada sistem yang berasal dari wahyu yaitu sistem Islam yang meniscayakan pengaturan kehidupan secara totalitas. Begitu pula solusi yang secara fundamental atau keseluruhan. Islam akan menjamin kebutuhan keamanan dan kesejahteraan bagi setiap umat. Baik kaum muslim maupun kaum kafir yang tunduk dibawah kekuasaan islam.
Islam meniscayakan ketiadaan kriminalitas di suatu negeri. Selama berdirinya yakni 13 abad lamanya kurang lebih tercatat 200 kasus kriminal yang terjadi. Mengapa demikian? Karena sistem persanksian yang terdapat dalam islam sangat tegas dan mendatangkan efek jera. Tidak ada kepentingan diatas apa pun yang ada hanya keadilan untuk semuanya.
Islam meniscayakan agar segala regulasi mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh umat. Sehingga, segala kepentingan individu tidak berlaku, karena para penguasa merupakan pribadi yang adil dan amanah. Semua dibangun atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. kemudian melahirkan pribadi penguasa yang berkepribadian islam. Yang mengorbankan dunia untuk akhirat, sebuah negeri yang kekal yakni surga-Nya. Wallahualam bissawab. [Dara]