Alt Title

Masa Jabatan Bertambah, untuk Kepentingan Siapa?

Masa Jabatan Bertambah, untuk Kepentingan Siapa?

Sudah menjadi hal yang lumrah dalam sistem demokrasi, korupsi berjamaah, suap-menyuap seolah menjadi tradisi yang sulit diatasi. Uang digunakan sebagai pelicin mendapat kekuasaan

Begitupun kekuasaan digunakan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya materi juga untuk memuluskan berbagai kepentingan. Aturan bisa diubah mengikuti kepentingan

_____________________________


Penulis Arini Faiza

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Di tengah memanasnya suhu politik menjelang pemilu 2024, publik dikejutkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambah masa jabatan pimpinan KPK yang semula empat tahun menjadi lima tahun. MK juga menyatakan bahwa syarat batas usia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun.


Putusan MK tersebut mengundang respon dari berbagai kalangan, salah satunya Menkopolhukam Mahfud MD. Ia mengatakan pemerintah akan menyikapinya setelah mendalami argumen hukum dan mendengarkan berbagai pendapat pakar. Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengaku mencium sejumlah kejanggalan dalam putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi atau judicial review salah satu pimpinan KPK, Nurul Ghufron. Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, sepakat dengan Bivitri. Feri mengatakan hakim MK secara tidak langsung sudah mencampuri urusan DPR dengan mengatur masa jabatan dan batas usia pimpinan KPK. (www[dot]bbc[dot]com, 27/05/2023)


Kritik terus mengalir. Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah menilai, argumentasi lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan Nurul Ghufron lemah dan menyimpang dari dua pasal dalam Undang-Undang (UU) KPK yang mengatur syarat batas usia dan periodisasi jabatan pimpinan KPK. Menurutnya, lembaga penegak hukum yang makin panjang masa jabatannya justru berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan.


Di samping itu tidak dimungkiri, saat ini jabatan rawan digunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Rekam jejak pimpinan KPK belakangan ini memang tidak begitu mulus, maka wajar ada pihak yang tidak setuju dan mencurigai diluluskannya perpanjangan jabatan.


Sudah menjadi hal yang lumrah dalam sistem demokrasi, korupsi berjamaah, suap-menyuap seolah menjadi tradisi yang sulit diatasi. Uang digunakan sebagai pelicin mendapat kekuasaan. Begitupun kekuasaan digunakan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya materi juga untuk memuluskan berbagai kepentingan. Aturan bisa diubah mengikuti kepentingan.


Demokrasi yang mengagungkan kebebasan, bertingkah laku, beragama, berpendapat, dan dalam hal kepemilikan dengan landasannya sekularisme yaitu meminggirkan peran agama (Islam) dalam kehidupan, membuat manusia terbiasa menyalahgunakan kekuasaan. Bagi para pejabat era demokrasi, menjabat adalah masa untuk memperkaya diri, jauh dari keyakinan bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.


Permasalahan sebenarnya adalah bagaimana mewujudkan penguasa yang amanah, jauh dari korupsi, suap-menyuap, atau menggunakan jabatannya untuk meraih kepentingan? Sebab pembatasan masa jabatan tidak menjamin seorang pejabat atau penguasa tidak menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya itu. Sebaliknya jabatan yang lama tidak serta merta membuat seseorang korup.


Demokrasi berbeda dengan Islam. Dalam sistem Islam, jabatan adalah amanah sekaligus “cobaan kenikmatan” yang sangat berat, bukan untuk memperkaya diri, menindas yang lemah atau agar tidak tersentuh hukum. Disebut cobaan karena berat pertanggungjawabannya. Pemegang kekuasaan hanya layak bagi yang bertakwa dan mampu menjalankannya. Keimanan berada di syarat pertama. Keimanan yang terpatri dalam dirinya akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah Swt.. Hal ini akan menjauhkannya dari penyalahgunaan kekuasaan.


Sistem Islam yang membina seluruh masyarakatnnya dengan keimanan bukan kebebasan ala demokrasi terbukti melahirkan sosok-sosok pemimpin maupun pejabat yang menakjubkan. 


Umar bin Abdul Aziz justru bersedih hati ketika terpilih menjadi khalifah. Sosok yang sangat terkenal kezuhudannya hingga dianggap sebagai satu-satunya khalifah yang kesalehan dan keadilannya disederajatkan dengan Khulafaur Rasyidin. Beliau menggigil karena membayangkan bahwa jabatan seorang khalifah tidak terlepas dari kesukaran dan tanggung jawab. Padahal dalam jangka 2 tahun saja beliau sudah mampu memakmurkan kehidupan rakyatnya, sehingga tidak ditemukan satu orang pun yang berhak menerima zakat.


Bagaimana dengan Khalifah Umar bin Khattab? Tidak kalah menakjubkan. Beliau sampai khawatir bila ada jalan yang bolong sehingga unta bisa terperosok. Binatang saja beliau pikirkan keselamatannya apalagi rakyatnya. Khalifah Ali tak segan ketika dipanggil oleh Qhadi Suraih dan harus menerima kekalahannya di pengadilan ketika berhadapan dengan seorang yahudi karena tidak bisa menghadirkan saksi sesuai ketentuan hukum Islam. Padahal Qhadi Suraih itu sendiri diangkat oleh beliau. Tetapi Sayyidina Ali tidak menggunakan kekuasannya untuk menekan Suraih.


Maka, sudah sangat jelas bahwa  pemimpin yang amanah, hanya akan terlahir dari penerapan sistem Islam secara menyeluruh dalam kehidupan di bawah sebuah institusi negara. Bukan sistem demokrasi yang semakin tampak jelas kerusakannya. Wallahualam bissawab. []