Alt Title

Selamatkan Ibu dari Baby Blues Berulang

Selamatkan Ibu dari Baby Blues Berulang

Semakin tingginya kasus baby blues menggambarkan kondisi mental ibu di Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Kesiapan menjadi orang tua merupakan faktor utama bagi timbulnya masalah ini

Sayangnya kurikulum pendidikan di Indonesia tidak menggolongkan kesiapan menjadi orangtua sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki. Bahkan pendidikan di Indonesia justru menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan. Padahal nilai-nilai agama sangat diperlukan sebagai pegangan hidup 

_________________________


Penulis Hany Handayani, S.P.

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Melahirkan seorang bayi mungil adalah dambaan setiap ibu. Tak sedikit dari mereka yang merasa bangga dan bahagia pasca melahirkan. Namun, banyak pula yang justru mengalami sindrom baby blues. Istilah baby blues mulai merebak belakangan ini. Baby blues merupakan perasaan sedih yang dialami banyak wanita di masa awal setelah melahirkan.


Kondisi baby blues muncul setelah dua atau tiga hari pasca persalinan. Hal ini bisa dialami oleh ibu muda maupun ibu yang sudah beberapa kali melahirkan. Baby blues bisa dialami oleh setiap ibu dari segala usia. Pada dasarnya baby blues ini bisa hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Jika sang ibu bisa melewatinya dengan baik tanpa perawatan khusus atau pengobatan. Namun, kondisi demikian bukan berarti kita bisa bernafas lega. Sebab membiarkan seorang ibu mengalami baby blues, maka sama dengan menyimpan bom waktu yang setiap saat bisa meledak.


Baby blues yang berkelanjutan tanpa akhir bisa menjadi depresi pascamelahirkan (postpartum depression). Baby blues dan depresi pasca melahirkan merupakan kondisi yang berbeda. Walau terbilang mirip namun depresi pascamelahirkan adalah masalah yang lebih serius dan tidak boleh diabaikan. Bisa menimbulkan efek yang sangat fatal bagi kelangsungan hidup sang bayi dan ibu tersebut.


Menurut data laporan Indonesia National Adlescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023, hasil penelitian Andrianti (2020) terungkap, 32 persen ibu hamil mengalami depresi dan 27 persen depresi pascamelahirkan. Selain itu, penelitian skala nasional menunjukkan 50-70 persen ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues. Angka ini tertinggi ketiga di Asia. Dikutip dari Republika[dot]co[dot]id, 28/05/2023.


Faktor penyebab timbulnya baby blues sebenarnya hampir tidak diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa hal yang diyakini sebagai penyebabnya. Faktor internal biasanya dipengaruhi oleh perubahan hormon, stres ketika merawat bayi baru lahir, kurang tidur dll. Sebagai ibu baru yang belum memiliki pengalaman mumpuni, mengharuskan dia berjibaku dengan kondisi baru yang harus dia lalui. Hormon yang tak stabil dan kondisi fisik pasca melahirkan, membuatnya butuh banyak pengertian dan perhatian khusus. Ditambah lagi jika sang ibu memiliki trauma pasca melahirkan dengan komplikasi. Taruhan nyawa yang dia perjuangkan bukanlah hal sepele. Hal ini perlu diapresiasi dengan dukungan keluarga terutama suami sebagai partner hidupnya.


Jika ditinjau dari faktor eksternal, kapitalisme juga turut berperan dalam berkurangnya dukungan yang dibutuhkan oleh ibu baru. Misalnya, kondisi kehamilan tidak diinginkan akibat pergaulan bebas dalam sistem sekuler, tidak mempunyai pasangan sebab kumpul kebo, KDRT, kurang dukungan dari keluarga besar (mitrakeluarga[dot]com, 25/03/2022).  


Semakin tingginya kasus baby blues menggambarkan kondisi mental ibu di Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Kesiapan menjadi orangtua merupakan faktor utama bagi timbulnya masalah ini. Sayangnya kurikulum pendidikan di Indonesia tidak menggolongkan kesiapan menjadi orang tua sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki. Bahkan pendidikan di Indonesia justru menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan. Padahal nilai-nilai agama sangat diperlukan sebagai pegangan hidup. 


Meminimalisir peran agama membuat manusia akhirnya memilih untuk menjalankan kehidupan berlandaskan kepada perasaan semata. Jika dirasa menyenangkan maka akan ia jalani, walau di balik itu akan ada konsekuensi besar terhadap kemudaratan hidupnya. Seperti kasus baby blues ini yang tak lepas dari andil sistem sekuler pada mulanya. Jika hal ini dibiarkan maka akan semakin banyak wanita yang enggan untuk hamil dan melahirkan. Berdampak besar pada jumlah populasi generasi sebuah negara.


Berbeda dengan kurikulum Barat, dalam pendidikan Islam sangat komprehensif. Mampu menyesuaikan dengan fitrah manusia, sehingga dapat menyiapkan setiap individunya untuk mengemban peran mulia sebagai orangtua. Seperti Ibu yang menjadi sosok madrasah utama bagi anak-anaknya. Islam membangun agar setiap ibu memiliki dasar kemampuan mendidik anak sekalipun dia bukan seorang guru di sekolah. Tapi dengan pembinaan Islam, kelak ia akan mampu menjalankan perannya sebagai guru di rumah bagi anak-anaknya. Begitu pula seorang laki-laki yang kelak menjadi qawwam bagi keluarganya. Islam sangat menjaga agar sang ayah dapat menjalankan tugas utamanya menjadi tulang punggung dan pelindung. 


Peradaban Islam membangun masyarakat Islam yang peduli, saling menolong serta tak acuh terhadap kondisi mental serta fisik saudaranya. sehingga supporting system terwujud optimal dalam masyarakat Islam. Jika keduanya dijalankan dalam mahligai syariat, setidaknya mampu meminimalisasi peluang untuk bisa terjadi kasus-kasus yang bermula dari baby blues. Wallahualam bissawab. []