Alt Title

Hutanku Sayang Hutanku Malang

Hutanku Sayang Hutanku Malang

Islam mengatur bahwa hutan merupakan sumber daya milik umum yang pengelolaannya dibebankan kepada negara dan hasilnya dikembalikan lagi untuk kepentingan kemaslahatan umat

________________________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana 



KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Menyoal Fenomena Karhutla yang Terus Berulang
Hutan merupakan sumber kehidupan yang penting, tak hanya bagi manusia namun bagi seluruh ekosistem yang ada di dalamnya. Sudah awam diketahui bahwa hutan memegang peranan sebagai paru-paru dunia dan penyimpan cadangan air yang besar bagi bumi. Selain itu, hutan juga merupakan rumah bagi ribuan bahkan jutaan hewan serta tumbuhan.


Di balik peran hutan yang sangat krusial tersebut, sayangnya kondisi hutan saat ini justru sangat memprihatinkan. Lahan yang diperuntukkan sebagai hutan kian hari kian menipis. Jutaan hewan dan tumbuhan pun mati akibat berkurangnya luas hutan di bumi. Hal ini salah satunya dipicu oleh merebaknya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang semakin masif. 


Dikutip dari kalsel[dot]antaranews[dot]com (20/8/23), kebakaran hutan terjadi di wilayah Tapin, Kalimantan Selatan, bahkan efek dari kebakaran tersebut merambat hingga ke pinggir jalan raya. Sementara itu, dikutip dari palangkaraya[dot]go[dot]id, hingga tanggal 19 Agustus 2023 kemarin, jumlah kasus karhutla di Kota Palangkaraya mencapai 67 kasus dengan luas hutan yang terbakar sebesar 47,68 hektare. Padahal di bulan sebelumnya, kasus karhutla hanya berjumlah 24 kasus dengan luas hutan terdampak sebesar 14,29 hektare. 


Tentunya ini menjadi sebuah keprihatinan bagi kita, apalagi mengingat Kalimantan dikenal dengan hutan tropisnya yang sangat luas. Tentunya, banyak hewan bahkan manusia yang menggantungkan hidup dari hutan.


Bagaimana hidup mereka jika semakin lama lahan hijau semakin habis? Belum lagi potensi merambatnya api ke pemukiman warga. Dapat dipastikan, para warga akan merasa khawatir dan terancam. Begitu pula dengan asap yang ditimbulkan, selain mengganggu kesehatan, mobilitas barang dan jasa pun juga akan terhambat.   


Masifnya karhutla ini sebenarnya tak lepas dari pengaruh beberapa faktor. Salah satu diantaranya akibat musim kemarau ekstrem yang merupakan dampak dari fenomena El Nino. Fenomena tersebut menyebabkan musim kemarau tahun ini lebih kering dan memanjang. Kekeringan pun akhirnya terjadi dan menimbulkan timbulnya titik-titik hotspot di beberapa wilayah yang merupakan pemicu munculnya karhutla.


Namun demikian, ternyata bukan hanya fenomena alam saja yang bisa menjadi pencetus terjadinya kebakaran. Faktor manusia dan keserakahannya pun tak luput menjadi dalang dari musibah ini. Sebut saja misalnya terkait adanya kebijakan konsesi hutan. Kebijakan ini memberikan kewenangan kepada perusahaan maupun badan usaha tertentu untuk mengelola hutan produksi sehingga mereka bisa mengambil manfaat dari pengelolaan hutan tersebut. 


Awalnya memang, harapannya agar sumber daya hutan dapat digunakan untuk memutar roda perekonomian dan menghasilkan pundi-pundi rupiah bagi negara. Namun sayangnya, harapan tinggal harapan. Kebijakan tersebut malah menjadi bumerang karena para korporat ini justru bersikap ugal-ugalan mengeksploitasi hutan sekehendak mereka sehingga membuat rakyat Indonesia harus kehilangan ribuan hektar paru-paru dunianya.   


Memang, undang-undang yang mengatur tata cara eksploitasi dan pengelolaan lahan telah dibuat oleh pemerintah, termasuk mewajibkan perusahaan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan. Tetapi faktanya, peraturan tak lebih hanya sekadar tulisan di atas kertas, tak cukup membuat para korporat tersebut tunduk melaksanakan aturan yang telah dibuat. Walhasil, eksploitasi hutan pun terus dilakukan dengan tak mempertimbangkan kondisi maupun upaya pelestarian.


Cara-cara instan seperti pembakaran hutan besar-besaran untuk membuka lahan juga tak segan ditempuh, mengingat perusahaan tak banyak yang mau ambil pusing memikirkan upaya menjaga hutan. Apalagi, upaya-upaya seperti ini cenderung berbiaya mahal dan membengkakan anggaran produksi perusahaan. Tentu perusahaan tak mau merugi, bukan?  Tindakan serampangan inilah yang akhirnya menjadi bibit dari merebaknya kasus karhutla. 


