Alt Title

Isu Gratifikasi Menjelang Pesta Demokrasi

Isu Gratifikasi Menjelang Pesta Demokrasi

Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, kasus korupsi terus meningkat dari tahun ke tahun. Terlebih lagi menjelang tahun politik, banyak politikus mencari dukungan dana dari para pemilik modal untuk membiayai pencalonannya

Tentu hal itu tidak akan diberikan secara cuma-cuma dan pasti ada timbal baliknya, hanya saja di tahun politik seperti sekarang isu gratifikasi bisa dimainkan oleh siapa saja untuk menjatuhkan lawan politiknya atau menaikkan citra dirinya di mata rakyat

______________________________


Penulis Umi Lia

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member AMK



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Menjelang tahun politik seperti saat ini berita di media banyak membahas sosok-sosok yang ingin berkontestasi di pemilu/pilkada serentak tahun 2024. Politisi yang tengah atau pun ingin berkuasa saling berebut perhatian masyarakat. Segala cara pun dilakukan bahkan isu yang belum jelas bisa jadi berita yang ramai diperbincangkan di media. Di antaranya isu gratifikasi pengusaha kepada pejabat negara.


Isu inilah yang menimpa Bupati Kabupaten Bandung Dadang Supriatna. Beliau akhirnya buka suara menanggapi berita yang menyatakan bahwa dirinya dilaporkan ke KPK dengan tuduhan menerima mobil mewah serta uang tunai dari seorang pengusaha. Ia mengaku santai saja menanggapi pemberitaan yang menyudutkan tersebut, karena merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan. (Peraknews[dot]com, 27/5/2023)


Sebaliknya DPRD Kabupaten Bandung menegaskan bahwa pihaknya akan memakzulkan Dadang Supriatna jika isu gratifikasi ini terbukti, karena telah jelas regulasinya. Respon lembaga tersebut dinilai wajar karena fungsi keberadaan mereka adalah mengawasi jalannya pemerintahan dan memperhatikan keluhan-keluhan atau aspirasi masyarakat. Sementara itu KPK akan memanggil pihak-pihak yang terkait laporan dugaan tindakan pidana gratifikasi pada pembangunan Pasar Banjaran di Kabupaten Bandung, Jabar.


Adapun tokoh masyarakat Kabupaten Bandung, Masriadi Pasaribu, menilai bahwa dugaan penerimaan gratifikasi Bupati Bandung, hanya tudingan tak berdasar. Menurutnya tudingan ini terkait tahun politik jelang Pilkada serentak tahun 2024. Ada pihak yang tidak suka dan ingin merusak nama baiknya di tengah masyarakat dan mengadu domba agar tercipta kekacauan sehingga suasana jadi tidak kondusif. 


Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, kasus korupsi terus meningkat dari tahun ke tahun. Terlebih lagi menjelang tahun politik, banyak politikus mencari dukungan dana dari para pemilik modal untuk membiayai pencalonannya. Tentu hal itu tidak akan diberikan secara cuma-cuma dan pasti ada timbal baliknya, hanya saja di tahun politik seperti sekarang isu gratifikasi bisa dimainkan oleh siapa saja untuk menjatuhkan lawan politiknya atau menaikkan citra dirinya di mata rakyat.


Itulah kenyataan yang merupakan konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi sekuler, saat agama dijauhkan peranannya dalam mengatur negara dan masyarakat. Maka tidak heran jika  mental korup para pejabat semakin tumbuh subur. Benar sekali apa yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD, bahwa korupsi lahir dari banyak politisi yang dipilih lewat proses demokrasi. Dengan asas sekuler yang melandasinya, permasalahan ini pun semakin berkembang dan  tidak akan pernah musnah selama sistem rusak tersebut masih diterapkan.


Adapun gratifikasi, ia merupakan bahaya laten korupsi. Indonesia sudah mengaturnya dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Disebutkan bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, kunjungan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.


Perbedaan antara gratifikasi dan hadiah sangat tipis. Hanya saja jika menyangkut aparatur atau penyelenggara negara, hadiah atau pemberian tersebut disebut gratifikasi. Setidaknya ada empat alasan mengapa gratifikasi dilarang oleh negara. Pertama, karena merupakan akar dari korupsi. Kedua, sangat dekat dengan korupsi. Ketiga, bisa menimbulkan konflik kepentingan. Misalnya ada dua calon pemenang tender yang nilainya sama, yang satu memberi sesuatu maka akan dimudahkan. 


Keempat, gratifikasi adalah korupsi itu sendiri. Jika terkait jabatan dan berlawanan dengan tugas akan dianggap suap dan menjadi delik korupsi Pasal 12B dalam UU Pemberantasan Tipikor. Solusinya harus terbuka dan transparan terhadap semua pemberian, jika aparatur negara tidak enak menolak pemberian maka terima saja. Kemudian laporkan ke KPK, untuk dinilai apakah pemberian itu boleh dimiliki atau disita negara.


Namun sebenarnya ada solusi yang jitu dalam memberantas dan mencegah korupsi serta gratifikasi. Solusi ini bersumber dari ajaran Islam yang pernah dipraktikan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat di Madinah dulu. Ketetapan ini tetap relevan dan berlaku sepanjang zaman. Solusi tersebut ada beberapa langkah, pertama, menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara kemudian syariat Islam diberlakukan dalam seluruh aspek kehidupan.


Kedua, mengangkat penguasa dan aparatur negara yang bertakwa dan zuhud. Takwa itu harus menjadi syarat selain syarat profesionalitas. Dengan ketakwaannya dia akan selalu merasa diawasi Allah dan itu menjadi kontrol awal dari berbuat tercela dan maksiat. Ketika sifat ini disertai dengan sikap zuhud yakni tidak cinta dunia dan merasa cukup dengan pemberian Allah Swt. maka penguasa dan aparatur negara tersebut menjadi amanah.


Ketiga, memberikan gaji yang layak sesuai amanah sehingga menutup celah untuk berbuat korupsi. Keempat, membuat batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul (harta yang diambil secara diam-diam/tidak sah) dan menerapkan aturan pembuktian terbalik.


Rasul saw. bersabda: "Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul." (HR. Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim)


Dari hadis ini terlihat bahwa selain gaji adalah haram bagi aparatur negara menerima sesuatu baik berupa hadiah, fee, pungutan, suap dan sebagainya.


Kelima, memberikan sanksi tegas pada aparatur negara yang terbukti korupsi dalam bentuk sanksi takzir, agar timbul efek jera bagi pelaku dan yang lain sehingga mencegah kasus serupa terulang kembali. Hukuman ini bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta plus denda, pengasingan, penjara, cambuk hingga hukum mati bergantung pada tingkat dan dampak korupsinya. 


Sanksi ini tidak hanya diterapkan pada pelaku saja tapi juga pada keluarga dan orang-orang dekatnya, yang memungkinkan terlibat dengan praktik tersebut. Pencatatan harta, pembuktian terbalik dan sanksi yang tegas termasuk penyitaan/pemiskinan ini akan memberi efek jera dan gentar. Itu semua sangat efektif memberantas dan mencegah korupsi.


Kesimpulannya, penerapan syariat Islam oleh negara akan bisa memberantas korupsi dan gratifikasi sampai ke akarnya. Hal ini telah dibuktikan oleh sejarah kegemilangan Islam yang keberadaannya sudah diakui bahkan oleh sejarawan non muslim. Andai umat Islam menyadarinya dan bersegera menerapkan syariat Islam, sungguh kebangkitan umat dan kegemilangan masa lalu akan diraih kembali sehingga menjadi berkah bagi seluruh alam. Wallahualam bissawab. []