Alt Title

Pernikahan Beda Agama, Bolehkah?

Pernikahan Beda Agama, Bolehkah?

Pembuatan hukum negara tidak disandarkan pada aturan Islam bahkan cenderung melanggar aturan agama

Islam merupakan agama yang sempurna. Syariat Islam lengkap dalam mengatur kehidupan. Seorang muslimah haram menikah dengan laki-laki nonmuslim. Penerapan Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan akan membawa keberkahan bagi seluruh umat manusia

_____________________________


Penulis Siska Juliana 

Kontributor Media Kuntum Cahaya



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Akhir-akhir ini, pernikahan beda agama tengah menjadi sorotan  publik. Jika diamati dari tahun ke tahun, permohonan pencatatan sipil di pengadilan terus bermunculan.  


Salah satu kasus yang terjadi adalah permohonan pernikahan beda agama yang disampaikan oleh JEA (mempelai laki-laki) yang beragama Kristen dan SW (mempelai perempuan) yang beragama Islam. Permohonan tersebut dikabulkan oleh PN Jakarta Pusat. 


Hal itu didasarkan pada UU Adminduk. Selain itu, putusan hakim juga dipengaruhi oleh alasan sosiologis yaitu keberagaman masyarakat. Pencatatan perkawinan juga berlaku bagi perkawinan yang ditetapkan pengadilan (Pasal 35a UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk).  Maksud dari perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang beda agama. 


Keterangan dari PN Jakarta Pusat, kebijakan hakim merupakan faktor penentu dikabulkannya permohonan pernikahan beda agama. Sebelum itu, PN Jakarta Selatan terlebih dahulu telah mengabulkan permohonan izin nikah untuk pasangan beda agama. Setidaknya ada empat pernikahan beda agama sepanjang 2022 menurut catatan Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Jakarta Selatan. (Antaranews[dot]com, 24/06/2023)


Dengan banyaknya permohonan yang dikabulkan, semakin menambah pasangan beda agama yang menikah di Indonesia. Tercatat sudah ada 1.425 pasangan sejak tahun 2005 (data dari Indonesian Conference On Religion and Peace)


Indonesia dengan tegas melarang adanya pernikahan beda agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada bulan Juli 2005 yang ditandatangani oleh Ketua MUI KH. Ma'ruf Amin, mengungkapkan bahwa hukum pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram dan tidak sah. Tetapi dengan adanya Administrasi Kependudukan, membuka peluang adanya pencatatan pernikahan beda agama dengan syarat sudah ada penetapan pengadilan. 


Inilah dampak diterapkannya sistem sekularisme (memisahkan aturan agama dari kehidupan). Pembuatan hukum negara tidak disandarkan pada aturan Islam bahkan cenderung melanggar aturan agama. Islam merupakan agama yang sempurna. Syariat Islam lengkap dalam mengatur kehidupan. Seorang muslimah haram menikah dengan laki-laki nonmuslim. Penerapan Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan akan membawa keberkahan bagi seluruh umat manusia. 


Sistem sekularisme telah membentuk masyarakat yang tidak mampu berpikir benar (sahih). Standar kebahagiaan diukur dari materi dan hawa nafsu. Tak heran jika sistem ini melegalkan liberalisasi dalam bertingkah laku. Masyarakat mengabaikan aturan dari Sang Maha Pencipta manusia dan alam semesta. Mereka sibuk mengejar kenikmatan duniawi yang sesaat. 


Pemikiran sekuler ditanamkan pada kurikulum dalam dunia pendidikan sehingga pemikiran tersebut semakin tertancap kuat dalam benak masyarakat. Negara tidak dapat menjalankan perannya untuk menjaga  hukum-hukum Allah tetap tegak dan melindungi agar umat tetap dalam ketaatan kepada Allah. 


Seluruh permasalahan ini akan tuntas jika aturan Islam diterapkan. Islam memiliki seperangkat aturan dalam berbagai persoalan manusia. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan mendidik umat dari pemahaman yang keliru. Pernikahan antara laki-laki nonmuslim dan perempuan muslimah dilarang secara mutlak (QS. Al-Baqarah: 221). 


Negara adalah pengurus (raa'in) dan pelindung (junnah) bagi umat. Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan umat berada dalam ketaatan kepada syariat Allah. Karena pernikahan beda agama itu haram, maka negara wajib mencegah pernikahan batil tersebut. Negara berhak menghukum pelaku serta pihak-pihak yang mengadvokasinya. Hal ini sangat didukung oleh penerapan sistem pendidikan Islam yang mampu diakses oleh seluruh warga negara Khilafah. Sistem pendidikan Islam memiliki tujuan untuk membentuk kepribadian (syakhsiyah) Islam, memberikan pendidikan sains dan teknologi untuk menunjang kemaslahatan hidup di dunia. Semua itu dilakukan agar umat mampu berpikir benar (sahih). 


Seluruh persoalan hidup yang menimpa disandarkan pada aturan Allah. Hanya Allah yang berhak mengatur kehidupan manusia. Di bawah naungan Khilafah, ketaatan kepada Allah sangat mudah untuk dilakukan. Negara akan menanamkan akidah yang kuat di dalam diri umat. Tujuan hidup mereka adalah untuk menggapai rida Allah dan itu menjadi sumber kebahagiaan yang hakiki. 


Pernikahan bukan hanya tentang cinta dan luapan hawa nafsu, melainkan bentuk ketaatan kepada Allah. Bagaimanapun, mekanisme Islam dalam menyelesaikan masalah pernikahan beda agama hanya akan terwujud dalam institusi Khilafah Islamiyah. Jika ada aturan yang dapat menyelamatkan kita, lantas mengapa tidak kita terapkan? Wallahualam bissawab.[]