Alt Title

Lahan Hutan Kritis, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Lahan Hutan Kritis, Siapa yang Bertanggung Jawab?


Kapitalisme meniscayakan pengelolaan hutan diserahkan kepada swasta. Ketika ada masalah maka, solusi yang diambil akan bersifat parsial seperti gerakan wakaf


Negara bukan pengelola, hanya sebatas regulator. Kebijakan yang ada saat ini lebih cenderung kepada pengusaha. Negara tidak bisa menindak tegas kepada pengelola lahan karena sudah mengantongi izin. Gerakan wakaf hanya mengetuk hati siapa saja yang rela mau berwakaf


Penulis Sujilah

Kontributor Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com-Dulu Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia, penghasil oksigen terbesar kedua yang mampu menyimpan oksigen karena lahan hutan yang luas. Banyaknya pepohonan, mampu mendaur ulang udara dan menghasilkan lingkungan yang sehat bagi manusia.  Namun, pemandangan seperti ini seolah sirna, justru yang dijumpai adalah banyaknya lahan kritis, salah satunya terdapat di Kabupaten Bandung Jawa Barat.


Sebagaimana dikutip dari laman republika[dot]co[dot]id, wilayah Kertasari Kabupaten Bandung yang luasnya mencapai 15.207,36 hektar, terdapat delapan desa yang didominasi oleh lahan hutan. Menurut data dari Dinas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2018, lahan kritis di wilayah tersebut sudah fantastis, yaitu mencapai 4.083,84 hektar.


Mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh tani dan perkebunan. Itu sebabnya mengapa di Kabupaten Bandung sering terjadi banjir, longsor atau bencana lainnya. Semua ini disinyalir akibat alih fungsi hutan yang mengantarkan pada kritisnya kondisi lahan akibat minim ditanami tanaman keras, karena beralih fungsi menjadi tanaman sayuran. 


Lahan kritis adalah lahan yang seharusnya menjadi penahan air, akan tetapi akibat alih fungsi lahan baik oleh individu maupun pengusaha yang sudah mendapat izin pemerintah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan di beberapa kabupaten, hutan dijadikan tempat wisata, atau tempat hunian, mengurangi wilayah resapan air. Maka wajar kemudian terjadi bencana longsor, ataupun banjir. 


Untuk menyolusikan lahan kritis tersebut, para pegiat lingkungan melakukan gerakan wakaf hutan dan pohon. Selanjutnya lahan yang diwakafkan akan ditanami dengan tanaman keras.


Yang perlu dikritisi adalah bahwa gerakan wakaf tidak akan efektif menyelesaikan masalah lahan kritis karena wakaf sendiri bukanlah hal yang mengikat. Selama perizinan terus dikeluarkan pemerintah baik bagi individu terlebih pengusaha maka sama saja dengan mempercepat kerusakan hutan. Pengusaha mengejar keuntungan, yang akan menanami lahannya sesuai kebutuhan pasar. 


Negara yang menerapkan sistem Kapitalisme sekuler kehilangan kemampuan untuk menyolusikan lahan kritis yang semakin meluas. Rakyat selalu menjadi korban, akibat negara berpihak kepada pengusaha.


Kapitalisme meniscayakan pengelolaan hutan diserahkan kepada swasta. Ketika ada masalah maka, solusi yang diambil akan bersifat parsial seperti gerakan wakaf. Negara bukan pengelola, hanya sebatas regulator. Kebijakan yang ada saat ini lebih cenderung kepada pengusaha. Negara tidak bisa menindak tegas kepada pengelola lahan karena sudah mengantongi izin. Gerakan wakaf hanya mengetuk hati siapa saja yang rela mau berwakaf. 


Kapitalisme tidak mengenal batasan kepemilikan sebagaimana Islam. Hutan dianggap sebagai kepemilikan negara yang akan diserahkan pengelolaannya pada swasta. Islam tidak demikian. Karena Allah Swt. memerintahkan manusia untuk menjaga alam semesta dan seisinya. Tidak diperkenankan melakukan kerusakan di muka bumi, bahkan diharuskan memakmurkannya. Sabda Nabi saw.,


"Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya, maka tanamlah." (HR. Bukhari dan Ahmad) 


Allah Swt. memberikan  atau menitipkan  kekuasaan bumi kepada manusia agar manusia dapat memanfaatkannya sesuai hukum syariat yang telah ditetapkan.


Di dalam Islam, kepemilikan dibagi tiga yaitu kepemilikan pribadi, umum dan negara. Hutan termasuk bagian dari kepemilikan umum, yang diserahkan tanggung-jawab pengelolaan dan pemeliharaannya kepada negara. Tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta baik individu apalagi korporat.


Selain dari sisi kepemilikan dan pengurusan, lahan hutan juga tidak boleh dialihfungsikan yang menyebabkan bencana bagi umat. Negara justru berfungsi sebagai pengayom dan pelindung bagi seluruh rakyatnya sehingga harus memperhatikan keselamatan rakyat individu per individu.


Dari konsep di atas luasnya hutan bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat. Lahan hutan yang lebat di samping mencegah banjir juga menjadi tempat cadangan air ketika kemarau tiba. Rakyat akan terhindar dari 2 bencana sekaligus yaitu banjir atau longsor dan kekurangan air.


Oleh karena itu, untuk mengatasi lahan hutan yang makin lama makin rusak hanya bisa terealisasi dengan diterapkannya syariat Islam kafah dalam sebuah kepemimpinan Islam, yang memiliki jaminan penuh dari Sang Pencipta alam demi mewujudkan kebaikan bagi seluruh  mahluk di bumi ini. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.