Alt Title

PEMATOKAN HARGA MELAHIRKAN KEZALIMAN

PEMATOKAN HARGA MELAHIRKAN KEZALIMAN



Bagaimana Indonesia bisa menciptakan ketahanan pangan jika para petaninya tidak mendapatkan support dari pemerintah


Sungguh sangat disayangkan, karena sejatinya penguasa harus bertanggung jawab atas urusan rakyatnya


Oleh Ummu Fauzi

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com-Dilansir dari Bisnis[dot]com. Ketua umum SPI (Serikat Petani Indonesia), Henry Saragih mengatakan bahwa saat ini rendahnya penetapan harga gabah kering telah merugikan petani. Hal itu terjadi karena adanya peningkatan biaya produksi dan modal, seperti kenaikan harga pupuk, kenaikan sewa lahan dan upah. 


Henry juga menyatakan bahwa SPI sendiri sudah mengusulkan revisi harga pembelian pemerintah (HPP)  tahun 2020, karena sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan biaya yang ditanggung petani. Hal ini penting dilakukan mengingat tidak lama lagi   akan memasuki masa panen raya sehingga penetapan harga yang layak menjadi krusial. 


Ia juga menyesalkan sikap Bapanas (Badan Pangan Nasional) yang tidak melibatkan  organisasi petani dan Menteri Pertanian dalam merumuskan kebijakan. Mereka hanya melibatkan korporasi pangan seperti Wilmar Padi yang diharapkan dapat membeli gabah dari petani dengan harga murah lalu memprosesnya dengan standar premium dan harga yang tinggi. (Bisnis[dot]com, Jakarta, 22/2/2023)

 

Melihat fakta, terjadi kezaliman terhadap para petani, dan memberikan keuntungan bagi oligarki atau pengusaha. Para petani harus berhadapan dengan para pengusaha, sementara pemerintah hanyalah bertindak sebagai regulator atau pembuat kebijakan. Sayangnya selama ini melalui kebijakan yang ada, rakyat harus menanggung kerugian karena pematokan harga yang rendah.


Andaikan terjadi sebaliknya yaitu pematokan dengan harga tinggi tentu akan menyulitkan masyarakat sebagai pihak pembeli. Oleh karena itu pematokan harga berimbas kepada kerugian salah satu pihak, dan menguntungkan pihak lain. Yang terjadi saat ini karena dekatnya pengusaha dengan penguasa, menghasilkan kebijakan yang tidak pro rakyat, terutama rakyat kecil. 


Andaikan pemerintah memberikan subsidi semisal pupuk atau yang lainnya yang dibutuhkan para petani, bisa jadi dengan harga murah tidak terlalu membebani mereka. Tapi hal ini sulit terwujud, ketika ada pupuk subsidi dimanfaatkan oleh sebagian oknum yang mengakibatkan hilang di pasaran. Para petani tetap kesulitan mendapatkan pupuk bersubdi, yang pada akhirnya terpaksa membeli pupuk non subsidi. Lagi-lagi hukum tidak bertindak tegas pada pelaku kecurangan sehingga kasus sering terulang. Maka bagaimana Indonesia bisa menciptakan ketahanan pangan jika para petaninya tidak mendapatkan support dari pemerintah. Sebaliknya malah membebani.


Pematokan harga hanya ada dalam sistem kapitalisme sekular. Seolah-olah pematokan harga sebagai riayah atau kepengurusan. Nyatanya tidak dirasakan oleh masyarakat. Rakyat dibuat bingung harus kepada siapa mereka mengadu dan harus bagaimana agar mereka mendapat keadilan. Biaya produksi tinggi, penjualan rendah akan berdampak kepada lesunya para petani. Padahal kebutuhan akan pangan seharusnya menjadi perhatian yang harus diprioritaskan oleh penguasa. Gagalnya mencapai ketahanan pangan menciptakan ketergantungan akan impor.


Di sini negara hanya berfungsi sebagai regulator, fasilitator, dan makelar yang mendapat sebagian keuntungan dari para oligarki. Walhasil mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi semua berada di tangan korporasi. 


Sesuai dengan namanya, ideologi kapitalisme adalah ideologi yang jika diterapkan akan berpihak atau menguntungkan para kapital atau pemodal besar. Negara yang seharusnya bertanggung jawab  terhadap kepentingan masyarakat pun lebih mengutamakan  kepentingan para kapital. Sementara petani akan tetap dihadapkan pada masalah yang sama, seperti mahalnya harga benih dan pupuk, minimnya lahan pertanian dan sulitnya distribusi.


Sungguh sangat disayangkan, karena sejatinya penguasa harus bertanggung jawab atas urusan rakyatnya, karena kelak akan ditanya oleh Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda: 


“Imam/khilafah itu laksana gembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap hewan gembalanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Hadis ini menjelaskan fungsi kepala negara/pemerintah dalam Islam  sebagai pelaksana pengurusan semua urusan rakyat dengan berlandaskan syariat Islam. Termasuk di dalamnya pengaturan sektor pertanian dan pangan. Negara bertanggung jawab menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok yaitu, sandang, pangan, dan papan serta pendidikan, kesehatan dan keamanan untuk semua masyarakat tanpa kecuali baik Muslim maupun non-Muslim.


Permintaan penentuan harga pasar pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Dari Anas bin Malik, sesungguhnya banyak manusia datang kepada Rasulullah dan berkata: 


“Tentukanlah harga bagi kami,  harga-harga bagi kami.” Rasulullah Saw bersabda: ”Wahai manusia naiknya (mahalnya) harga-harga kalian dan murahnya itu berada di tangan Allah Swt. dan saya berharap kepada Allah ketika bertemu Allah (nanti) dan tidaklah salah satu orang terhadapku (aku memiliki) kezaliman dalam harta dan juga dalam darah.”


Maka berlandaskan hadis ini menentukan harga dilarang keras karena datang dengan kezaliman. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Beliau melakukan inspeksi pasar dan menemukan seorang laki-laki menjual zabib, lelaki tersebut menaikan harga (sesuka hati) maka Khalifah Umar pun mengeluarkannya dari pasar. Kemudian perbuatan ini dilakukan oleh beberapa Gubernur Madinah selanjutnya. 


Harga dibiarkan mengikuti mekanisme pasar. Di masa Umar ketika terjadi kelangkaan suatu bahan pangan, yang mengakibatkan harga melambung tinggi maka Umar selaku pemimpin negara membuat kebijakan  mendatangkan dari wilayah lain agar harga kembali stabil. Selain itu kepala negara akan menindak tegas penimbunan dan hal lain yang merugikan baik pedagang maupun pembeli. Fungsi negara mengayomi seluruh rakyat, baik sebagai pedagang  maupun pembeli. Semua itu akan terwujud  jika Islam kafah diterapkan dalam kepemimpinan Islam. Wallahualam bissawab.