Lebih ironisnya lagi, hal ini tidak dilakukan oleh satu atau dua perusahaan saja. Puluhan perusahaan nyatanya telah terbukti terlibat dalam penyelewengan ini. PT KS (Kumai Sentosa) misalnya, menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas atas kebakaran lahan di lokasi kebun sawit seluas 3.000 Ha di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat. Negara pun akhirnya menuntut ganti rugi kepada perusahaan sebesar 175 miliar rupiah atas insiden kebakaran tersebut.


Sementara itu, dilansir dari kompastv[dot]com (20/8/23), Rasio Ridho Sani selaku Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK menyebut pihaknya telah melakukan gugatan terhadap 22 korporasi ataupun perusahaan yang terbukti menjadi penyebab karhutla di Indonesia. Dari 22 perusahaan, 14 diantaranya diketahui telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht dengan total nilai putusan mencapai Rp5,60 triliun. Sementara itu, di luar angka tersebut masih terdapat 900 perusahaan yang berpotensi menempuh cara yang sama saat akan membuka lahan. 


Peristiwa seperti ini sebenarnya sudah umum kita temui. Apalagi saat ini, manusia menggunakan sistem kapitalisme sebagai penyokong ekonomi sekaligus sistem kehidupan. Tentu bukan hal yang luar biasa jika hal-hal tersebut terjadi, mengingat watak kapitalisme yang khas dengan semangat “gunakan usaha sekecil-kecilnya agar mendapat hasil sebesar-besarnya” ini telah mendarah daging, khususnya di tubuh para korporat. 


Hal ini diperparah dengan penegakan hukum yang lemah. Lihat saja, bagaimana undang-undang pemerintah hanya dijadikan angin lalu saja oleh mereka. Meskipun aturannya terkesan ketat mengatur tata cara konsesi, faktanya hal itu hanya sebuah formalitas. Hukuman bagi para pelanggar pun hanya berupa tuntutan-tuntutan ganti rugi yang tak seberapa dengan kerugian yang ditimbulkan. Wajar jika mereka tak kapok mengulangi perbuatan yang sama. Alhasil, tragedi karhutla pun seakan tak ada habisnya, terjadi lagi dan lagi.


Maka, sejatinya akar dari problem karhutla ini adalah karena paradigma sistem kapitalis saat ini yang menganggap bahwa sumber daya alam termasuk hutan boleh dikelola secara bebas oleh swasta. Tak heran, terbitlah kebijakan-kebijakan zalim yang melegalkan perusahaan melakukan kapitalisasi terhadap hutan, seakan-akan selama punya modal, maka hal apa saja bisa dilakukan. 


Berbeda halnya dengan paradigma Islam, Islam mengatur bahwa hutan merupakan sumber daya milik umum yang pengelolaannya dibebankan kepada negara dan hasilnya dikembalikan lagi untuk kepentingan kemaslahatan umat. 


Nabi saw. bersabda, “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal yaknI, air, padang gembalaan, dan api.” (HR. Imam Ahmad)


Dari hadis tersebut, diketahui bahwa padang gembalaan, dimana di dalamnya termasuk hutan dan padang rumput merupakan kepemilikan umum, sehingga tak boleh dikuasai oleh individu/swasta. Negara tidak boleh memberikan hak sama sekali kepada swasta untuk mengelolanya.


Sementara itu, terkait pengelolaan lahan, Islam membolehkan individu untuk memiliki lahan, dengan syarat pemilik harus bisa mengelola lahan tersebut secara produktif. Jika pemilik terbukti lalai dan mengabaikan lahan selama 3 tahun, maka negara berhak untuk memberikan lahan tersebut kepada seseorang yang lebih mampu untuk menggarap dan menghidupkannya. 


Selain itu, sebagai bentuk komitmen dalam rangka menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan, negara akan melarang pengelolaan lahan yang ugal-ugalan, termasuk upaya pembakaran yang mengakibatkan rusaknya habitat makhluk hidup lain. Negara juga akan memberikan sanksi tegas terhadap para pelanggar dan perusak lingkungan, di mana sanksi tersebut selain bersifat memaksa juga bersifat memberikan efek jera. 


Begitulah mekanisme Islam dalam menyelesaikan masalah karhutla yang terus berulang. Problem tersebut, tak akan mampu dipecahkan secara tuntas saat manusia masih berinduk pada sistem kapitalisme.


Walhasil, hanya dengan kembali kepada syariat Allah-lah manusia akan hidup sejahtera tanpa khawatir akan bahaya yang timbul dari karhutla. Hanya dengan kembali kepada sistem Islam-lah, lingkungan pun akan terjaga dan dapat secara maksimal memberikan kebermanfaatan untuk umat. Wallahualam bissawab. [SJ]