TPPU Marak, Mampukah Terselesaikan?
OpiniKeimanan dan ketakwaan yang dimiliki para pejabat akan menjadikan mereka merasa takut terhadap tindakan kecurangan yang akan membawa kepada dosa besar. Mereka akan senantiasa menstandarkan perilaku pada halal dan haram
Para pejabat dalam Islam tidak distimulus dengan sifat materialis dan hedonis. Mereka senantiasa hidup dengan kecukupan dan menghindari kehidupan boros
Penulis Susci
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Anggota Komunitas Sahabat Hijrah Balut, Sulteng
KUNTUMCAHAYA.com - Akhir-akhir ini TPPU (Tindan Pidana Pencucian Uang) menjadi perhatian publik. Tak sedikit dari media memberikan pemandangan mengagetkan tentang pencucian uang yang dilakukan oleh salah-satu pejabat Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu). Tindakan tersebut diduga melibatkan 491 ASN Kemenkeu.
KPK sendiri menanggapi akan mendalami sosok artis inisial R yang diduga terlibat dalam kasus tersebut bersama dengan mantan DJP Kemenkeu. (liputan6[dot]com, 01/04/2023)
Sungguh memprihatinkan kondisi pejabat hari ini. Perilaku kejahatan yang merugikan masyarakat mudah dilakukan dan tanpa rasa malu. Kehidupan kian dibutakan dengan nafsu dunia tak lagi memandang benar ataukah salah.
Kekecewaan yang timbul di raut wajah masyarakat mengartikan kualitas kerja pejabat yang makin tidak amanah. Pengelolaan uang negara dan masyarakat dijadikan hak pribadi. Rasa bersalah tampak hilang, yang menjulang hanyalah jumawa menikmati hasil dari perbuatan kotor.
Tentunya perilaku tersebut sudah terjadi sekian kalinya. Namun, tampak tidak memberikan efek dari satu kasus ke kasus yang lain. Sehingga, hal ini menjadikan tindakan pencucian uang marak ditemukan di berbagai kalangan, baik di masyarakat maupun di pejabat sendiri.
Dengan melihat keseriusan yang dilakukan oleh para pejabat negeri ini, menggambarkam betapa lemahnya negara dalam menjaga keamanan dalam negeri. Mereka yang diamanahkan dalam mengelola dan menjaga harta rakyat, justru menggunakan lorong kecil untuk menembusnya dan menikmatinya sendiri, tanpa adanya rasa bersalah.
Perilaku para pejabat tersebut tidak bisa dilepaskan dari paradigma penerapan Kapitalisme sekularisme. Sistem yang berasaskam materialisme dan mengabaikan agama dalam pengaturan hidup. Wajar saja jika sistem tersebut mampu mencetak kepribadian masyarakat mejadi materialistik dan hedonistik.
Para pejabat pun telah terpapar sistem tersebut dan menjadikan mereka berlomba-lomba memperbanyak kekayaannya, sekalipun dengan cara yang keliru. Apalagi sistem tersebut memisahkan agama dari kehidupan (sekuler). Sehingga, rasa takut tidak lagi dimiliki oleh pejabat maupun masyarakat. Tidak ada lagi standar halal dan haram, yang ada hanyalah upaya pencapaian keuntungan sebanyak-banyaknya.
Sikap hedonis dan materialis juga menjadikan para pejabat tidak merasa cukup terhadap harta yang dimiliki, nafsu dunia telah memenuhi pikiran dan hati. Kejernihan dalam menjabat telah dikeruhkan oleh penerapan Kapitalisme sekularisme. Sehingga, kecil kemungkinan menemukan para pejabat yang ikhlas dalam mengurusi kesejahteraan masyarakat, tanpa adanya tindak kecurangan.
Selain itu, hukum yang diberikan kepada perilaku kecurangan tersebut tampak tidak menyentuh titik permasalahan. Hukuman yang ringan bagi pelaku korupsi mengakibatkan hilangnya efek jera. Menjadikan perilaku tersebut kerap berulang.
Alhasil, penerapan Kapitalisme sekularisme menjadi ujung tombak hancurnya institusi negara. Sistem yang berasal dari pola pikir manusia akan menciptakan kecacatan dalam membuat aturan dan hukum. Termasuk kebijakan dalam menyelesailakan tindakan pencucian uang yang terus saja terjadi.
Solusi dalam Islam
Melihat problematika tersebut, tentunya Islam memiliki solusi jitu yang mampu menyelesaikan dari hulu hingga hilir. Mencegah perilaku berulang, bahkan Islam pernah menghadirkan kehidupan mulia di dalam naungan negara Islam. Terhindar dari maraknya pencucian uang.
Islam memiliki sistem pemerintahan yang berasal dari syariat Islam, aturan dan hukum berasal dari Allah Swt.. Satu-satunya Tuhan yang berhak membuat aturan dan hukum, tanpa adanya kecacatan apapun.
Dalam menerapkan sistem tersebut, Islam telah menentukan kriteria pemimpin maupun pejabat dalam hal mengurusi kebutuhan negara dan umat. Pejabat dalam Islam hadir sebagai pengurus umat, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusannya.
Pejabat yang dipilih akan disesuaikan dengan kadar keimanan dan kesanggupan dalam menjalankan amanah tersebut. Pejabat harus memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. serta memiliki kesanggupan ilmu, fisik, dan mental dalam menjabat.
Keimanan dan ketakwaan yang dimiliki para pejabat akan menjadikan mereka merasa takut terhadap tindakan kecurangan yang akan membawa kepada dosa besar. Mereka akan senantiasa menstandarkan perilaku pada halal dan haram. Para pejabat dalam Islam tidak distimulus dengan sifat materialis dan hedonis. Mereka senantiasa hidup dengan kecukupan dan menghindari kehidupan boros.
Selain itu, hukum yang diberikan bagi pejabat maupun masyarakat yang melakukan aksi pencucian uang akan memberikan efek jera. Islam akan memberikan hukum berupa peringatan, penyitaan harta, pengasingan, hingga pada hukuman mati.
Semua hukuman tersebut disesuaikan dengan kadar perbuatannya. Hukuman pun dilakukan secara terbuka oleh pemimpin negara agar dapat disaksikan oleh seluruh pejabat maupun masyarakat lainnya. Dengan begitu mereka tidak akan berani melakukan perbuatan yang sama. Melihat beratnya hukuman yang nanti akan diberikan.
Sungguh, hanya Islamlah yang mampu menghadirkan pejabat amanah dan bertanggung jawab. Selain itu, Islam juga menciptakan sanksi yang mampu menghentikan perbuatan berulang. Sebab, Islam berasal dari Allah Swt., Tuhan Pencipta alam semesta. Wallahualam bissawab. []